Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Sumsel Masuk Musim Kemarau, Waspada Hotspot Meluas

Ilustrasi kemarau. Tanah tambak mengering di Kecamatan Mangara Bombang, Takalar, Sulawesi Selatan, Senin (2/9/2019) (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Palembang, IDN Times - Stasiun Klimatologi Sumatra Selatan (Sumsel) mengingatkan seluruh pihak mengenai penurunan curah hujan di Sumsel dalam beberapa waktu terakhir. Dinamika atmosfer menunjukkan La Nina telah melemah, dan memprakirakan musim kemarau akan segera berlangsung.

"Seiring menguatnya Monsun Timuran sebagai salah satu pemicu kemarau di wilayah Sumsel, telah terjadi penurunan curah hujan sejak pertengahan Juni 2022," ungkap Kepala Stasiun Klimatologi Sumsel, Wandayantolis, Jumat (8/7/2022).

1. Meski kemarau mundur, hujan juga masih bisa terjadi

Ilustrasi musim hujan (shutterstock)

Musim kemarau di wilayah Sumsel mundur dari prediksi awal. Umumnya kemarau akan mulai pada pertengahan Mei hingga awal Juni. Namun akibat fenomena La Nina, musim kemarau jatuh lebih lama atau mundur sekitar 20-40 hari dari kondisi normalnya.

"BMKG memprakirakan musim kemarau berlangsung pada Juli hingga September, namun tetap memungkinkan hujan terjadi saat kemarau," ujar dia.

2. HTH mengalami peningkatan

Ilustrasi cuaca ekstrem ( ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Wandayantolis menambahkan, jika Madden Julian Oscillation (MJO) saat ini telah meninggalkan benua maritim Indonesia yang berdampak pada pengurangan potensi hujan. Berdasarkan citra satelit OLR, penurunan curah hujan berpotensi pada 10-20 hari ke depan.

"Umumnya penurunan curah hujan linier dengan penurunan jumlah hari hujan (HH), berarti juga meningkatnya jumlah hari tanpa hujan (HTH)," jelas dia.

3. HTH sebabkan hotspot dan potensi kebakaran

Kebakaran lahan di wilayah Pangkalan Lampam Sumsel (IDN Times/Balai Perubahan Iklim)

Stasiun Klimatologis mengingatkan pemangku kepentingan untuk mengantisipasi penurunan curah hujan dan meningkatnya luasan hotspot. Menurut Wandayantolis, secara empiris jika HTH lebih dari tiga hari sudah dapat memicu kemunculan hotspot. Jika HTH semakin panjang, maka hotspot dapat meluas menjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Meluasnya hotspot karhutla sudah tentu disertai kemunculan asap yang memberi dampak negatif pada banyak hal, seperti kesehatan dan juga kerawanan sektor transportasi," tutup dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deryardli Tiarhendi
Rangga Erfizal
Deryardli Tiarhendi
EditorDeryardli Tiarhendi
Follow Us