Potret dahulu dan sekarang Jembatan Ampera di Palembang (IDN Times/Dok. Feny Maulia Agustin)
Menelusuri masa kolonial di Palembang, ikon kota Jembatan Ampera milik Bumi Sriwijaya julukan Palembang pun termasuk peninggalan Belanda. Namun memang dalam pembangunannya ada campur tangan pihak Jepang. Setelah berakhir era kolonial, pembangunan Jembatan Ampera berlanjut hingga Jepang masuk ke Tanah Air.
Jembatan Ampera merupakan jembatan penghubung antara dua daratan yang dipisah oleh Sungai Musi, yakni daerah Ulu dan Ilir. Memiliki panjang 1.117 meter dengan lebar 22 meter, Jembatan Ampera sempat menjadi jembatan terpanjang di Asia Tenggara.
Selain itu, bagian tengah jembatan Ampera sempat bisa diangkat naik untuk agar kapal besar yang mengarungi Sungai Musi bisa melintas. Bagian tengah jembatan diangkat dengan peralatan mekanis dua bandul pemberat. Masing-masing beratnya sekitar 500 ton pada dua menara, dengan kecepatan sekitar 10 meter per menit dan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat seluruh jembatan hingga 30 menit.
Tetapi sejak 1970, mekanisme tersebut tidak lagi dilakukan. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan dianggap mengganggu arus lalu lintas. Ditambah sudah tidak ada lagi kapal besar yang berlayar di Sungai Musi.
Ide membangun jembatan sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang tahun 1906, saat jabatan Wali Kota Palembang diduduki oleh Le Cocq de Armandville, tahun 1924. Tapi Jembatan Ampera baru dibangun April tahun 1962, dan diresmikan 30 September 1965 oleh Letjen Ahmad Yani.
Awalnya Jembatan Ampera disebut Jembatan Bung Karno, panggilan untuk Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno. Nama itu merupakan bentuk apresiasi masyarakat Palembang kepada beliau.
Namun Soekarno tak berkenan, terlebih setelah terjadi pergolakan politik tahun 1966, ketika gerakan anti-Sukarno sangat kuat. Hingga akhirnya Jembatan Ampera berasal dari Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), yang pernah menjadi slogan bangsa Indonesia pada tahun 1960-an.