Kisah Relawan Kebencanaan Sumsel Berpacu Waktu Selamatkan Nyawa 

Arindi beberapa kali mengalami hal mistis saat evakuasi

Palembang, IDN Times - Arindi masih mengingat saat dirinya turun ke kawah aktif gunung Dempo di Pagar Alam. Ia melakukan penyelamatan pendaki gunung yang jatuh ke area bibir kawah.

Pemuda 30 tahun tersebut juga masih mengingat persis upaya evakuasi kecelakaan lalu lintas PO Bus Sriwijaya di liku Lematang, jelang Natal 2019 lalu yang mengakibatkan puluhan orang tewas.

Arindi selalu hadir di setiap kebencanaan. Menurutnya, menjadi relawan merupakan panggilan hati. Ia merasa memiliki keahlian yang bermanfaat untuk orang banyak di saat sulit.

"Saya sudah akrab dengan kegiatan pecinta alam sejak belasan tahun silam. Bahkan sejak SMP mulai akrab dengan pecinta alam. Sudah banyak proses evakuasi yang saya lakukan saat terjadi kebencanaan di Sumsel. Saya pun dikontrak BPBD Pagar Alam karena merasa passion-nya di sini," ungkap Arindi saat bercerita kepada IDN Times, Kamis (16/12/2021).

1. Persiapan evakuasi bencana berbeda-beda

Kisah Relawan Kebencanaan Sumsel Berpacu Waktu Selamatkan Nyawa Cerita relawan kebencanaan di Sumsel dalam Proses evakuasi (IDN Times/Foto Narsum:Arindi)

Baginya, menjadi relawan adalah cara membantu orang-orang yang hidup maupun telah meninggal dunia. Relawan tak hanya hadir saat kecelakaan di gunung, namun membantu proses evakuasi banjir, tenggelam di sungai, kebakaran, hingga kecelakaan di jurang.

Menurutnya, setiap medan berbeda-beda. Persiapan untuk terlibat dalam setiap evakuasi tidak pernah sama. Dirinya harus berjibaku dengan kondisi alam yang ganas untuk menyelamatkan orang.

"Setidaknya setiap relawan memerlukan tali webbing pribadi 10 meter. Bisa digunakan untuk pengikat badan hingga membuat tanduh evakuasi. Selebihnya, perlengkapan pribadi seperti jas hujan, sepatu, dan peralatan masak," ungkap dia.

Baca Juga: Petik Edelweis, Pendaki Ini Dilarang Mendaki Gunung Dempo 3 Tahun

2. Mengejar waktu demi aksi penyelamatan

Kisah Relawan Kebencanaan Sumsel Berpacu Waktu Selamatkan Nyawa Cerita relawan kebencanaan di Sumsel dalam Proses evakuasi (IDN Times/Foto Narsum:Arindi)

Dalam proses evakuasi, dirinya tak sendiri. Apalagi medan yang ditempuh begitu berat. Menurutnya, proses evakuasi akan memakan waktu panjang jika medan yang ditempuh jauh dan sulit dijangkau.

Tak hanya medan, dirinya harus memperhitungkan waktu evakuasi agar berjalan dengan cepat. Mereka yang selamat dalam evakuasi kerap dalam kondisi yang lemah dan membutuhkan pertolongan cepat.

"Ini suka dukanya. Kalau di jurang atau sungai yang sulit dalam proses evakuasi jenazah, kita harus memikirkan bagaimana jenazah sampai ke atas. Ini hanya bisa dilakukan lewat kerja sama tim," jelas dia.

Evakuasi kecelakaan pendaki gunung pun tak jauh berbeda. Jika sang pendaki selamat, dirinya akan mempercepat langkah agar sampai di bawah dengan cepat.

"Karena di gunung itu kita kerap terjebak badai. Kalau pendaki ditemukan meninggal dunia, maka kita memilih berteduh terlebih dahulu hingga cuaca membaik. Sedangkan jika selamat, badai pun harus kita tembus dengan cepat. Kita berbicara nyawa," jelas dia.

Baca Juga: Wiyoto Meninggal Setelah Hipotermia dan Sesak Napas di Gunung Dempo

3. Pernah mengalami kejadian mistis saat evakuasi

Kisah Relawan Kebencanaan Sumsel Berpacu Waktu Selamatkan Nyawa Cerita relawan kebencanaan di Sumsel dalam Proses evakuasi (IDN Times/Foto Narsum:Arindi)

Pengalaman Arindi sebagai relawan kebencanaan membawa banyak cerita yang menarik. Tak jarang dirinya harus mengalami kejadian mistis, seperti yang terjadi saat menyelamatkan pendaki di Gunung Dempo yang jatuh ke kawah. Saat itu, heboh laporan mengenai seorang pendaki terjatuh ke kawah usai swafoto di puncak gunung setinggi 3.159 meter dari permukaan laut (MDPL).

