Buaya Muara dan Manusia Mendominasi Konflik Satwa di Sumsel

Konflik paling sering terjadi di sembilan kabupaten dan kota

Palembang, IDN Times - Hak asasi hewan di Tanah Air hingga saat ini masih minim perhatian. Kesalahan manusia maupun habitat hewan yang menyempit, turut memengaruhi konflik antara hewan dengan manusia sehingga berdampak negatif dan memakan korban jiwa.

Sumatra Selatan (Sumsel) misalnya, konflik yang terjadi antara hewan dengan manusia masih terjadi. Berdasarkan catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, konflik paling sering terjadi di Sumsel adalah pada buaya dengan manusia. Sumsel merupakan habitat dengan buaya yang paling dominan.

"Ada dua jenis buaya di Sumsel, buaya muara dan buaya sinyulong. Konflik paling sering ya buaya muara, selain konflik gajah dengan manusia. Tapi yang viral waktu itu pernah soal harimau di Lahat sebelum saya di sini (menjabat Kepala BKSDA)," ujar Kepala BKSDA Sumsel, Ujang Wisnu Barata kepada IDN Times, Jumat (15/10/2021).

1. Ada 23 kasus konflik buaya dan manusia sejak 2017

Buaya Muara dan Manusia Mendominasi Konflik Satwa di SumselIlustrasi pelepasan satwa dilindungi/IDN Times/Dokumentasi BKSDA Jambi

Lokasi konflik buaya di Sumsel sering terjadi di sembilan kabupaten dan kota. Yakni Kabupaten Musi Rawas, Empat Lawang, Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Muaraenim, Musi Banyuasin, termasuk Kota Palembang. Namun daerah paling sering terjadi di Kabupaten Banyuasin.

Data BKSDA Sumsel mencatat, konflik buaya sejak 2017 hingga 2021 terdapat 23 kasus dengan tujuh wilayah telah teridentifikasi. Data tersebut merupakan laporan dari masyarakat, pemerintah daerah, maupun lembaga organisasi melalui Call Center.

Selain konflik satwa liar, pengaduan yang diterima BKSDA Sumsel lewat Call Center lebih banyak pelaporan soal Temuan Satwa Liar (TSL). Pihaknya pun gencar menyelenggarakan edukasi dan pelatihan soal menyerahkan satwa jika ditemukan tanpa naungan.

"Kita harapkan masyarakat tersadar atas gencarnya publikasi kami soal pelepasan liar hewan. Sedangkan untuk konflik memang banyak buaya muara yang memakan manusia, hal ini terjadi karena habitat mereka mengecil," jelasnya.

Baca Juga: Ternyata Buaya Muara Sumsel Lebih Agresif Saat Fase Bertelur

2. Warga di daerah sedikit menerima melaporkan konflik dengan satwa liar

Buaya Muara dan Manusia Mendominasi Konflik Satwa di SumselIDN Times/Sukma Shakti

Sejauh ini masih ada sejumlah daerah yang menjadi habitat satwa liar, namun tidak ada edukasi terkait bagaimana mengantisipasi jika ada konflik yang terjadi atau kondisi yang membuat hewan masuk lingkungan manusia. 

"Memang soal pelaporan masyarakat masih ada yang minim di daerah. Ini jadi kesulitan kita, sebab konflik-konflik itu banyak terjadi di luar kawasan konservasi. Selain di luar wilayah kita, banyak kejadian tidak terpantau," ungkapnya.

Dalam pengawasan konflik hewan dengan manusia, BKSDA Sumsel berwenang meski pemantauan di sejumlah daerah menjadi tanggung jawab stakeholder. Seperti Dinas Kehutanan, dari pihak tambang, kepala desa, ataupun ada satgas khusus.

"Kita berharap mereka juga mengedukasi soal hewan dan satwa serta antisipasinya. Memang terkait satwa larinya ke BKSDA, tapi kan perlu membentuk tim satgas internal dan kita sudah berupaya reaksi lebih cepat," tambah Ujang.

