Kritisi Wisuda Sekolah, Pakar: Anak Jangan Diajarkan Konsumtif

- Wisuda di PAUD hingga SMA menuai polemik karena membebani orang tua dengan iuran perpisahan yang dianggap pemborosan.
- Pakar Pendidikan menilai wisuda tak perlu diwajibkan, sekolah harus menyelenggarakan perpisahan secara sederhana tanpa embel-embel wisuda.
- Perpisahan harus memastikan kondisi sekolah dan orang tua agar tidak memberatkan satu pihak semata, fokus pada motivasi anak untuk melanjutkan pendidikan.
Palembang, IDN Times - Ramainya kegiatan wisuda di tingkat PAUD, SD, TK, hingga SMA menuai polemik lantaran dianggap tak memiliki dampak bagi anak dan membebani orang tua. Iuran yang dibayarkan untuk melaksanakan perpisahan sekolah di gedung atau pun hotel dianggap sebagai sikap pemborosan dan menimbulkan dampak negatif.
Setiap anak tidak berasal dari satu kondisi ekonomi yang sama, ada yang mampu ada juga yang tidak. Acara perpisahan atau wisuda tersebut kerap menjadi ajang bisnis dan komersialisasi dalam pendidikan yang seharusnya tidak dilakukan.
"Sebenarnya perpisahan sudah ada sejak dari dulu. jaman saya sudah seperti itu. Tapi pada masa itu perpisahan tidak memberatkan anak dan orang tua. Di tengah kondisi ekonomi sulit seperti sekarang justru perlu menumbuhkan budaya sederhana, budaya dimana anak-anak kita tidak diajarkan untuk konsumtif," ungkap Pakar Pendidikan Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Abdullah Idi kepada IDN Times, Rabu (7/5/2025).
1. Perpisahan bisa dilakukan di sekolah secara sederhana

Idi menjelaskan, langkah pemerintah daerah mengeluarkan SE terkait perpisahan atau wisuda bukan kewajiban dianggap tepat. Hal ini harus menjadi evaluasi sekolah-sekolah yang ada di Sumsel untuk tidak melakukan perpisahan yang di luar kewajaran seperti perpisahan di hotel.
"Jangan terkesan perpisahan itu diharuskan atau diwajibkan. Kalau pun ada perpisahan, paling hanya makan-makan ringan atau pelepasan dari sekolah masing-masing tidak perlu lah nyewa hotel," ungkap dia.
2. Pemaknaan wisuda untuk perpisahan dianggap keliru

Dirinya menilai perpisahan yang ada tidak perlu diseragamkan sebagai suatu hal mutlak yang harus dilakukan. Perpisahan tersebut harus memastikan kondisi sekolah dan orang tua agar tidak memberatkan satu pihak semata.
"Terlebih kesan wisuda yang disematkan itu menjadi sakral. Kalau dia sudah sarjana boleh lah. Tetapi untuk anak TK, SD, SMP dan SMA acara perpisahan saja kecil-kecilan jangan dibuat embel-embel wisuda," jelas dia.
3. Pendidikan lanjutan anak harus lebih dipikirkan

Idi menjelaskan, anak-anak yang menempuh pendidikan TK, SD, SMP dan SMA masih memiliki cita-cita yang panjang. Jangan sampai acara seremonial dalam satu hari justru mempengaruhi pendidikan di waktu yang akan datang.
Dirinya pun menilai, sekolah tidak berhak membebani orang tua siswa dengan biaya tambahan lainnya hanya untuk mengadakan kegiatan sehari selesai.
"Mereka masih punya cita-cita, mending digunakan untuk persiapan melanjutkan pendidikan. Jangan sampai karena ingin perpisahan anak tidak bisa melanjutkan pendidika ke jenjang selanjutnya. Itu justru akan menyengsarakan mereka," jelas dia.
4. Wisuda dan studi banding tidak perlu diseragamkan

Dirinya menyarankan sekolah agar dapat menyelenggarakan perpisahan secara sederhana dengan lebih guyub dengan doa bersama dan pemberian motivasi agar anak-anak memiliki cita-cita yang lebih tinggi.
"Kesederhanaan itu yang penting tidak harus sampai bermewah-mewah. kalau dia SMA bagaimana diberikan motivasi mereka melanjutkan studi ke pendidikan tinggi. Jadi jangan sampai dipatok harga membebani orang tua termasuk studi banding, kalau orang tua tidak mampu jangan dibebankan lagi," jelas dia.