Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan Pemerintah

Solidaritas sesama transpuan menjadi cara bertahan hidup

Palembang, IDN Times - Hampir setahun pandemik COVID-19 namun tak sedikit pun bantuan dari pemerintah turun bagi transpuan di wilayah Sumatra Selatan (Sumsel). Himpunan Waria yang tergabung dalam Musyawarah Keluarga Gotong Royong (MKGR), mengaku harus bertahan hidup dengan solidaritas antar sesama.

Meski selama ini pemerintah daerah selalu mendukung berbagai kegiatan mereka, namun bantuan COVID-19 tak pernah sampai. Hanya beberapa transpuan yang bisa bertahan di situasi pandemik.

"Kalau soal terdampak, kami semuanya pasti merasakan. Hanya beberapa orang yang bisa bertahan. Kami akhirnya bersolidaritas untuk kelompok dalam menghadapi pandemik," ujar Ketua Himpunan Waria MKGR, Herianto (40) kepada IDN Times, Jumat (26/2/2021).

1. Gotong royong sesama transpuan memberi harapan selama pandemik

Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan PemerintahHerianto (50) Ketua Himpunan Waria MKGR saat dibincangi IDN Times (IDN Times/Rangga Erfizal)

Menurutnya jika tidak bersolidaritas tidak ada lagi yang dapat membantu. Heri sapaan akrab Herianto pun mengatakan, transpuan yang tergabung di Himpunan Waria sudah berjumlah 700 orang di 14 kabupaten dan kota Sumatra Selatan (Sumsel). Hanya kabupaten OKU Timur, OKI, dan Muratara yang belum terafiliasi dengan MKGR.

Sebenarnya masih banyak waria yang belum tergabung dalam organisasi karena berbagai alasan, namun hal itu tidak mengurangi rasa saling terikat meski menjadi minoritas dan kerap dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang.

"Mau tidak mau kami berjuang gotong royong menghadapi pandemik, kasihan dengan yang tidak mampu. Kami pun harus urunan memberi bantuan mulai dari sembako, dan minta bantuan dari salon ke salon untuk disalurkan bagi sesama transpuan," ujar dia.

Heri tidak terlalu ingin bergantung pada bantuan dari pemerintah. Dirinya sadar sebagai pendatang, bantuan hanya untuk mereka yang berdomisili Palembang. Meskipun dirinya telah bertahun-tahun menetap di sini.

"Kalau saya pribadi memang pendatang jadi tidak mungkin menuntut terlalu banyak. Nah teman-teman yang lain justru yang menetap memiliki KTP tidak mendapatkan bantuan," jelas dia.

Baca Juga: Transpuan di Palembang Rampas Tas Teman Kencan Gara-gara Tak Dibayar

2. Perlakuan diskriminatif terhadap himpunan waria menurun

Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan PemerintahHimpunan waria saat mengisi waktu di tengah pandemik dengan membuat baju dsb (IDN Times/Rangga Erfizal)

Di sisi lain, kehidupan transpuan yang tinggal di Sumsel sudah semakin baik. Diskriminasi kepada mereka jauh berkurang dibandingkan tahun 1980-an hingga 1990-an. Saat ini mereka lebih mudah untuk coming out atau melela karena tidak lagi menjadi masalah. Menurutnya kebanyakan masyarakat telah menerima orientasi mereka sebagai sesama manusia untuk menentukan orientasi seksual.

Heri menggambarkan, kata-kata panggilan bagi transpuan yang akrab di telinga adalah banci. Hal itu sering kali didengarnya dari masyarakat dalam menggambarkan komunitasnya. Hanya saja, ia tidak terlalu mempermasalahkan panggilan itu. Dirinya lebih melihat bagaimana kata banci digunakan.

"Kata itu kasar tergantung nada dan tujuan dia menyebutnya. Saya melihat untuk diskriminasi jauh berkurang, cat calling pun ikut berkurang," jelas dia.