Baca Juga: Warga Muba Tewas Diterkam Buaya Saat Cari Daun Nipah

3. BKSDA Sumsel mencatat 96 laporan menyeluruh soal satwa

Buaya Muara dan Manusia Mendominasi Konflik Satwa di Sumselilustrasi buaya muara (IDN Times/Andri NH)

Secara umum, BKSDA Sumsel mencatat laporan soal satwa liar hingga 96 pengaduan sepanjang 2021. Laporan diterima lewat call center di nomor 081271412141 melalui WhatsApp, telepon, dan SMS, dengan rincian pengaduan 40 dari WhatsApp, 53 laporan telepon, dan ada 3 SMS pelaporan.

Sedangkan dari 96 laporan, ada beberapa jenis pembeda. Yakni ada 9 laporan konflik hewan, konsultasi TSL sebanyak 14 laporan, 7 pengaduan serahan satwa, ada 20 kasus perjumpaan satwa, konsultasi pemanfaatan TSL berjumlah 20 laporan, dan 10 pengaduan perdagangan satwa ilegal.

"Banyak pihak yang melapor termasuk masyarakat. Selebihnya ada 26 pengaduan lain di luar jenis laporan yang terdata," timpal dia.

Baca Juga: Pria di OKI Tewas Diterkam Buaya Usai Angkut Pakan Udang

4. BKSDA Sumsel berharap sinergi stakholder terkait penanganan satwa liar

Buaya Muara dan Manusia Mendominasi Konflik Satwa di SumselIlustrasi petugas dari BKSDA, polisi hutan, dokter hewan bersama warga setempat evakuasi satwa liar (Dok.BKSDA Kaltim/Istimewa)

Data pengaduan yang diterima BKSDA Sumsel setiap bulan mencapai tujuh laporan pada Januari, 16 di Februari, 7 laporan pada Maret, 12 laporan bulan April, sebanyak 12 pengaduan pada Mei, 8 kasus pada Juni, 12 laporan di Juli, 8 pengaduan di Agustus, dan September hingga 14 laporan.

Berdasarkan jumlah laporan tersebut, BKSDA Sumsel berharap kesadaran pengamanan bagi hewan dan satwa liar. Termasuk sinergi antar masyarakat dan sejumlah stakeholder terkait, terutama dorongan pemerintah daerah agar membuat habitat satwa diawasi optimal.

"Sebaiknya Undang-Undang yang merusak lingkungan benar-benar ditegakkan, karena itu sudah jelas ketentuannya. Terapkan konsekuensi pidana dan denda," jelasnya.

5. Konflik satwa dan hewan liar dengan manusia tidak ada penyebab tunggal

Buaya Muara dan Manusia Mendominasi Konflik Satwa di SumselTim Gabungan BKSDA Resor Agam dan KPHL Agam Raya saat memusnahkan barang bukti kayu hasil pembalakan liar di daerah Silayang Nagari Lubuk Basung. IDN Times/Andri NH

Ujang berharap pemerintah turut mendukung dan memberikan reaksi cepat terhadap konflik satwa dengan manusia, seperti gencar sosialisasi dan antisipasi pasca kejadian. Namun menurutnya, hal paling penting adalah membangun kesadaran jika lingkungan bukan saja milik manusia, melainkan hewan juga berhak terhadap habitatnya.

"Karena soal konflik hewan dan manusia tidak ada penyebab tunggal. Lihat dari pola tanam, luas lahan, apakah habitat menyempit. Kasus seperti ini membuat perubahan sikap hewan," ungkapnya.

Salah satu upaya agar tidak terjadi kembali konflik hewan dan manusia yang mengancam jiwa, langkah dasar adalah tetap mencukupi kebutuhan makan dan minum untuk hewan. Serta memberikan hewan untuk bergerak aman.

"Hewan juga ada area pergerakan. Konflik ini bisa dari pengaruh pembangunan, terbatasnya lahan, hingga akhirnya hewan liar muncul. Jadi soal ini gak bisa kita tangani sendiri," timpa dia.

Penanganan antisipasi paling sederhana kata Ujang, yakni membangun papan larangan atau peringatan di lahan konservasi maupun kawasan bahaya untuk manusia. Pembangunan semacam itu membutuhkan kerja sama banyak pihak.

"Paling tidak pasang penerangan agar bisa terlihat kalau ada satwa. Kebanyakan hewan seperti buaya beraktivitas di malam hari. Masyarakat juga harus tahu kapan hewan ini aktif, termasuk saat musim bertelur," tandasnya.

Baca Juga: Warga Banyuasin Tangkap Buaya Kabur dari Penangkaran Sepanjang 3 Meter

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya