TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Perahu Bidar, Tradisi Perayaan di Hari Ulang Tahun Palembang

Biasanya perlombaan terselenggara di Sungai Musi

Perlombaan bidar di Sungai Musi Palembang (IDN Times/Rangga Erfizal)

Bidar atau Biduk Lancar, menjadi transportasi air yang digunakan untuk patroli di perairan Sungai Musi serta daerah aliran sungai (DAS) di Palembang. Perahu ini biasa wara-wiri pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Seiring perkembangan, kini bidar menjadi tradisi perayaan ulang tahun Palembang yang diperingati setiap 17 Juni. Biasanya, Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang mengadakan perlombaan perahu bidar di pelataran Benteng Kuto Besak.

Pengamat budaya dan sejarawan, Vebri Al Lintani menyebut bidar telah ada sejak jaman Kerajaan Sriwijaya. Bahkan dari catatan sejarah, bidar muncul pertama kali di masa Pemerintahan Belanda Ratu Wilhelmina, yang merupakan pemimpin negara kincir angin selama lebih dari 50 tahun.

"Awalnya, banyak askar (tentara) kerajaan yang menggunakan perahu karena wilayah kekuasaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim. Saat itu, namanya masih Perahu Pecalang yang berguna untuk memantau dan menjaga daerah perairan," katanya kepada IDN Times, Rabu (17/6).

Baca Juga: Memasuki Usia ke-1.337, Selamat Ulang Tahun Palembang!

1. Perkembangan bidar dari pencalang hingga menjadi kegiatan rutin

Ilustrasi lomba bidar mini di Palembang (IDN Times/Istimewa)

Seiring waktu, perahu pencalang yang dulunya hanya dikendarai oleh satu orang perlahan berubah. Bentuknya pun menjadi lebih besar dan disebut dengan bidar. Kini, bidar menjadi tradisi perlombaan khas Palembang yang diadakan saat hari-hari besar. Seperti HUT RI tiap 17 Agustus.

"Menurut cerita turun menurun, lomba bidar dilaksanakan untuk mengingat legenda rakyat dan bertujuan untuk melestarikannya," ujar dia.

Vebri mengisahkan perlombaan bidar bermula saat cerita legenda Putri Dayang Merindu. Ia adalah seorang putri cantik nan jelita yang dicintai dan menjadi gadis yang diperebutkan dua pria. Karena sang putri harus memilih, akhirnya bidar dilombakan untuk memenangkan hati sang putri.

"Saat itu, perlombaan bidar di Sungai Musi ditonton semua warga Palembang," tambah Vebri.

Namun sayang perlombaan itu tak menghasilkan sang juara. Kedua pria itu ditemukan tak bernyawa dan telungkup di bawah bidar. "Keduanya menggunakan tenaga dalam masing-masing. Sewaktu mereka melewati garis finish bersamaan, penduduk menghampiri dan melihat keduanya sudah tidak bernyawa lagi," timpalnya.

2. Memercayai kekuatan ritual Raden Tokak agar menang perlombaan bidar

Jembatan Ampera di Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Setelah kedua pria itu ditemukan tak bernyawa, Putri Dayang Merindu memilih bunuh diri dengan pisau beracun. Ia menusukkan sebilai pisau tepat di arah dadanya. Namun sebelum meninggal, sang putri berpesan agar setelah wafat seluruh warga harus membelah tubuhnya menjadi dua bagian, lalu dikubur bersamaan dengan dua orang yang mencintainya.

"Dari legenda ini, seluruh penduduk akhirnya menghormati dan menyanjung Putri Dayang Merindu. Ia berani berlaku adil, dan sejak itulah kalau penduduk mengadakan acara dilakukan dengan lomba bidar sebagai peringatan untuk idola," tuturnya.

Perjalanan waktu lomba bidar yang mengisahkan legenda Putri Dayang Merindu, lamban laun menimbulkan cerita baru, yakni kepercayaan Raden Tokak.

"Setelah masa sang putri selesai, masyarakat rutin mengadakan lomba. Pada zaman itu mereka percaya agar memenangkan lomba harus melakukan ritual bersama Raden Tokak yang dipercaya sebagai sosok gaib," ungkap Vebri.

Berdasarkan cerita turun-temurun, para peserta biasanya melakukan ritual di Prasasti Kedukan Bukit, Karang Anyar, Palembang. Masyarakat percaya ada sosok gaib dikenal dengan nama Raden Tokak dan diyakini sebagai sosok siluman buaya.

"Sehingga dengan menjalani ritual di tempat itu, warga meyakini setiap perlombaan bidar para peserta dibantu agar bisa menang," tambahnya.

3. Tradisi bidar perlahan nyaris menghilang apabila tidak dilestarikan serius

Lomba bidar di Sungai Musi Palembang (IDN Times/Feny Maulia)

Vebri menerangkan, jika perlombaan perahu bidar tidak dilestarikan serius, ia khawatir tradisi itu akan menghilang. Padahal bidar merupakan warisan asli Palembang. Vebri melihat minat warga Palembang saat perlombaan bidara perlhahan menurun jika dibandingkan dengan era 80an-90an.

Apalagi merawat bidar membutuhkan dana besar, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Ukuran bidar pada umumnya memiliki panjang 29 meter dan lebar 1,5 meter, serta memiliki tinggi 80 sentimeter. Bidar membutuhkan sekitar 50 orang untuk mendayung.

"Merawat dan membeli bidar bisa Rp100 juta, jadi wajar kalau perusahaan akhirnya mem-brand bidar sebagai milik pribadi, bukan lagi milik rakyat," ujar Vebri.

Vebrii mendorong pemerintah menaruh oerhatian terhadap bidar dengan bantuan swadaya ke masyarakat. Begitu juga perusahaan swasta dan pemerintah agar mensponsori bidar tiap perlombaan.

"Contoh dalam satu kecamatan punya satu bidar, mungkin ini bisa jadi daya tarik warga lagi untuk menonton dan melestarikannya. Lomba bidar punya rakyat, bukan segelintir orang saja," tambah dia.

Baca Juga: Atraksi Bersejarah Perahu Bidar di Festival Sriwijaya 2018

Berita Terkini Lainnya