Malioboro vs BKB Palembang: Membaca Denyut Ekonomi Kreatif 2 Kota

- Malioboro dan BKB Palembang adalah pusat ekonomi kreatif yang ramai di malam hari, tetapi memiliki perbedaan dalam keamanan dan pengalaman wisata malam.
- Yogyakarta lebih fokus pada pelestarian budaya, aturan tata kota yang mendukung pedestrian, festival budaya rutin, dan perlindungan UMKM batik sebagai identitas ekonomi.
- Palembang masih berkutat pada branding kuliner pempek dan songket, namun belum mampu mengemasnya menjadi pengalaman wisata budaya layaknya di Yogyakarta. Palembang juga kurang fokus pada pelestarian seni dan keamanan bagi wisatawan.
Palembang, IDN Times - Malam makin dingin, lampu-lampu jalan yang berderet di sepanjang Jalan Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pun menandakan langit kota kian gelap. Namun, alih-alih mencekam karena hari larut, situasi di sudut jalan tersebut justru riuh aktivitas masyarakat.
Dari sisi trotoar, banyak wisatawan hilir-mudik, beberapa orang bahkan berhenti sejenak hanya untuk mengabadikan diri dan swafoto di balik latar lampu jalan gemerlap. Kesibukan lain muncul, sejumlah pedagang UMKM pun bergantian merapikan barang jualan mereka agar dilirik pengunjung di sana.
Mulai dari kuliner, batik, sandal kulit, hingga aksesoris kecil yang jadi incaran oleh-oleh. Suara tawar-menawar pun samar-sama terdengar saling sahut, menjadi atmosfer khas malam di Malioboro. Situasinya bukan sekadar ramai, tapi juga hangat dan sangat hidup--sebuah potret bahwa jalur utama Yogyakarta tidak pernah benar-benar tidur.
Sepintas potongan visual itu pun menunjukkan jelas, bahwa malam di ruas jalan bersejarah itu tak pernah kosong dari aktivitas dan transaksi di masyarakat. Kehidupan timbal balik antar wisatawan, warga lokal, dan UMKM berpadu dalam denyut kegiatan tanpa henti.
Sekilas, gambaran Jalan Malioboro mirip kawasan sekitar Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang. Di sana, pengunjung bisa merasakan aroma pempek yang kuat dari pedagang pinggir Sungai Musi yang nyaris sama seperti di Yogyakarta. Yakni, wangi bakpia yang menyeruak dari sisi tenda-tenda kuliner di Jalan Malioboro.
"Yogyakarta ramai, malam tenang tentram. Larut tapi gak ada rasa khawatir dicopet, beda sama Benteng Kuto Besak, malem dikit takut ditodong," kata Ardila, warga Palembang yang sengaja berkunjung ke Malioboro bersama rombongan Wartawan Bank Indonesia Sumatra Selatan (Sumsel) dalam agenda Capacity Building, 25-27 September 2025.
Namun, jika ditelusuri dan ditelaah mendalam, celah agar UMKM Palembang bisa senasib dengan pelaku usaha di Yogyakarta justru terlihat sulit. Padahal bila situasi ini ditarik perbandingannya dengan Malioboro, ada denyut serupa. Malioboro menjadi panggung UMKM di tengah ikon sejarah dan budaya Jawa. Begitu pula BKB, yang menjadikan benteng bersejarah sebagai latar, lalu menghadirkan UMKM lokal wajah modern tradisi Palembang.
Bicara kesamaan dan perbedaan basis budaya serta potensi ekonomi antara Palembang dan Yogyakarta, secara identitas Ngayogyakarta masih menyimpan sejarah dan fisik keberadaan keraton dengan penghidupan aktivitas budaya yang memang dilestarikan. Seperti memamerkan berbagai upacara adat yang melekat pada kehidupan sehari-sehari.
Pengalaman wisata di Palembang-Yogyakarta

Sementara pengalaman wisata di Palembang, kota tertua di Indonesia ini memang kaya sejarah dari cerita Kesultanan Palembang Darussalam. Tetapi, Palembang tidak memiliki tempat pusat kebudayaan masa lalu. Kemudian, membahas pelestarian wisata, Yogyakarta konsisten menjual paket lengkap mengenalkan budaya, tradisi, dan kuliner tradisional hingga ekosistem UMKM kreatif yang melekat pada kehidupan masyarakat.
