TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Banjir Musiman Hantui Warga Sumsel, Datang Lebih Cepat dari Prediksi

Warga PALI penghuni bantaran Sungai Lematang sedang waspada

Banjir di Desa Curup Pali tahun 2019 lalu (IDN Times/istimewa)

Palembang, IDN Times - Banjir musiman menghantui warga desa Curup, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatra Selatan. Pasalnya setiap tahun saat peralihan musim kemarau ke penghujan, desa Curup selalu merasakan dampak meluapnya air sungai Lematang. Tak terhitung kerugian warga setempat jika air sungai meluap membanjiri rumah dan ladang milik mereka.

"Banjir ini setiap tahun, warga sudah tahu karena musiman. Sehingga setiap tahun itu sekitar bulan Oktober dan November sudah pasti air akan meluap. Kita selalu lakukan antisipasi karena banjir sudah biasa dengan mengajak masyarakat hati-hati dan mempersiapkan diri," jelas Kepala Desa Curup, Muhammad Tisar, saat dihubungi IDN Times, Kamis (12/11/2020).

Baca Juga: Waspada Banjir, BPBD Ingatkan Dataran Tinggi dan Sungai di Sumsel

1. Banjir tidak bisa diprediksi kapan datang

Banjir sungai lematang rendam lahan pertanian dan perkebunan warga (IDN Times/istimewa)

Menurut Tisar, 99 persen masyarakat Curup mengandalkan hidup dari hasil bertani. Maka saat musim hujan dan banjir tiba, mereka akan kelimpungan menyelamatkan harta benda. Tidak semua warga memiliki rumah yang aman banjir. Warga tinggal di bantaran sungai dengan dataran cukup rendah, sehingga saat banjir datang air akan merendam rumahnya.

"Rumah warga di pinggir sungai yang rendah, jadi rawan terendam. Untuk antisipasi, mereka membuat bangku dan tempat tidur lebih tinggi. Ada yang bikin perahu," jelas dia.

Menurutnya lagi, masyarakat hanya bisa memprediksi kapan banjir, namun terkadang banjir datang secara tiba-tiba melewati prediksi.

"Banyak padi disimpan untuk musim banjir. Kadang perkiraan banjir satu bulan, tiba-tiba banjirnya jadi dua bulan. Kadang kita prediksi banjir terjadi besok hari, tiba-tiba malam hari air sudah naik. Semua kuasa Tuhan, jadi sulit diprediksi," jelas dia.

2. Warga berharap dibangun dam untuk halau luapan air

Ilustrasi banjir (IDN Times/Arief Rahmat)

Demi mencegah banjir datang lebih awal, ada juga warga yang memilih mengungsi lebih dini. Pihaknya mencatat banjir besar yang melanda Curup pernah terjadi tahun 2004 dan 2017 yang terjadi hingga enam bulan. Terakhir tahun 2019 lalu, banjir mencapai tinggi dua meter.

Menurut Tisar, secara geografis wilayah Curup merupakan wilayah terendah di Kecamatan Tanah Abang PALI. Untuk mengantisipasi, banjir pihaknya sudah beberapa kali mengirimkan proposal ke Dinas PUBM PALI dan Dinsos untuk meminta solusi.

"Kita lakukan rapat pengurus desa untuk menghadapi banjir. Hasilnya disepakati Curup membutuhkan jalur lingkar berupa dam yang membentang dengan panjang 1.581 meter dan lebar 7 meter. Namun sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari pemerintah daerah," ungkap dia.

3. BPBD Sumsel petakan wilayah rawan bencana di Sumsel

Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Selatan, Ansori (IDN Times/Rangga Erfizal)

Kepala Bidang Kedaruratan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel, Ansori mengakui, Bumi Sriwijaya memiliki tingkat kerawanan tinggi saat musim hujan tiba. Pihaknya bahkan sudah memetakan wilayah mana saja yang rawan terjadi bencana hidrometereologi seperti banjir, longsor hingga angin kencang.

"Untuk wilayah Sumsel bagian barat dengan wilayah perbukitan rawan banjir bandang dan longsor. Sedangkan Sumsel bagian timur yang wilayahnya dataran rendah rawan banjir musiman dan angin kencang," jelas Ansori.

Pihak BPBD Sumsel mencatat selama tahun 2020, bencana Hidrometereologi akibat perubahan cuaca sudah terjadi sebanyak 76 kali. Dengan pembagian banjir musiman ada 39 kali, banjir bandang 10 kali, longsor 16 kali dan puting beliung 10 kali. Kondisi tersebut berdampak pada kerugian material terhadap masyarakat hingga 15.733 kepala keluarga terdampak dan 19.507 jiwa menderita.

"Dampak bencana alam tersebut membuat 9.322 rumah terendam, 28 unit jembatan putus, 281 hektare (ha) kebun terendam, 5.319 ha sawah terendam dan 115 meter jalan putus akibat longsor," jelas dia.

4. La Nina sebabkan curah hujan lebih tinggi

Kordinator Badan Metereologi, Klimatologi, Geofisika (BMKG) Sumsel, Stasiun Klimatologi Kelas I Palembang, Nuga Putrantijo (IDN Times/Rangga Erfizal)

Senada, Kordinator Badan Metereologi, Klimatologi, Geofisika (BMKG) Sumsel, Stasiun Klimatologi Kelas I Palembang, Nuga Putrantijo menjelaskan, puncak musim hujan akan terjadi pada Desember 2020, Januari dan Maret 2021. Kondisi ini akan berdampak terhadap kerawanan bencana wilayah dataran tinggi dan rendah.

"Wilayah dataran rendah seperti daerah aliran sungai (DAS) harus menjadi perhatian karena dampak musim hujan dapat mengakibatkan banjir. Sedangkan untuk wilayah dataran tinggi yang berada di Sumsel bagian tengah, barat dan selatan, harus waspada pada kelabilan tanah yang berdampak longsor akibat intensitas hujan tinggi," ungkap Nuga.

Intensitas hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena La Nina yang berada di Samudra Pasifik, dan mengakibatkan iklim di Indonesia khususnya Sumsel seperti curah hujan menjadi lebih tinggi dari normalnya.

"La Nina artinya seluruh uap air jadi tinggi dan curah hujan juga lebih tinggi dari normalnya. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung hingga April 2021," jelas dia.

Selain pengaruh sirkulasi angin monsun dan anomali iklim di Samudera Pasifik, penguatan curah hujan di Sumsel juga turut dipengaruhi oleh gelombang atmosfer ekuator berupa gelombang Madden Julian Oscillation (MJO) dan Kelvin, atau dari timur ke barat berupa gelombang Rossby.

"Aktivitas La Nina dan MJO inilah yang menjadi tumpukan awan berpotensi hujan," jelas dia.

Baca Juga: Walhi Sumsel Kritisi Pemerintah yang Lamban Mitigasi Bencana Alam

Berita Terkini Lainnya