4 Rekomendasi Wisata Sejarah Leluhur Tionghoa di Palembang

Palembang, IDN Times - Liburan Imlek pada 29 Januari 2025 mendatang rasanya cukup panjang jika digabungkan dengan tanggal merah peringatan Isra Mikraj. Momen ini tentunya sangat cocok dimanfaatkan untuk berkunjung ke tempat wisata sejarah yang ada di Kota Palembang.
Beberapa tempat di Palembang, memiliki cerita dan sejarah panjang dengan leluhur etnis Tionghoa. Tak heran pada saat libur Imlek, kota pempek ini cukup ramai dikunjungi orang Tionghoa dari berbagai daerah, serta dari mancanegara.
Libur hari raya Imlek ini disambut dengan suka cita tidak hanya oleh etnis Tionghoa saja, tetapi dari berbagai kalangan. Biasanya, di momen Imlek orang-orang akan berdatangan ke tempat wisata bersejarah etnis Tionghoa untuk menikmati budaya dan tradisi atau hanya sekedar berjalan-jalan.
Berikut 4 rekomendasi wisata sejarah leluhur Tionghoa yang wajib dikunjungi saat libur Imlek.
1. Pulau Kemaro

Pulau Kemaro sangat terkenal akan historis yang dimilikinya. Jika ingin melihat langsung keindahan dan keunikan yang ada di Pulau Kemaro di tengah Sungai Musi Palembang, maka libur Imlek adalah saat yang tepat.
Apalagi saat ini akses jalan berupa jembatan ponton dan transportasi berupa kapal tongkang dari Dermaga 16 Ilir selalu siaga mengantar wisatawan. Selain keindahan alamnya, karena berada di tengah aliran sungai, di pulau ini ada tempat ibadah yakni Kelenteng Hok Tjing Rio, Pagoda, serta Makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri).
Pulau Kemaro dikenal dengan legenda seorang putri bernama Siti Fatimah yang disunting oleh seorang saudagar Tionghoa yang bernama Tan Bun An pada zaman kerajaan Palembang.
Siti Fatimah diajak ke darataran Tiongkok untuk melihat orang tua Tan Bun An. Setelah di sana beberapa waktu, Tan Bun An beserta istri pamit pulang ke Palembang dan dihadiahi 7 buah guci.
Tiba di perairan Sungai Musi, tepatnya dekat Pulau Kemaro, Tan bun An ingin melihat hadiah yang diberikan. Begitu dibuka Tan Bun An, kaget sekali isinya sawi-sawi asin. Tan Bun An tidak berpikir lagi dan langsung membuang guci-guci tersebut ke sungai.
Tidak disangka, guci terakhir jatuh di atas dek perahu dan pecah. Betapi kagetnya Tan Bun An, ternyata ada hadiah yang tersimpan di dalam guci-guci tersebut. Tan Bun An tidak banyak berpkir ia langsung melompat ke sungai untuk mencari guci-guci tadi. Ingin membantu seorang pengawal juga terjun menyusul Tan Bun An.
Siti Fatimah, yang melihat Tan Bun An dan pengawal tidak muncul ke permukaan ikut melompat untuk menolong. Namun, justru mereka bertiga tidak muncul lagi.
Penduduk sekitar pulau sering mendatangi Pulau Kemaro untuk mengenang tiga orang tersebut dan tempat tersebut dianggap sebagai tempat yang sangat keramat sekali.
2. Rumah Baba Ong Boen Tjit

Rumah ini dibangun sekitar 300 tahun lalu. Berada di Jalan Faqih Usman Lorong Saudagar Yucing, Kelurahan 4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang, rumah ini dimiliki oleh seorang Saudagar terkenal Ong Boen Tjit pada tempo dulu dan kini dihuni oleh keluarga keturunan yang kedelapan.
Rumah Saudagar Ong Boen Tjit ini sekarang lebih dikenal Rumah Baba Ong Boen Tjit. Apalagi sejak ditetapkannya rumah ini menjadi bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Palembang.
Dengan perpaduan ornamen Tiongkok dan eksterior khas Palembang, keaslian bangunan yang tebuat dari kayu masih tetap dipertahankan. Sekarang hampir setiap hari ada saja wisatawan baik dari Palembang, luar kota Palembang, bahkan mancanegara mendatangi rumah ini.
Adapun bila ingin berkunjung ke Rumah Baba Boen Tjit, disarankan untuk menggunakan transportasi air menyusuri Sungai Musi dengan perahu ketek karena di Rumah Baba Ong Boen Tjit sudah ada Dermaga yang representatif.
3. Kampung Kapitan