Sedangkan Palembang, tampak tanggung dalam segala aspek. Contohnya kegiatan seni di ruang kota di pusat publik tanpa adanya konsistensi pengamanan yang bikin khawatir pengunjung akan ada pemalakan ataupun kejahatan.
Iga, warga Palembang yang juga sedang berwisata ke Malioboro menyampaikan, menikmati malam di jalan protokol Yogyakarta tidak menakutkan meski sendirian. Sebab, titik dan posko keamanan tersedia di setiap trotoar dan stasiun pemberhentian transportasi publik. Bahkan kamera pengawas pun tersedia di berbagai sisi kota.
"Kalau di Palembang malem gelap saja takut. Pos polisi kadang gak ada yang jaga. Jalan kaki di BKB beda rasa kayak jalan di Malioboro. Padahal sama-sama punya sejarah dan budaya yang kuat. Tapi mungkin kebiasaan dan attitude masyarakatnya yang beda ya, antara sarkas, keras dan saling menghargai sesama," jelas dia.
Melirik ekosistem UMKM kreatif yang melekat pada kehidupan masyarakat. Malioboro sendiri telah dikembangkan sebagai koridor pedestrian dengan wajah ramah wisatawan, menjadikannya ruang hidup bagi seniman jalanan dan UMKM lokal.
Sementara, Palembang lebih sering disebut sebagai kota dengan potensi besar, namun belum sepenuhnya terwujud. Contoh kecil, pembangunan infrastruktur Palembang memang berkembang dari mengandalkan event-event besar, seperti Asian Games beberapa tahun lalu sebagai magnet wisata.
Namun, infrastruktur yang maju dari ketersediaan transportasi publik seperti LRT tidak menyokong eksistensi dan konsistensi pemerintah daerah dalam melestarikan geliat wisata, sehingga imbasnya, ekonomi kreatif tak berkembang pesat.
Palembang yang cenderung membangun, justru tidak fokus melanjutkan pengalaman wisata seperti di Yogyakarta. Misalnya pelestarian branding budaya. Yogyakarta mengajak wisatawan untuk kenal tradisi lebih dekat dengan membangun kenangan dari belajar belajar batik, menonton tari, kuliner tradisional, hingga belanja di Malioboro.
Berbeda dari Palembang, bagi wisatawan yang tamasya ke Kota Pempek ini hanya disuguhkan pengalaman melihat saja tanpa ada atraksi dan seni yang disiarkan dalam arti belum ada paket wisata lengkap seperti di Yogyakarta yang rutin menampilkan tradisi dan budaya setiap minggu bahkan tiap hari yang sudah terjadwal.
Rusmaya, warga Plaju Palembang yang juga jurnalis pendamping Bank Indonesia mengatakan, mengelilingi Malioboro sudah tahu tujuan jelas mau kemana, karena di sekitar lokasi tersedia semua produk UMKM tinggal pilih. Sementara di Palembang, akses kadang cukup jauh jadi terpisah-pisah tujuan.
"Istilahnya, di sini langsung mau beli apa di satu tempat. Kalau di Palembang menclak-menclok," kata dia.
Bila disandingkan antara Yogyakarta dan Palembang, Yogyakarta berhasil menjaga budaya, aturan tata kota yang memihak pedestrian, festival budaya rutin, dan perlindungan UMKM batik sebagai identitas ekonomi. Sebaliknya, Palembang masih berkutat pada branding kuliner pempek dan songket, yang kuat secara simbol, tapi belum dikemas menjadi pengalaman wisata budaya layaknya batik di Yogyakarta.
Mengulik Wisata Batik di Museum Yogyakarta

Kala berkunjung ke Museum Batik, pameran beragam jenis dan motif terpampang jelas di sisi-sisi dinding yang dikemas apik dalam lemari kaca. Melangkah ke dalam museum Jalan Dr. Sutomo No 13A ini, suasana langsung terasa tenang, sedikit temaram, dan dipenuhi berbagai visual khas kain yang tersimpan lama.
