Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Beban Psikologis Jadi Tulang Punggung Keluarga, Sering Diremehkan

illustrasi lelah (pexels.com/Vitaly Gariev)
illustrasi lelah (pexels.com/Vitaly Gariev)
Intinya sih...
  • Tekanan finansial membuat stres luar biasa
  • Dipaksa kuat tanpa ruang untuk lemah
  • Ekspektasi keluarga yang tak pernah habis

Menjadi tulang punggung keluarga sering kali dipandang sebagai bentuk tanggung jawab mulia. Tapi di balik pujian dan penghargaan yang sesekali mampir, ada beban psikologis yang kerap disangkal keberadaannya. Peran ini bukan cuma soal mencari nafkah, tapi juga menanggung ekspektasi keluarga, menjaga stabilitas emosi, dan menjaga harmoni rumah tangga.

Sering kali, orang yang berada di posisi ini merasa harus kuat setiap saat, tanpa ruang untuk merasa lelah atau rapuh. Sayangnya, tidak semua orang paham beratnya posisi ini. Banyak yang hanya melihat sisi luarnya saja seperti gaji tetap, pengambilan keputusan, atau status sebagai kepala keluarga.

Padahal, tekanan mental dan emosi yang dialami bisa jauh lebih besar daripada yang dibayangkan. Berikut ini adalah lima beban psikologis yang sering dihadapi oleh tulang punggung keluarga, namun jarang mendapat pengakuan sebagaimana mestinya.

1. Tekanan untuk selalu stabil secara finansial

ilustrasi menghitung finansial (freepik.com/pressfoto)
ilustrasi menghitung finansial (freepik.com/pressfoto)

Tulang punggung keluarga sering merasa seolah-olah dunia runtuh kalau keuangan goyah sedikit saja. Setiap keputusan keuangan, sekecil apa pun, harus dipertimbangkan matang karena taruhannya bukan cuma dirinya sendiri, tapi seluruh keluarga. Terkadang, ini menimbulkan stres luar biasa karena kebutuhan keluarga gak pernah habis, sedangkan pendapatan bisa saja stagnan.

Apalagi kalau mendadak muncul kebutuhan tak terduga, seperti biaya kesehatan atau pendidikan. Tekanan ini membuat seseorang cenderung menyalahkan diri sendiri ketika mengalami kesulitan finansial. Merasa gagal, malu, bahkan takut dianggap gak mampu.

Padahal, realitas ekonomi gak selalu bisa dikendalikan sepenuhnya. Rasa cemas terus membayangi, dan kadang orang-orang terdekat malah kurang peka, menganggap semua baik-baik saja hanya karena kebutuhan tetap terpenuhi.

2. Dipaksa selalu kuat dan gak boleh gagal

illustrasi stres (pexels.com/Kebs Visuals)
illustrasi stres (pexels.com/Kebs Visuals)

Ada anggapan diam-diam bahwa tulang punggung keluarga harus selalu kuat, gak boleh jatuh, apalagi terlihat lemah. Mereka seolah gak punya ruang untuk mengeluh atau istirahat, karena satu celah kelemahan saja bisa dianggap sebagai ancaman bagi kestabilan keluarga. Ini beban yang berat karena mengharuskan seseorang menekan emosi, pura-pura tenang saat semuanya terasa kacau.

Lama-kelamaan, peran ini bisa membentuk tekanan internal yang luar biasa. Menjadi kuat bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Sayangnya, masyarakat jarang memberi ruang bagi tulang punggung keluarga untuk berkata jujur bahwa mereka juga butuh dukungan.

Akhirnya, banyak yang diam-diam mengalami kelelahan mental yang akut, tanpa sempat benar-benar menyadari betapa seriusnya kondisi itu.

3. Ekspektasi keluarga yang gak pernah habis

ilustrasi kecewa (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi kecewa (pexels.com/Ron Lach)

Ketika seseorang jadi tulang punggung, sering kali harapan semua orang langsung ditumpukan kepadanya. Mulai dari kebutuhan harian, biaya sekolah, sampai permintaan mendadak yang datang tanpa kompromi. Bahkan keputusan-keputusan kecil pun kadang harus dikonsultasikan atau disetujui lebih dulu, seolah tanggung jawab itu gak pernah berbagi.

Ekspektasi ini makin berat karena sering kali gak disertai empati. Ketika ekspektasi gak terpenuhi, yang muncul malah kekecewaan atau penilaian buruk. Tidak jarang juga, tulang punggung keluarga harus menahan diri untuk gak menanggapi secara emosional, meskipun sebenarnya merasa terpojok. Perlahan, ini bisa menumpuk jadi rasa lelah emosional yang cukup menyakitkan.

4. Kesepian dalam mengambil keputusan

ilustrasi wanita dengan perasaan kesepian (freepik.com/freepik)
ilustrasi wanita dengan perasaan kesepian (freepik.com/freepik)

Meski banyak yang mengandalkan, tulang punggung keluarga kerap merasa kesepian saat harus mengambil keputusan penting. Mulai dari urusan pekerjaan, pendidikan anak, hingga hal-hal besar seperti relokasi atau investasi jangka panjang. Semua pilihan seakan harus sempurna, karena kesalahan sedikit bisa berdampak besar.

Kesepian ini diperparah ketika gak ada ruang diskusi yang sehat dalam keluarga. Kadang justru keputusan terbaik dianggap biasa saja, sementara keputusan yang salah langsung disorot habis-habisan. Rasa tertekan karena selalu harus benar membuat beban psikologis jadi makin berat.

Mereka butuh tempat aman untuk berdiskusi tanpa dihakimi, tapi kenyataannya, sering kali yang terjadi justru sebaliknya.

5. Mengorbankan kebahagiaan pribadi demi orang lain

illustrasi stres (pexels.com/Mental Health America (MHA))
illustrasi stres (pexels.com/Mental Health America (MHA))

Banyak tulang punggung keluarga yang secara sadar atau gak sadar mulai mengesampingkan keinginan pribadinya. Waktu istirahat, hobi, bahkan mimpi sendiri perlahan hilang digantikan kebutuhan keluarga. Ada rasa bersalah kalau menikmati sesuatu hanya untuk diri sendiri, karena selalu merasa harus memberi lebih dulu sebelum menerima.

Pengorbanan ini memang mulia, tapi bukan berarti tanpa dampak. Lama-kelamaan, seseorang bisa kehilangan identitas dirinya. Merasa hidup hanya untuk melayani, bukan menjalani. Hal ini berpotensi menimbulkan krisis eksistensial, di mana seseorang mulai mempertanyakan tujuan hidupnya di tengah rutinitas yang terasa kosong.

Sayangnya, orang di sekeliling jarang menyadari hal ini sebelum dampaknya benar-benar terlihat. Menjadi tulang punggung keluarga memang tugas yang luar biasa berat. Tapi di balik kekuatan itu, ada sisi rapuh yang butuh dimengerti dan dihargai.

Tidak semua beban harus ditanggung sendiri, dan dukungan dari orang terdekat bisa sangat berarti. Sudah waktunya berhenti meremehkan beban psikologis yang satu ini, dan mulai saling menguatkan satu sama lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hafidz Trijatnika
EditorHafidz Trijatnika
Follow Us