Sumsel Masuk Musim Kemarau, Waspada Hotspot Meluas

La Nina sebabkan musim hujan lebih lama dari waktu normal

Palembang, IDN Times - Stasiun Klimatologi Sumatra Selatan (Sumsel) mengingatkan seluruh pihak mengenai penurunan curah hujan di Sumsel dalam beberapa waktu terakhir. Dinamika atmosfer menunjukkan La Nina telah melemah, dan memprakirakan musim kemarau akan segera berlangsung.

"Seiring menguatnya Monsun Timuran sebagai salah satu pemicu kemarau di wilayah Sumsel, telah terjadi penurunan curah hujan sejak pertengahan Juni 2022," ungkap Kepala Stasiun Klimatologi Sumsel, Wandayantolis, Jumat (8/7/2022).

1. Meski kemarau mundur, hujan juga masih bisa terjadi

Sumsel Masuk Musim Kemarau, Waspada Hotspot MeluasIlustrasi musim hujan (shutterstock)

Musim kemarau di wilayah Sumsel mundur dari prediksi awal. Umumnya kemarau akan mulai pada pertengahan Mei hingga awal Juni. Namun akibat fenomena La Nina, musim kemarau jatuh lebih lama atau mundur sekitar 20-40 hari dari kondisi normalnya.

"BMKG memprakirakan musim kemarau berlangsung pada Juli hingga September, namun tetap memungkinkan hujan terjadi saat kemarau," ujar dia.

Baca Juga: 10 Hektare Lahan Rawa Gambut di Kabupaten OKI Terbakar 

2. HTH mengalami peningkatan

Sumsel Masuk Musim Kemarau, Waspada Hotspot MeluasIlustrasi Siklon Tropis di Indonesia ( ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Wandayantolis menambahkan, jika Madden Julian Oscillation (MJO) saat ini telah meninggalkan benua maritim Indonesia yang berdampak pada pengurangan potensi hujan. Berdasarkan citra satelit OLR, penurunan curah hujan berpotensi pada 10-20 hari ke depan.

"Umumnya penurunan curah hujan linier dengan penurunan jumlah hari hujan (HH), berarti juga meningkatnya jumlah hari tanpa hujan (HTH)," jelas dia.

Baca Juga: Sumsel Pinjam 9 Helikopter Water Boombing Hadapi Karhutla

3. HTH sebabkan hotspot dan potensi kebakaran

Sumsel Masuk Musim Kemarau, Waspada Hotspot MeluasKebakaran lahan di wilayah Pangkalan Lampam Sumsel (IDN Times/Balai Perubahan Iklim)

Stasiun Klimatologis mengingatkan pemangku kepentingan untuk mengantisipasi penurunan curah hujan dan meningkatnya luasan hotspot. Menurut Wandayantolis, secara empiris jika HTH lebih dari tiga hari sudah dapat memicu kemunculan hotspot. Jika HTH semakin panjang, maka hotspot dapat meluas menjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Meluasnya hotspot karhutla sudah tentu disertai kemunculan asap yang memberi dampak negatif pada banyak hal, seperti kesehatan dan juga kerawanan sektor transportasi," tutup dia.

Baca Juga: Muba Siagakan 10 Posko Terpadu Karhutbunla di Beberapa Titik Rawan 

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya