Menagih Komitmen Pemerintah Turunkan Emisi Transportasi

Transformasi energi terbarukan harus dimulai sekarang!

Palembang, IDN Times ­- Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca hingga 26 persen tahun 2020. Emisi dari transportasi ditarget menurun hanya 0,11 persen. Padahal menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif dari Institute for Essential Service Reform (IESR), transportasi menyumbang hingga 45 persen dari emisi di sektor energi yang mencapai 65 persen dari total gas rumah kaca setelah lahan, hutan, dan pertanian.

"Emisi transportasi Indonesia sekarang naik tinggi bahkan ketimbang pembangkit listrik. Memang naik karena penjualan kendaraan mobil pun hampir 1 juta unit per tahun, dan motor bisa 7-8 juta. Populasi kendaraan roda dua makin meningkat," katanya saat Ngobrol Seru IDN Times ‘Jejak Emisi Transportasi saat Pandemi COVID-19’ yang disiarkan di Channel YouTube dan Instagram IDN Times, Selasa (8/12/2020).

Peningkatan populasi kendaraan bermotor juga menambah konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Menurut Fabby, konsumsi BBM dalam 10 tahun terakhir sudah mencapai 1,5 hingga 1,6 juta barel per hari. Penambahan jumlah kendaraan dan peningkatan konsumsi BBM otomatis menaikkan level emisi dari transportasi.

"Ini yang membuatnya cukup berat. Apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam 5-10 tahun terakhir adalah mengendalikan pertumbuhan BBM, agar tidak terlalu cepat dan impor terlalu banyak. Kita hanya mampu memproduksi 60 persen dari total kebutuhan, sisanya 40 persen harus impor," ujarnya.

https://www.youtube.com/embed/qAD7HuFEOUw

1. Indonesia di persimpangan jalan transformasi energi

Menagih Komitmen Pemerintah Turunkan Emisi TransportasiIDN Times/Uni Lubis

Fabby secara tegas menyebut Indonesia berada di sebuah persimpangan jalan. Pemerintah katanya belum menentukan untuk mengganti sumber bahan bakar dari fosil ke energi terbarukan. Jika pemerintah serius mengatasi perubahan iklim, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi penggunaan bahan bakar fosil untuk kendaraan dan pembangkit listrik.

"Kalau saya pindah ke kendaraan listrik, pertanyaannya apakah bisa menurunkan emisi? Apakah sumber listrik untuk mengisi daya kendaraan sudah tidak menggunakan pembangkit dari bahan bakar fosil? Jika masih maka harus diganti juga," katanya.

Fabby mencontohkan usaha sikap pemerintahan di Jerman yang memutuskan untuk melakukan transisi energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ke energi terbarukan. Sikap semacam ini katanya bisa dilakukan oleh pemimpinan yang mau membuat keputusan bijak. 

"Jerman punya PLTU cukup banyak dan besar. Tapi kemudian mereka membuat keputusan pensiun untuk seluruh PLTU sebelum 2036. Kalau mau transformasi atau transisi energi, maka political leadership juga penting, ambil langkah dan keputusan yang bijak. Kalau mau meninggalkan PLTU dengan kapasitas besar meski masa operasionalnya puluhan tahun lagi, mulai dari sekarang harus menambah sumber energi terbarukan," ucapnya.

Contoh usaha pemerintah di negara benua Eropa lainnya kata Fabby, memberi berbagai stimulus untuk mendorong warganya menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Sebuah negara di Eropa itu memberi subsidi reparasi sepeda.

"Ada subsidi 5-100 euro untuk reparasi. Kebijakan itu mendorong penggunaan sepeda ketimbang motor. Selain penggunaan bahan bakar yang menurun dan polusi berkurang karena menggunakan sepeda, warganya juga lebih sehat. Stimulus seperti ini jadi contoh yang menarik," sebutnya.

Baca Juga: Kurangi Emisi Gas, RI Targetkan 23 Persen Energi Terbarukan di 2030

2. Pengusaha rugi puluhan miliar akibat minim infrastruktur pendukung

Menagih Komitmen Pemerintah Turunkan Emisi TransportasiDok. Istimewa / Garuda Indonesia

Infrastruktur untuk kendaraan yang menggunakan energi terbarukan juga harus dibangun. Charging station untuk kendaraan listrik misalnya, harus tersedia di berbagai tempat untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat yang ingin beralih ke kendaraan ramah lingkungan. 

