Proses pembuatan buah beluluk (Kolang-Kaling) dari pohon enau di desa Jambi Tulo, Kabupaten Muaro Jambi. Kamis (23/3/2023). (IDN Times/Dedy Nurdin)
Pohon Enau pernah menjadi identitas warga Desa Jambi Tulo. Sekitar tahun 1990-an, hampir semua warga desa memiliki pohon Enau di kebunnya. Namun semakin hari, keberadaan pohon endemik ini terus berkurang. Hanya tersisa sedikit. Rudi merupakan satu dari empat orang petani yang mempertahankan keberadaan pohon Enau.
"Dulu hampir setiap orang punya pohon di kebun. Karena buahnya kalau lebaran dibuat Suwo, makanan khas. Airnya dibikin gula aren, bisa untuk minuman," kata Rudi.
Namun banyak pohon Enau yang sudah ditebang, pembukaan lahan baru karena perubahan lingkungan. Di kebunnya, Rudi memiliki 9 batang. Pohon Enau memang lebih lambat menghasilkan uang, sebab biasanya usia 8 tahun pohon baru bisa nenghasilkan buah atau tangkai jantan untuk diambil niranya.
Namun kata Rudi, pohon ini termasuk menguntungkan karena tidak rewel dan tidak perlu perawatan khusus. Poin lainnya tak perlu dipupuk, "Kalau sudah berbuah, panen nira bisa tiap hari, tanpa perawatan tanpa pupuk," katanya.
Pohon di kebun Rudi tidak pernah ditanam tapi tumbuh sendiri, bahkan ada beberapa batang pohon yang sudah dipanen secara turun temurun. Dengan usia 30 tahun sampai saat ini masih aktif produksi air nira dan buah beluluk ketika bulan Ramadan.
"Saya dari buyut sudah bikin gula aren. Semua mengandalkan pohon nira untuk kebutuhan di rumah," kata Rudi.
Ada yang unik dari pohon enau. Semakin tua usia pohon akan semakin mudah dipanen. Tandan akan tumbuh dari atas turun ke bawah. Berbeda dengan jenis palma lain yang semakin tahun buahnya semakin tinggi.
Seiring berkurangnya populasi pohon Enau di Desa Jambi Tulo dan pembukaan lahan monokultur, perubahan cuaca juga berdampak pada pohon multiguna itu. Terkadang pohon berbuah tiga tahun dengan kondisi buah trak. Selain itu, air nira yang dihasilkan juga mulai berkurang.
"Paling banyak 2 liter sehari. Itu untuk dibuat gula aren. Kalau buahnya kadang setahun sekali, kadang tiga tahun baru buah," katanya.
Meski begitu, Rudi mengaku bersyukur karena pohon Enau di kebunnya sudah membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan warga yang ada di sekitar.
"Yang penting pohonnya hidup terus karena itu warisan dari orangtua dulu. Apalagi di sini bisa dihitung jari yang masih punya pohon Enau, jadi harus dijaga," katanya.