Tak hanya dari masyarakat, diskriminasi dari pemerintah pun jauh berkurang. Kalaupun ada, dirinya hanya menganggap mereka sebagau oknum. Pasalnya dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Himpunan Waria MKGR mencatat tak ada lagi transpuan yang kesulitan mengurus KTP.

"Apalagi untuk kekerasan terhadap waria sudah gak ada lagi. Kalaupun ada lebih dari pasangan sih. Sumsel sendiri belum ada lembaga yang mengakomodir pengaduan kekerasan, namun kita sering mengikuti kegiatan bersama Lembaga Bantuan Hukum (LHB)," jelas dia.

3. Meski diskriminasi berkurang, pembagian bansos tetap tak melibatkan transpuan

Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan PemerintahIlustrasi Wanita-Pria (IDN Times/Arief Rahmat)

Senada Sekretaris Himpunan Waria MKGR, Agus (50) menjelaskan, usaha para transpuan sangat terdampak selama pandemik. Berbagai usaha mulai dari salon, make up pengantin, hingga penyewaan baju pengantin sangat jauh berkurang. Dirinya menyadari betul saat pandemik semua kegiatan sangat dibatasi, sehingga berpengaruh bagi penawaran jasa yang mereka berikan.

"Paling kita hanya menjalankan potong rambut saja, karena walau bagaimana pun orang masih memangkas rambut. Kalau untuk penyewaan baju atau riasan pengantin sudah jarang," jelas dia.

Menurutnya bantuan yang diharapkan tidak pernah sampai. Meski menetap di Palembang telah lama dan memiliki KTP setempat. Dirinya masih dianggap orang mampu oleh Ketua RT setempat. Dari uang memangkas rambut ia gunakan untuk bertahan hidup.

"Padahal ini kan tugas RT mendata warganya yang tidak mampu. Saya rasa ini masuk bagian diskriminasi yang kami terima, meskipun diskriminasi di sisi lain (hinaan) sudah berkurang jauh," jelas dia.

4. Transpuan mulai mengubah citra buruk

Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan PemerintahSeketaris Himpunan Waria MKGR Sumsel, Agus (IDN Times/Rangga Erfizal)

Agus menambahkan, Himpunan Waria MKGR menjadi tempat berkumpulnya para transpuan memperjuangkan aspirasinya sebagai sesama warga negara Indonesia. Dari organisasi ini, para transpuan ingin menunjukkan bahwa eksistensi mereka juga memiliki pengaruh yang positif.

Perlahan-lahan gambaran transpuan yang jelek ingin diubah. Agus menilai, untuk diterima masyarakat mereka pula harus berbenah merapikan gambaran yang sudah tertanam di benak masyarakat.

"Kami mulai mengubah image 'banci' yang identik dengan pekerja seks komersial (PSK) jalanan. Kami melakukan pembinaan, para transpuan mulai diberikan pelatihan salon, make up dan sebagainya. Ada peran Dinsos dalam membantu mengubah image tersebut, melalui pelatihan dan dana bantuan," ujar dia.

5. Salah satu transpuan di Palembang bertahan dari mengajar menyanyi

Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan PemerintahKetua Komunitas Artis Fantastic, Aris Rinaldi (50) bercerita mengenai bertahan hidup saat pandemik sebagai transpuan (IDN Times/Rangga Erfizal)

Lain halnya Ketua Komunitas Artis Fantastic, Aris Rinaldi (50). Sebagai transpuan, dirinya mengandalkan usaha salon, make up pengantin, dan panggilan menyanyi dari panggung ke panggung jauh sebelum pandemik. Namun setelah pandemik usaha-usaha itu turun drastis.

"Jika sebelumnya panggilan menyanyi bisa dapat empat kali dalam sebulan, sekarang gak ada sama sekali. Baru bulan Maret besok saya mau coba ambil job. Kalau untuk pangkas rambut masih ada orang yang mau potong rambut, gak terlalu sepi lah," jelas dia.