Dirinya bergerak bersama tim SAR untuk melakukan penyelamatan. Arindi mencatat proses evakuasi harus memakan waktu tiga hari. Hari pertama evakuasi mengharuskan tim turun sekitar 150 meter ke kawah hanya untuk mengobservasi titik korban terjatuh. Timnya pun harus menambah tali tambahan 200 meter menjadi 300 meter.

"Pada hari kedua ini yang sedikit mistis, tetapi mungkin hanya perasaan saya saja. Saat saya panggil namanya (korban) sempat melihat ke saya, setelah itu 15 kali saya panggil dia sudah tidak menanggapi. Saya pikir apa dia kerasukan. Sehingga saya meminta satu orang dari puncak untuk turun menemani saya di bawah," kenang Arindi.

Sebelum proses penjemputan korban, dirinya memilih berdoa agar dikuatkan dalam proses evakuasi. Saat turun ke lokasi korban, Arindi melihat banyak darah dari kain yang digunakan korban untuk mengelap luka-lukanya.

Kedua relawan sempat tak berani menegur korban yang hanya diam mematung. Rekannya berinisiatif memberikan sentuhan di punggung untuk menyadarkan korban, hingga membuat ketiganya sama-sama terkejut.

Dengan halusinasi, korban berucap kepada para relawan jika dirinya ditemani tiga orang pendaki selama menunggu tim relawan. Padahal menurut Arindi, hanya ada korban di dalam kawah tersebut.

"Setelah korban kita berikan pertolongan pertama, kita beri makan. Kita mulai ajak untuk naik. Korban menyodorkan rokok, katanya diberi teman yang bersamanya di bawah. Saya kaget secara logika tidak mungkin ada orang di bawah kawah, tapi rokoknya ada," ujar dia.

Baru beberapa langkah proses naik ke punggungan bukit, mereka dikagetkan lagi dengan cuaca yang tiba-tiba berkabut. Korban sempat menunjukan air minum ia konsumsi selama berada di kawah.

"Setelah kita lihat ternyata air belerang. Kita makin merasa mistis, karena korban bilang itu air yang diambil bersama teman-temannya selama di kawah," ungkap Ketua Balai Registrasi Gunung Merapi Dempo (Brigade) tersebut.

Baca Juga: Fakta Baru Kecelakaan Bus Sriwijaya, Polda Sumsel Temukan Hal Ini

4. Arindi tak ingin ada nyawa yang hilang sia-sia

Kisah Relawan Kebencanaan Sumsel Berpacu Waktu Selamatkan Nyawa Cerita relawan kebencanaan di Sumsel dalam Proses evakuasi (IDN Times/Foto Narsum:Arindi)

Selama menjadi relawan, Arindi mengaku tak pernah merasa trauma. Hanya saja rasa takut masih sering membayangi evakuasi. Sebab dalam evakuasi tidak hanya menyelamatkan nyawa orang lain, tetapi menyelamatkan diri sendiri.

Dirinya mengingat proses evakuasi yang terjadi Desember 2019 lalu saat PO Bus Sriwijaya yang berangkat dari Bengkulu tujuan Palembang, terjun bebas ke jurang Liku Lematang. Korban meninggal dunia mencapai 35 orang, dan menjadi kecelakaan bus dengan jumlah terbesar di Pagar Alam.

"Liku Lematang jalurnya gelap, apa lagi kejadiannya dini hari. Dari atas ke bawah mencapai 50 meter. Dengan jumlah tim relawan yang terbatas, kita harus turun segera menyelamatkan penumpang yang mungkin selamat," jelas dia.

Evakuasi memakan waktu selama tiga hari untuk memastikan semua penumpang yang jatuh ke dalam jurang berhasil dievakuasi. Baru beberapa jam evakuasi, pihaknya sudah menemukan banyak jenazah yang meninggal dunia di dalam jurang.

"Karena jurangnya sungai, kita harus berpacu waktu juga agar jenazah tidak terbawa arus. Terakhir ada jenazah yang hanyut sampai dua kilometer. Kita harus mengarungi sungai yang deras untuk mencari korban," beber dia.

Kini Arindi masih berjibaku dengan kegiatan yang berhubungan dengan penyelamatan. Sebagai pekerja kontrak di BPBD, dirinya juga menjadi Ketua Brigade yang memberikan izin kepada pendaki gunung Dempo. Menurutnya, sosialisasi keselamatan di alam akan terus disampaikan sebagai langkah mencegah korban berjatuhan.

"Sekarang secara umum pengamatan kami, angka kecelakaan di sungai dan gunung berkurang. Kita juga sosialisasi ke masyarakat untuk berhati-hati saat musim hujan, terutama mereka yang beraktivitas di daerah perbukitan dan sungai," tutup dia.

Baca Juga: Evakuasi Korban, Ada 8 Anak-anak Tewas Terjebak dalam Bus Sriwijaya 

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya