Aktivis di Jambi melakukan aksi unjukrasa menuntut angkutan batubara yang melewati jalan umum di hentikan. (IDN Times/ Dedy Nurdin)
Sejak pemerintah membuka keran tambang batu bara di Jambi, akses lalu lintas mulai terganggu. Terutama jalur penghubung Jalan lintas Nasional. Mulai dari Kabupaten Sarolangun, Muara Bulian, hingga ke Pelabuhan Talang Duku di Kabupaten Muarojambi.
Namun meningkatnya pengerukan emas hitam di Jambi tidak dibarengi dengan akses transportasi. Selama ini angkutan batu bara menggunakan jalan yang dibangun dari APBN maupun APBD. Tak ada akses jalan khusus.
Dalam data Dinas Perhubungan Provinsi Jambi, jumlah angkutan batu bara yang aktif beroperasi mencapai 8.600 unit sampai Januari 2023.
Kebanyakan kendaraan itu berpusat di kawasan tambang Koto Boyo. Setiawan pengguna jalan menyayangkan tak ada jalur khusus bagi angkutan bertonase besar itu.
Sehingga setiap hari pengguna jalan lainnya harus berebut jalur di jalan raya. Setiawan adalah sopir truk pembawa perabot rumah tangga. Lelaki 37 tahun itu sudah 15 jam terjebak macet di daerah Koto Boyo.
"Dari sore kemarin, kami ini sudah terjebak kemacetan. Kalau sudah begini ya bisanya cuma pasrah dan sabar," kata Setiawan.
Ini bukan pertama kali dia terjebak macet. Namun hari itu yang paling parah. Tak ada cela, jalan dikuasai angkutan batu bara sehingga lalu lintas lumpuh.
Jika sudah seperti ini, Setiawan merugi. Uang jalan terpakai untuk kebutuhan makan selama menunggu jalan terurai. Terkadang harus menggunakan uang pribadi untuk memenuji kebutuhan di jalan.
"Kami sopir ini punya jadwal ya, hari ini dan jam sekian misalnya kami harus sudah berangkat, kalau macet, tentu tidak ada lagi waktu istirahat di rumah. Waktu untuk anak dan isteri yang memang tergadai kalau sudah mace," kata Wawan.