Kampung Kapitan berada di Jalan KH Azhari, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang. Awal munculnya Kampung Kapitan adalah saat runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya Dinasti Ming (Cina) pada abad XIV. Saat itu, Kolonial Belanda mengangkat Perwira keturunan Tionghoa berpangkat Mayor untuk mengatur wilayah 7 Ulu, yang dikenal sebagai Mayor Tumenggung dan Mayor Putih.
Setelah itu, jabatan itu diwariskan secara turun temurun kepada pewarisnya yakni Tjoa Kie Tjuan yang merupakan pimpinan masyarakat Cina Palembang yang pertama dan memiliki pangkat mayor. Masa kepemimpinannya adalah dari tahun 1830-1855 di kawasan 7 Ulu.
Setelah itu diteruskan oleh putranya yaitu Tjoa Ham dengan pangkat kapiten atau kapten menggantikan ayahnya, dan diberikan wewenang dan kebebasan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Seiring berjalannya waktu, masyarakat dari keturunan Tionghoa kemudian menjadi perantara perdagangan dan mendapatkan posisi istimewa oleh Kolonial Belanda.
Di Kampung Kapitan, terdapat tiga rumah yang masih berdiri kokoh. Bangunan selama 300 tahun tersebut memiliki panjang 59 meter dengan lebar sekitar 25 meter. Tiap rumah memiliki empat kamar besar dan dua kamar kecil. Warna merah khas Tionghoa pun sangat lekat mendominasi interior dalam rumah yang dipercaya sebagai lambang keberuntungan.
Dulunya, rumah ini dijadikan sebagai markas dan tempat peristirahatan oleh para pelayar asal Tiongkok, yang melakukan bisnis perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya. Rumah tersebut pertama kali dibangun oleh seorang Mayor bernama Tjoa Kie Tjuan, dan diteruskan oleh keturunannya.
Secara cepat, lokasi itu dikenal sebagai Kampung Kapitan, di mana orang-orang yang berdagang datang dari wilayah lain untuk singgah dan mayoritasnya dari orang daratan China.
Kampung Kapitan dulu juga menjadi tempat orang-orang Tionghoa yang datang dari Dinasti Ming. Mereka mendirikan kongsi dagang di wilayah Palembang sebagai pusat perdagangan di wilayah selatan, sehingga para saudagar dari Tiongkok berbondong-bondong datang.
Orang-orang Tionghoa dari Dinasti Ming lalu dilanjutkan Dinasti Qing memiliki hubungan dagang yang erat di Palembang. Keluarga Kapitan menjaga jalur Sungai Musi di Palembang hingga tahun 1920-an, ketika keturunan terakhirnya menjadi kapten jalur pelayaran Palembang.
Hingga kini, turunan Kapitan tetap melestarikan rumah sebagai peninggalan nenek moyang mereka. Bahkan, saat ini keturunan dari pendiri Kampung Kapitan sudah mencapai 13 generasi. Bangunan rumah kayu yang megah tersebut pun hingga kini masih bisa dijumpai setiap saat. Untuk pengunjung yang ingin melihat sejarah bangunan Kampung Kapitan, bisa langsung datang ke lokasi.
4. Masjid Cheng Ho

Diketahui, Masjid Cheng Ho menjadi simbol keragaman budaya dan keberagaman agama yang hidup berdampingan secara harmonis. Masjid bernuansa Muslim Tionghoa ini berlokasi di Kompleks Jakabaring.
Dengan keunikannya, masjid ini memadukan arsitektur dari tiga budaya yang berbeda, yakni Palembang, Tionghoa, dan Arab. Selain itu, masjid ini didirikan atas prakarsa pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan serta tokoh masyarakat Tionghoa di sekitar Palembang.
Tak heran jika telah lama menjadi simbol harmoni budaya dan tempat bersejarah yang menarik perhatian banyak orang. Perpaduan arsitektur yang unik ini mencerminkan semangat toleransi dan keragaman budaya yang ada di Palembang
Tidak hanya menjadi tempat ibadah bagi umat Muslim, tetapi juga terbuka untuk seluruh masyarakat, termasuk non-Muslim, yang ingin mengunjunginya. Namun dalam menjaga kesakralan masjid, aturan dan syariat Islam harus tetap diikuti oleh semua pengunjung.