BKSDA Sumbar Bikin Aturan Atasi Konflik Buaya Berkepanjangan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Padang, IDN Times - Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Barat (BKSDA Sumbar), Ardi Andono mengungkapkan, pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasi dan menekan konflik buaya versus manusia yang cukup tinggi, yakni mencapai 71 kejadian sepanjang 2009 hingga 2022.
“Rata-rata ada enam kasus kejadian setiap tahun. Kabupaten Agam, menempati urutan teratas dengan jumlah kasus terbanyak yakni 29 kasus. Lalu, Kabupaten Pasaman Barat di urutan kedua dengan 17 kasus, dan Kabupaten Padang Pariaman urutan ketiga dengan 12 kasus," kata Ardi, Rabu (13/7/2022).
1. Dibagi menjadi tiga kategori
Ardi menjelaskan, pihaknya membagi kasus konflik antara buaya versus manusia ini menjadi tiga kategori. Yakni buaya menampakkan diri di luar habitat aslinya, buaya menyerang ternak warga, dan buaya menyerang manusia.
Ada empat poin penting yang dicantumkan dalam rekomendasi itu, yakni membatasi atau melarang kegiatan masyarakat pada masa buaya bertelur dan menetas. Masa buaya bertelur dan menetas pada Januari hingga Juni.
Lalu jika ada masyarakat yang menemukan sarang buaya, mereka diminta melapor ke BKSDA Sumbar dan membuat papan peringatan kepada masyarakat agar tak beraktivitas di sekitar sarang buaya.
Selain itu, masyarakat juga diminta tidak menggembalakan ternak di sekitar habitat buaya atau memperluas keramba hingga ke habitat aslinya. Kemudian tidak membuat heboh kemunculan buaya yang memicu kerumunan massa.
Baca Juga: Cerita Heroik Warga Banyuasin Tangkap Buaya Lepas Hingga Terluka
2. Kemunculan buaya di habitat asli tidak dikategorikan konflik
Ardi menegaskan, kemunculan buaya di habitat aslinya bukan dikategorikan sebagai konflik, karena hal itu sudah menjadi wilayah home range atau wilayah jelajah buaya. Sebaliknya jika kemunculan buaya di sungai yang bukan merupakan habitatnya bisa disebut dengan potensi konflik.
“Meski masih di habitatnya dan sudah menyebabkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan pada konservasi satwa liar atau lingkungannya, maka hal itu disebut konflik,” ujar Ardi.
Baca Juga: Ternyata Buaya Muara Sumsel Lebih Agresif Saat Fase Bertelur
3. Ekologi dan perilaku buaya muara
Jika melihat ekologi dari buaya muara, musim kawin biasanya terjadi saat musim hujan atau saat debit air di sungai tinggi. Namun kenaikan suhu udara (climate change) juga bisa merangsang buaya untuk reproduksi.
Musim kawin kata Ardi, terjadi di kedalaman sungai sehingga akan sangat jarang tampak oleh manusia. Meskipun namanya sebagai buaya muara, namun buaya jenis ini cenderung memilih area di pinggir sungai air tawar untuk meletakkan telurnya. Terutama di daerah rawa.
“Musim kawin biasa terjadi satu hingga dua bulan. Kemungkinan besar terjadi pada November sampai Desember. Setelah kawin, buaya betina akan memilih tempat bersarang dan membuat atau mengamankan teritorial sekitar sarang bersama-sama antara jantan dengan betina,” ujar Ardi.
Baca Juga: Pekerja di Banyuasin yang Diseret Buaya Ditemukan Mengambang