Aksi #IndonesiaGelap yang digelar oleh kelompok mahasiswa pada Senin (17/2/2025). (IDN Times/Lia Hutasoit)
Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menyoroti perlakuan aparat terhadap anak-anak yang diamankan. Adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum terhadap anak-anak yang saat ini masih ditahan polisi.
Dia mengatakan, masih ada aparat yang belum memahami aturan peradilan pidana anak sehingga ada anak yang ditahan tetapi penempatannya disatukan dengan orang dewasa. KPAI juga menemukan adanya perlakuan kekerasan di lapangan. KPAI pun mendesak aparat penegak hukum maupun pemerintah untuk hadir mendampingi anak-anak yang sedang menjalani proses hukum.
Diyah pun meminta seluruh pihak tidak memberikan tendensi atau stigma negatif untuk mendiang Andika Lutfi Falah, seorang pelajar yang meninggal dunia usai mengikuti aksi unjuk rasa berujung anarki di Jakarta. Diyah menegaskan, Andika tetap memiliki hak menyampaikan pendapat, meski masih menyandang status anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, menyampaikan pendapatnya terkait fenomena anak-anak yang ikut dalam massa aksi di depan Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Bali 30 Agustus 2025. Dari pandangannya sebagai KPAD, apa yang mereka lakukan merupakan hak dalam berpartisipasi dan berpendapat. Namun, aksi tersebut bukan ruang yang tepat untuk anak-anak menyuarakan pendapatnya.
Akademisi FISIP Universitas Lampung, Vincensius Soma Ferrer menilai, fenomena anak-anak ikut aksi demonstrasi tidak bisa hanya dipandang dari sisi psikologi anak atau remaja semata. Hal ini menurutnya mencerminkan adanya kegagalan institusi publik dalam menyediakan kanal partisipasi khusus bagi usia mereka.
“Dalam perspektif negara demokrasi, ini menunjukan adanya kesenjangan kanal partisipasi formal. Tidak ada mekanisme yang terstruktur untuk mereka bisa mengeluarkan aspirasi. Akhirnya, mereka mengisi kanal-kanal jalanan dengan bergabung bersama massa aksi lain,” jelas Soma.
Soma mengatakan, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab apakah kehadiran anak-anak di jalanan benar-benar bisa disebut partisipasi politik, atau mereka hanya menjadi sasaran mobilisasi massa?
Bagi Soma, hal paling penting adalah memastikan anak-anak ini tidak dijadikan “amunisi politik murahan” maupun terjebak dalam ancaman kericuhan. Sebab itu, negara memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan forum partisipatif yang aman bagi mereka.
Soma juga menekankan pentingnya kebijakan yang melindungi anak-anak yang ikut aksi karena kesadaran sendiri. Ia menyebut, aparat bisa menghadirkan SOP yang ramah anak, termasuk langkah pemulihan pasca-aksi. Secara garis besar, Soma menilai dalam negara demokrasi, menyediakan sarana partisipasi bagi anak-anak jauh lebih penting dibandingkan langkah mitigasi berupa larangan.
Sementara kata Kepala Dinas Pendidikan Palembang Adrianus Amri, pembekalan agama jadi penting di sekolah untuk mencegah perilaku menyimpang. Remaja baik di sekolah maupun saat di luar jam sekolah, baiknya dipantau tenaga pendidik.
"Termasuk guru harus memerhatikan murid atau bekali mereka dengan meningkatkan pembekalan ilmu agama," kata dia.
Amri menyampaikan dengan tegas, dinas pendidikan menekankan para guru di sekolah untuk meningkatkan pembekalan agama dan norma kehidupan. Selain agar anak tak bersikap buruk, upaya ini untuk mencegah kenakalan remaja hingga bullying.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Aries Agung Paewai, mengakui adanya pelajar SMA/SMK yang terjaring aparat kepolisian saat demonstrasi besar-besaran berujung ricuh di beberapa daerah di Jawa Timur. Ia menegaskan, para pelajar yang terlibat akan mendapat pembinaan serius, baik dari sekolah maupun orang tua, demi mencegah keterlibatan lebih jauh dalam aksi serupa.