Untuk mengisi waktu selama pandemik, dirinya tetap mengurusi Komunitas Artis Fantastic tempat berkumpulnya seniman dan calon artis Palembang. Aris mengaku sudah sering mengorbitkan anak asuhnya untuk menjadi penyanyi dangdut dalam skala nasional.

"Lumayan dari melatih nyanyi saya dapat uang misalnya dari pendaftaran administrasi  dan pembayaran setiap latihan Rp25 ribu. Lumayan untuk bertahan hidup," jelas dia.

6. Hanya sekali dapat bantuan dari Dewan Kesenian Palembang

Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan PemerintahKetua Komunitas Artis Fantastic, Aris Rinaldi (50) bercerita mengenai bertahan hidup saat pandemik sebagai transpuan (IDN Times/Rangga Erfizal)

Aris menjelaskan, dirinya pernah mencoba mendaftar melalui bantuan pra kerja untuk bantuan pemerintah. Hanya saja karena pendaftaran dilakukan secara online dirinya lalu kesulitan untuk melakukan pendaftaran. Aris pun memilih pasrah.

"Bantuan dari pemerintah belum ada selama ini. Saya hanya mendapat bantuan sari Dewan Kesenian Palembang (DKP)," jelas dia.

7. Dinsos Palembang klaim tidak ada perbedaan pemberian Bansos COVID-19

Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan PemerintahKepala Dinas Sosial Kota Palembang Heri Aprian (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Kepala Dinas Sosial Palembang, Heri Aprian mengatakan, bantuan sosial COVID-19 untuk transpuan sejatinya tidak ada perbedaan dengan masyarakat umum. Dirinya menilai jika selama ini para transpuan tidak menerima bantuan, itu terjadi lantaran proses dari RT dan Lurah setempat yang tidak mendata.

"Kalau dari Dinsos Palembang sendiri gak ada membedakan. Sesuai surat edaran Wali Kota, penerima Bansos adalah orang yang memiliki penghasilan tidak sampai Rp2 juta. Kalau dia mau berobat tidak bisa berobat. Lalu terkena dampak PHK," jelas dia.

Menurutnya, pendataan yang dilakukan dinamis setiap waktu selalu ada pembaharuan oleh Dinsos. Namun irinya tidak menampik jika data yang diberikan kepada Dinsos Palembang berasal dari RT dan Lurah.

"Untuk tahun ini kita masih menunggu bagaimana anggaran dari BPKAD. Tapi prinsipnya sama penerima bansos adalah orang-orang yang masuk kriteria SE wali kota," ujar dia.

8. Kasus kekerasan terhadap transpuan dan transgender tidak pernah tercatat

Cerita Komunitas Transpuan Sumsel Bertahan Tanpa Bantuan PemerintahIlustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Sejauh ini kasus kekerasan terhadap transpuan atau transgender di Sumsel tidak pernah tercatat. Beberapa kasus kekerasan menguap begitu saja, lantaran belum ada lembaga yang secara khusus menjadi payung menghadapi risiko dan kerentanan kekerasan.

Hal itu diakui oleh Himpunan Waria MKGR, bahwa setiap kerentanan yang akan mereka hadapi tak memiliki tempat untuk melapor. Berbeda halnya dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang bisa ditangani Woman Crisis Center (WCC).

Namun Direktur Eksekutif Woman Crisis Center (WCC) Palembang, Yeni Roslaini Izi mengatakan, pihaknya mau saja membantu transpuan atau transgender yang melapor di luar kasus yang mereka tangani.

"Kalau ada transgender dan transpuan yang melapor akan WCC dampingi. Saya gak tahu di Palembang ada atau tidak lembaga yang fokus mendampingi mereka," tutup dia.

Baca Juga: Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota Pekanbaru

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya