Dekorasi pernikahan selebriti tionghoa 2023 (instagram.com/tinatoon101 | instagram.com/chengiovanis)
Era Orde Baru (Orba) menjadi masa yang berat bagi warga keturunan Tionghoa di Indonesia termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tekanan oleh rezim di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto memberangus kebebasan warga Tionghoa, dari seni budaya hingga pendidikan.
Salah satu saksi sejarah saat itu yang juga warga keturunan Tionghoa, Jimmy Sutanto, menceritakan kondisi Jogja masa Orba saat itu sama dengan daerah lainnya, di mana aktivitas orang keturunan Tionghoa dibatasi.
"Tahun 1966 itu saya sudah 21 tahun. Sudah dewasa, Jogja seperti tempat lain, sekolah Tionghoa tutup, organisasi tutup semua," ujar Ketua I Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) itu, Jumat (2/2/2024).
Saat usia 21 tahun itu, Jimmy masih menjadi pengajar di sekolah Tionghoa. Ia pun menjadi saksi ketika sekolah itu dihentikan aktivitasnya. Disebutnya saat itu sekolah tersebut diambil alih oleh ABRI.
Tidak hanya sekolah yang dihentikan saat itu. Ia mengingat bahwa organisasi masyarakat keturunan Tionghoa juga dibubarkan saat ini. "Ada kantor bantu pengusaha, ada sekretariat bantu pajak dan sebagainya. Kemudian ada kliniknya, setelah Gestok (Gerakan Satu Oktober) tutup semua," ujar Jimmy.
Jimmy juga mengungkapkan saat itu kegiatan seni budaya, kemudian kegiatan perayaan seperti Imlek juga dilarang. "Klenteng Poncowinatan mau diperbaiki gak boleh. Nama-nama Tionghoa suruh ganti," cerita Jimmy.
Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Lampung, Christian Chandra, mengatakan keluarganya sejak beberapa generasi telah lahir dan besar di Provinsi Lampung. Sehingga ia sempat merasakan diskriminasi orang Tionghoa pada zaman Orde Baru saat itu pergerakan sangat dibatasi.
“Zaman Orde Baru itu memang sangat jelas ya (diskriminasi terhadap warga Tionghoa), karena ada peraturannya. Salah satu isinya etnis Tionghoa tidak boleh tinggal di kota, harus di daerah (kabupaten). Gara-gara itu sampai banyak yang akhirnya pulang lagi ke China,” ujarnya.
Pergerakan orang Tionghoa zaman Orde Baru juga berdampak pada aspek sosial dan pendidikan anak-anak. Semua sekolah khusus Tionghoa ditutup, adanya pelarangan penggunaan bahasa dan aksara Mandarin, sampai larangan menggunakan nama China.
“Jadi anak-anak pada zaman itu hampir semua tidak bisa bahasa Mandarin, termasuk saya yang sampai sekarang tak bisa Mandarin. Orangtua gak bisa bicara atau ngajarin ke anaknya. Menulis aksara juga tidak boleh, bahkan penggunaan nama China juga gak boleh, harus pakai nama Indonesia,” jelasnya.
Secara pribadi, Chandra sangat menyayangkan hal tersebut. Padahal dewasa ini, memiliki kemampuan berbahasa asing termasuk Mandarin sangat diperlukan. Namun budaya turun-temurun tersebut harus terputus karena kebijakan pemerintah.
“Seharusnya kita bisnis dengan Tiongkok bisa enak, tapi sekarang sudah susah karena kita gak bisa bahasanya. Sayang sekali,” imbuhnya.
Jimmy melanjutkan jatuhnya rezim Order Baru tak membuat kondisi etnis Tionghoa langsung membaik. "Kita bentuk arisan Bakti Putra itu saja langsung ditanya polisi. Pada 1998 meski Orba sudah jatuh, yang mundur Soeharto, yang lain-lain masih," kata Jimmy.
Menurut Jimmy ada proses untuk penerimaan warga keturunan Tionghoa pasca Orba. Berdasarkan pengakuan Chandra, etnis Tionghoa baru bisa bernapas lega setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Presiden ke-4 RI. Salah satu kebijakannya adalah membebaskan orang Tionghoa merayakan Imlek dan memeluk agama Konghucu.
“Zaman Gus Dur kan kita boleh Imlekan lagi dan oleh bu Mega diperkuat dengan adanya tanggal merah. Kalau sebelum itu jangankan ada libur imlek, untuk merayakannya saja dilarang,” imbuhnya.
Setelah masa reformasi, peninggalan dan budaya etnis Tionghoa berkembang pesat. Tak cuma dimiliki bagi etnis Tionghoa itu sendiri, tapi oleh masyarakat banyak. Rumah-rumah peninggalan etnis Tionghoa dikembangkan, dan masjid bergaya arsitektur China juga banyak berdiri. Adapula kawasan pecinan yang berdiri sejak ratusan tahun lalu makin ramai dikunjungi sebagai destinasi wisata.
Misalnya, Rumah Abu Han di Jalan Karet Nomor 72, Surabaya. Pemiliknya seorang keturunan Tionghoa. Sang empunya rumah, Han Bwee Koo bukan sosok sembarangan. Ia adalah seorang kapiten alias petinggi warga Tionghoa di masa kolonial. Rumah itu didirikan sebagai tempat sembahyang keluarga Han.
Rumah Abu Han dirawat oleh ahli warisnya bernama Robert Han. Ia adalah keturunan ke sembilan dari Han Bwee Koo. Robert Han mengatakan, keturunan Han Bwe Koo memang cukup banyak, namun hanya dia yang memiliki passion mengurus rumah tua. “Selain passion, saya melihat moyang saya membangun itu dengan susah payah,” kata dia kepada IDN Times, Minggu (29/10/2023).
Robert bercerita, pada era Orde Baru rumah tersebut sempat akan diratakan dengan tanah. Jalan Karet, Gula dan Kopi dulu rencananya akan dibuat sebuah kawasan superblok. Segala upaya kemudian dilakukan Robert agar Rumah Abu Han tetap kokoh berdiri. Ia bahkan sampai menggandeng sejumlah universitas.
Usahanya terbayar.Pada era Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, rumah tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya. Lalu, pada era Wali Kota Eri Cahyadi, rumah tersebut dipercantik. Kini, Rumah Abu Han pun kerap menjadi tempat kunjungan wisatawan mancanegara.
Sedangkan Kampung Ketandan Jogja dikenal sebagai destinasi wisata dengan arsitektur Tionghoa yang memukau. Arsitektur ini mencerminkan keindahan dan kekayaan budaya China yang menarik di tengah-tengah budaya Yogyakarta yang kuat dan masa penjajahan Belanda. Nama ‘Ketandan’ mempunyai asal muasal yang menarik karena berhubungan dengan peran pemungut pajak masyarakat Tionghoa untuk Keraton Yogyakarta.
Ketandan berasal dari kata ‘Tondo’ yang menjadi ungkapan untuk pejabat penarik pajak atau pejabat tondo yang diberi wewenang langsung pada etnis Tionghoa oleh Sultan Hamengkubuwono. Hal ini menandakan keberadaan komunitas Tionghoa sebagai salah satu penggerak ekonomi di Yogyakarta. Komunitas Tionghoa di Yogyakarta mulai diakui sejak masa pemerintahan Sultan HB VII, yakni sekitar abad 19 Masehi dengan berdirinya Kampung Ketandan yang merupakan pusat pemukiman Pecinan di masa penjajahan Belanda.
Jika sedang bertandang di Medan, Sumatra Utara, ada Museum Kotta Cinna di Jalan Kota Cinna yang menyimpan 3.000 koleksi benda sejarah. Benda-benda yang tampak di dalam museum ini yakni prasasti-prasasti tua, fosil hewan kuno, koin-koin yang digunakan oleh pedagang China sebagai alat transaksi perdagangan kala itu hingga kayu-kayu bekas kapal kuno dan lainnya.
"Benda-benda yang menjadi koleksi museum ini berasal dari peninggalan situs Kotta Cinna, peninggalan Benteng Putri Hijau dan juga peninggalan Hamparan Perak Bulu Cinna," ujar pengelola museum, Tika, kepada IDN Times.
Peninggalan budaya Tionghoa lainnya bisa dijumpai di Masjid Ceng Ho. Meski bukan bagian dari sejarah lampau, namun bangunan tersebut bergaya arsitektur China. Masjid Ceng Ho yang sudah banyak tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Surabaya dan Palembang, justru dikelola oleh warga etnis Tionghoa yang menjadi mualaf.
Mereka menjadikan Masjid Ceng Ho sebagai tempat beribadah dan pusat dakwah. Tak sedikit warga dari luar kota sengaja datang untuk beribadah, atau menjadikannya sebagai destinasi wisata religi. Akulturasi budaya Arab dengan kaligrafi dan China lewat corak dan warna bangunan, menjadi magnet warga berbondong-bondong datang.
Artikel kolaborasi ditulis oleh Herlambang Jati Kusumo dan Lathiva (Jogja), Arifin Al Alamudi dan Indah Permata Sari (Sumut), Feny Maulia Agustin (Sumsel), Rohmah Mustaurida (Lampung), Tri Purnawati (Kaltim), Muhammad Iqbal (Banten), Vanny El Rahman dan Khusnul Hasana (Jatim).