5 Kesalahan Orang Tua yang Memperparah Siblings Rivalry Anak, Hindari!

Pernah merasa dibanding-bandingkan dengan saudara sendiri? Atau justru pernah merasakan tekanan karena harus jadi “panutan” buat adik? Siblings rivalry alias persaingan antar saudara itu hal yang wajar, tapi kalau dibiarkan tanpa solusi, bisa merusak hubungan keluarga hingga dewasa.
Masalahnya, tanpa sadar, justru pola asuh orang tua bisa memperparah konflik ini. Bukan karena niat buruk, tapi lebih ke kebiasaan yang mungkin dianggap biasa, padahal dampaknya besar. Kalau kamu atau orang-orang di sekitarmu mengalami dinamika ini, penting banget buat menyadari akar masalahnya.
Soalnya, hubungan dengan saudara itu bukan sekadar soal siapa yang lebih pintar atau lebih disayang, tapi tentang bagaimana kita tumbuh dengan rasa aman dan dihargai. Nah, berikut ini adalah beberapa kesalahan umum orang tua yang sering bikin persaingan saudara jadi semakin intens. Yuk, kita bahas satu per satu!
1. Sering membandingkan anak satu sama lain

Kalimat seperti, "Kakak tuh lebih rajin, kenapa kamu gak bisa kayak dia?" atau "Adikmu lebih sopan, coba deh tiru dia!" mungkin terdengar sepele, tapi efeknya bisa bikin anak merasa tidak cukup baik. Alih-alih jadi motivasi, perbandingan ini justru memunculkan rasa iri dan kompetisi yang gak sehat. Anak yang sering dibandingkan bisa merasa tidak dihargai, sementara yang dipuji mungkin merasa terbebani untuk selalu tampil lebih baik.
Lama-lama, pola ini bisa menciptakan jurang antara saudara. Bukannya mendukung satu sama lain, mereka malah berlomba-lomba untuk mendapatkan validasi dari orang tua. Padahal, setiap anak itu unik dengan kelebihannya masing-masing.
Jadi, daripada membandingkan, lebih baik orang tua fokus mengapresiasi keunggulan tiap anak tanpa menjadikannya sebagai standar bagi saudara lainnya.
2. Terlalu fokus pada anak tertentu

Tanpa disadari, ada kalanya orang tua lebih banyak memberikan perhatian pada salah satu anak, entah karena si anak lebih kecil, punya prestasi lebih tinggi, atau justru sering bermasalah. Anak yang merasa kurang diperhatikan bisa menyimpan kecemburuan yang akhirnya berubah jadi sikap defensif atau permusuhan terhadap saudaranya.
Bukan berarti orang tua harus membagi perhatian secara matematis, tapi lebih ke bagaimana setiap anak merasa didengar dan dihargai. Interaksi kecil seperti bertanya tentang hari mereka, mendukung hobi yang berbeda, atau sekadar melibatkan mereka dalam keputusan keluarga bisa bikin anak merasa setara dalam keluarga.
3. Menaruh ekspektasi berbeda pada anak-anak

Banyak orang tua yang tanpa sadar memberi ekspektasi berbeda ke setiap anak. Anak pertama sering dibebankan tanggung jawab lebih besar, sementara anak bungsu sering dianggap masih kecil terus. Pola ini bikin anak sulung merasa tertekan dan anak bungsu merasa diremehkan, yang akhirnya memicu ketidakseimbangan dalam hubungan mereka.
Ekspektasi itu perlu, tapi harus realistis dan adil. Misalnya, memberi tanggung jawab sesuai usia dan kemampuan masing-masing, tanpa membuat salah satu merasa dikorbankan. Dengan begitu, anak-anak bisa belajar tanggung jawab tanpa merasa beban atau diistimewakan.
4. Tidak mengajarkan cara mengelola konflik dengan baik

Anak-anak pasti sesekali bertengkar, itu wajar. Tapi kalau setiap konflik dibiarkan begitu saja atau malah ditangani dengan cara yang kurang tepat—misalnya langsung menyalahkan salah satu tanpa mencari akar masalahnya—itu bisa menanamkan pola konflik yang berulang. Anak jadi tidak belajar bagaimana menyelesaikan masalah dengan sehat, dan ini bisa kebawa sampai dewasa.
Penting banget buat orang tua jadi mediator yang adil, bukan hakim yang langsung menentukan siapa yang salah. Ajak anak berdiskusi, dengarkan sudut pandang mereka, dan bantu mereka menemukan solusi. Dengan begitu, mereka bisa belajar cara menghadapi perbedaan pendapat tanpa harus saling menjatuhkan.
5. Tidak memberikan contoh hubungan yang harmonis

Anak belajar banyak dari apa yang mereka lihat, bukan cuma dari apa yang mereka dengar. Kalau orang tua sendiri sering terlibat dalam konflik yang tidak terselesaikan, anak-anak cenderung meniru pola tersebut dalam hubungan mereka dengan saudara.
Menunjukkan bagaimana menghargai perbedaan, meminta maaf, dan menyelesaikan masalah secara sehat adalah cara terbaik untuk mengajarkan anak menghadapi konflik dengan cara yang baik. Dengan begitu, mereka bisa tumbuh dalam lingkungan yang suportif, di mana mereka merasa aman untuk jadi diri sendiri tanpa harus bersaing demi pengakuan.
Membangun hubungan harmonis antara saudara itu bukan soal menghilangkan konflik sama sekali, tapi bagaimana mengelolanya dengan baik. Orang tua punya peran besar dalam menciptakan lingkungan yang sehat, di mana setiap anak merasa dihargai tanpa perlu bersaing.
Jadi, kalau kamu nanti jadi orang tua, atau mungkin ingin membangun relasi yang lebih baik dengan saudara sendiri, yuk mulai dari memahami dan menghindari kesalahan-kesalahan ini. Karena pada akhirnya, keluarga bukan soal siapa yang terbaik, tapi tentang bagaimana kita bisa tumbuh bersama dengan saling mendukung.