Dari pintu masuk, nuansa klasik sudah menyambut dengan deretan kain batik tua dari parang, kawung, hingga batik pesisir dengan warna-warna cerah tampak berjajar seperti galeri sejarah yang hidup.
Museum ini berdiri sejak tahun 1979 dan sampai sekarang berfungsi sebagai ruang edukasi budaya dan menjadi kanal promosi dan penjualan produk batik lokal.
Menurut Wakil Pengelola Museum Batik Yogyakarta, Diki Wibowo, batik merupakan penggerak ekonomi kreatif yang mampu bertahan di tengah arus digitalisasi. Di Yogyakarta, UMKM batik terus berinovasi agar tetap relevan dengan zaman, salah satunya melalui pemanfaatan QRIS yang mempermudah transaksi, baik di Museum Batik maupun marketplace digital.
"Setiap pengunjung yang datang bisa belajar filosofi batik sekaligus membeli produk dari pengrajin. Dengan adanya QRIS, pembayaran menjadi lebih mudah dan praktis, bahkan bagi wisatawan mancanegara,” ujarnya kepada IDN Times disela-sela kunjungan Capacity Building dan Media Gathering Bank Indonesia Sumsel.
Menurut Diki, hampir 100 persen transaksi di Museum Batik sudah menggunakan QRIS, sementara pembayaran tunai hanya dilakukan oleh sebagian kecil pengunjung. Mayoritas pengunjung merupakan wisatawan lokal hingga mancanegara. Pemanfaatan teknologi digital juga memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan penjualan.
“Sekarang kami tidak lagi bergantung pada toko fisik. Penjualan daring lewat marketplace semakin lancar karena pembayaran bisa langsung dengan QRIS. Pembeli dari luar daerah pun merasa lebih aman dan cepat,” jelas dia.
Meski harus menghadapi persaingan dengan batik printing yang lebih murah, para perajin batik tulis dan cap tetap menunjukkan optimisme. Menurut Diki, keunggulan batik tradisional tidak hanya terletak pada nilai seni dan keaslian, tetapi juga pada pengalaman membeli yang kini semakin modern berkat dukungan digitalisasi.
Persaingan akan tetap eksis karena katanya, setiap helai batik mengandung filosofi yang mendalam. Salah satunya adalah motif Parang Rusak, yang sarat makna tentang kewajiban seorang pemimpin untuk memperbaiki hal-hal yang rusak. Motif ini diciptakan leluhur Yogyakarta dan Solo, sehingga memiliki aturan pemakaian khusus.
"Tidak diperkenankan digunakan di dalam keraton, serta tidak disarankan dipakai pada acara pernikahan karena dipercaya dapat membawa simbol keretakan rumah tangga," kata dia.
Sementara kata Tour Gate Museum Sriwijaya, Nabil, harga batik di museum bervariasi, mulai dari batik cap Rp300-500 ribu, batik tulis Rp1-12 juta, hingga batik printing Rp100-200 ribu.
“Banyak pengunjung membeli di sini bukan hanya untuk mendapatkan produk asli, tetapi juga karena mereka bisa mengikuti program edukasi workshop batik,” ujarnya.
Kepala BI Sumsel, Bambang Pramono menyampaikan, dari sisi digitalisasi ekonomi, BI komitmen memperluas literasi keuangan, khususnya melalui implementasi QRIS. Dalam forum Capacity Building di Abhayagiri Restaurant, dia menyebut bahwa Bank Indonesia Sumsel secara konsisten melaksanakan berbagai program inovatif, seperti Digital Kito Galo, QRIS Jelajah Indonesia, Gerakan Bersama Masyarakat Perluas Akuisisi QRIS (GEBYAR QRIS), hingga Launching QRIS Tap Mpos DAMRI.
"Hingga Agustus 2025, GEBYAR QRIS telah terlaksana di Kabupaten Muara Enim dan OKU Selatan. Roadshow ini direncanakan berlanjut ke berbagai kota dan kabupaten lain di Sumsel hingga 2026. Kami ingin memastikan masyarakat tidak hanya menikmati produk UMKM seperti batik, tetapi juga merasakan kemudahan transaksi digital yang mendukung keberlanjutan ekonomi kreatif,” jelasnya.