Fabby mencontohkan infrastruktur pendukung Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), ketika pemerintah ingin mewujudkan ide kendaraan ramah lingkungan pada tahun 2010 lalu. Nyatanya, jumlah transportasi umum yang bertransformasi dari BBM ke BBG makin menurun.

"Bahkan SPBG yang sudah dibangun pun tutup. Sekarang pemerintah gencar penggunaan BBM Nabati, Biofuel. Meski dulunya itu dari era Pak SBY. Sekarang sudah gencar ke B30 dan targetnya B100," sebutnya.

Eka Sari Lorena, Direktur PT Eka Sari Lorena menambahkan, SPBG sebagai infrastruktur pendukung transportasi BBG tak berjalan efektif. Niat baik dari kebijakan itu tidak diwujudkan secara komprehensif di lapangan.

"Kurang dari 10 tahun lalu ada BBG untuk kendaraan umum, Tapi infrastruktur yang menjadi 1 tidak siap. Angkutan umum kalau isi di SPBG bisa butuh 2 jam, bayangkan kalau ada 50 bus terlambat bisa kena denda. Kalau kita datang ke SPBG lewat tengah malah tutup, padahal bus harus beroperasi subuh. Makanya aturan tidak dibuat detail hingga kurang efektif," ungkapnya.

Pemerintah kata Eka meminta pengusaha membeli bus berbahan bakar BBG yang notabene jauh lebih mahal. Namun program BBG malah tak berlanjut hingga membuat pengusaha merugi. Padahal dirinya sudah membeli 14 bus gandeng seharga Rp3 miliar per unit.

"Akhirnya mobil itu tidak bisa dijual lagi karena sudah jadi busway, dan terparkir jadi besi tua. Sudah seperti lagu Bengawan Solo, ke laut. Investasi yang sudah dikeluarkan pengusaha untuk menurunkan emisi dengan kendaraan BBG malah mubazir. Tidak mudah memang melakukan tranformasi, harus secara menyeluruh," katanya.

Baca Juga: Dosen UGM Kembangkan Penghitung Emisi Gas Rumah Kaca untuk Pertanian

3. Pemerintah diminta keluarkan stimulus dan kebijakan yang berpihak

Menagih Komitmen Pemerintah Turunkan Emisi Transportasidok. IDN Times

Eka pun mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru berpihak pada penggunaan tranportasi pribadi ketimbang massal. Padahal satu bus yang digunakan sebagai transportasi umum, bisa menggantikan 20 untuk kendaraan bermotor. Kebijakan yang bisa dikeluarkan oleh pemerintah adalah menurunkan pajak kendaraan yang menggunakan energi terbarukan.  

"Anehnya di Indonesia, kendaraan dengan teknologi yang lebih baik malah kena pajak barang mewah. Hingga akhirnya biaya transportasi malah lebih mahal lagi. Sebab untuk beroperasi sekarang saja butuh tantangan yang besar," sebutnya.

Menurut Eka, pengusaha transportasi tentu mendukung hal positif. Namun harus memandang bisnis agar bisa berkelanjutan. Eka mendorong pemerintah juga melibatkan Agen Tunggal Pemegang Merek (HTPN) untuk sama-sama memikirkan penurunan emisi gas buang dari transportasi.

"Kita ingin sehat pastinya. Harus dipikirkan juga investasi dan pengembaliannya ke depan. Kalau jual sudah lebih mahal dan tidak mendapat dukungan infrastruktur, maka berat sekali. Perusahaan HTPN saja masih pikir. Kalau kendaraannya rusak di daerah terpencil apakah mekanik bisa support, suku cadangan juga. Jangankan teknologi, merek saja masih harus dipikirkan," katanya lagi.

Eka mendorong pemerintah menjadikan pandemik sebagai momentum untuk serius dan lebih berkomitmen menurunkan emisi gas. "Saya berharap ada stimulus bagi kendaraan umum yang menggunakan teknologi memperbaiki emisi. Transportasi  dengan energi ramah lingkungan haruus jadi momen terbaik di pandemik COVID-19," tandasnya.

Baca Juga: IMS 2019, Eka Lorena: Perempuan Bisa Sukses Karena Lebih Tahan Stres

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya