Ilustrasi hujan (IDN Times/Sukma Shakti)
Kasi Data dan Informasi BMKG SMB II Sumsel, Veronica Shinta Andriyani mengatakan, intensitas hujan memang cukup tinggi meski Sumsel berada di musim kemarau. Perubahan cuaca mengakibatkan pasokan uap air meningkat di udara.
"Pasokan uap air bertambah banyak. Hal itu mengakibatkan pertumbuhan awan hujan yang cukup signifikan," jelas dia.
Menurutnya, hujan ini dipengaruhi adanya gelombang Madden Julian Oscillation (MJO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) secara negatif. IOD tersebut menunjukkan adanya suplai uap air dari Samudra Hindia sebelah timur Afrika ke perairan Sumatra.
Sedangkan faktor MJO ikut berperan aktif di Indonesia bagian barat, sehingga ada sirkulasi angin tertutup di perairan Barat Sumatra dan konvergensi di wilayah timur Sumsel.
"Namun jika faktor penggerak cuaca tersebut atau yang lainnya tidak aktif lagi, maka kita akan kembali ke periode musim kemarau," ujar dia.
Menurut Shinta, fenomena hujan di tengah kemarau bisa disebut sebagai gangguan iklim. Turunnya hujan lebih disebabkan faktor penggerak cuaca lain yang aktif bersamaan sehingga mengganggu pola rutin.
"Hal ini bisa saja terjadi. Misalnya MJO siklusnya sekitar 30-40 hari terjadi. Jadi bisa saja MJO terjadi di periode musim kemarau yang pada saat aktif membuat potensi hujan di musim kemarau," jelas dia.