Untuk mencegah pelajar terlibat dalam aktivitas yang tidak diinginkan, Dinas Pendidikan mewajibkan guru dan wali kelas memastikan siswa benar-benar berada di rumah selama pembelajaran daring.
Selain itu, Dinas Pendidikan telah mengeluarkan edaran tegas agar pelajar tidak terlibat dalam demonstrasi, terlebih jika berpotensi berujung anarkis. “Di surat edaran masing-masing cabang dinas sudah jelas, mereka tidak boleh terlibat secara langsung dalam demonstrasi, apalagi aksi anarkis. Wali kelas, kepala sekolah, dan cabang dinas wajib melakukan pemantauan secara langsung,” kata Aries.
Sementara di Lampung, guna memitigasi keikutsertaan para siswa SMA sederajat dalam aksi 1 September 2025 lalu, Kepala Dinas Pendidikan Lampung telah menekankan dan mengarahkan para dewan guru dapat melaksanakan pengawasan ekstra di sekolah masing-masing.
Sebab, fokus utama pemerintah daerah dalam kasus ini untuk memastikan para siswa tetap belajar dan terhindar dari aktivitas-aktivitas negatif sehingga bisa merusak masa depan.
"Kami paham betul anak-anak SMA sederajat ini belum memiliki atau bisa mengontrol kondisi emosional dengan baik, sebagaimana dengan kakak-kakaknya di perguruan tinggi, sehingga kami menghindari mereka dari upaya-upaya provokasi," ucap dia.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), Ibnu Hurri, menilai fenomena ini wajar terjadi dari sudut pandang psikologis, namun menyimpan risiko besar bagi perkembangan anak. Menurut Ibnu, anak usia sekolah berada pada fase pembentukan identitas diri. Dalam situasi penuh sorakan, spanduk, dan simbol perjuangan, mereka bisa jadi memandang aksi jalanan merupakan ajang pembuktian keberanian.
Kerentanan ini semakin besar ketika mereka tidak mampu memilah informasi, sehingga mudah terpengaruh oleh narasi emosional yang beredar di media sosial maupun lingkungan sekitar. Ibnu menjelaskan, media sosial memainkan peran signifikan dalam mendorong keterlibatan pelajar di Sukabumi dalam demo. Video singkat, poster ajakan, hingga unggahan teman sebaya yang viral bisa memicu rasa ingin tahu sekaligus fear of missing out alias FOMO.
"Anak-anak ini mungkin saja belum sepenuhnya memahami latar belakang isu yg sedang ramai bergulir, tetapi visualisasi keramaian, semangat kebersamaan, dan bahasa ajakan yg sederhana membuat mereka merasa dekat dan merasa menjadi bagian dari perjuangan tersebut," katanya.
Hal ini, menurut Ibnu, semakin memastikan bahwa media sosial bukan sekadar sarana hiburan, tetapi juga mesin mobilisasi massa yang efektif. Fenomena pelajar ikut demo tidak hanya terjadi di Sukabumi saja, tapi juga di beberapa daerah lainnya. Hal ini kerap dianggap sebagai bentuk kesadaran politik dini, meski Ibnu menilai hal itu terlalu berlebihan.
Meski demikian, dalam aksi demonstrasi, anak-anak belajar tentang ruang ekspresi politik hingga bahasa politik.
"Mereka belajar bahwa ada ketidakadilan, ada aspirasi yang ingin didengar, ada kelompok yang sedang melawan sesuatu. Itu benih politik, meski belum tentu kesadaran politik itu muncul pada tataran berpikir anak usia sekolah," ungkapnya.
Tim Penulis:
Lia Hutasoit (Jakarta), Maya Aulia Aprilianti (Tangerang), Feny Maulia Agustin, Rangga Erfizal, Yuliani(Sumsel), Siti Fatimah, Azzis Zulkhairil (Jabar) Silviana, Tama Wiguna (Lampung), Ayu Afria Ulita Ermalia, Ni Komang Yuko Utami (Bali), Darsil Yahya Mustari (Sulsel), Ardiansyah Fajar Syahlillah, Rizal Adhi Pratama (Jatim), Tunggul Damarjati (Yogyakarta), Fariz Fardianto, Dhana Kencana, Larasati Rey (Jateng), Muhammad Nasir (NTB), Tri Purnawati (Kaltim)