Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Warga tionghoa di Pontianak sedang beribadah. (IDN Times/Teri).

Palembang, IDN Times – Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting bagi warga Tionghoa. Perayaan tahun baru Imlek dimulai pada hari pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-15. Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun”.

Pada tahun ini, Imlek jatuh pada 9 Februari 2024. Tahun baru China dikaitkan dengan tanda binatang menurut siklus zodiak China atau lebih dikenal shio. Pada 2024 menjadi simbol shio naga kayu.

Perayaan Imlek juga disambut dengan berbagai persiapan, mulai dari pembersihan vihara dan klenteng sebagai tempat ibadah, penyajian makanan khas, hingga menyiapkan angpao yang akan dibagikan saat kumpul keluarga untuk berbagi rejeki. Perayaan Imlek pun tak cuma dirayakan oleh warga etnis Tionghoa. Berbagai suku dan kalangan turut merasakan euforia Imlek, seperti berbagi kue hingga silaturahmi untuk memberi ucapan kepada mereka yang merayakan.

Bagaimana bisa budaya sejauh 8.408 kilometer bisa masuk dan bercampur dengan budaya lokal di Indonesia. Seperti apa sejarah Imlek atau kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara? Bagaimana bentuk akulturasi budaya dan wujud peninggalannya? Atau, bagaimana etnis Tionghoa bisa bertahan di era yang menentang kehadiran mereka hingga kini? Simak liputan kolaborasi dari delapan Hyperlocal IDN Times di berbagai daerah.

1. Sempat dilarang karena dituding berafiliasi partai komunis

ilustrasi orang tua mengajarkan aksara Tionghoa kepada anak-anak (istockphoto.com/AsiaVision)

Puluhan tahun yang lalu, perayaan Imlek ternyata tidak dapat dilakukan dengan bebas seperti saat ini. Imlek sempat dilarang pada masa Orde Baru. Perayaan tahun baru Imlek di sempat dilarang tampil di muka umum selama tahun 1965-1998

Pada masa orde baru, pemerintah membatasi berbagai tradisi dan aktivitas kebudayaan China, termasuk di dalamnya soal Imlek. Instruksi Presiden (Inpres) nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang ditandatangani Pejabat Presiden Soeharto saat itu.

Alasannya, pemerintah meragukan nasionalisme keturunan China pasca Gerakan 30 September 1965. Meski sudah tinggal di Indonesia beberapa abad lalu, mereka masih dicurigai masih berkaitan dengan Republik Rakyat China (RRC), khususnya Partai Komunis China (PKC). Pelarangan budaya keagamaan Tionghoa di era Order Baru mengakibatkan generasi muda mereka tidak lagi bisa merayakan Imlek, dan tidak mengetahui kapan Tahun Baru China atau Imlek.

Namun perayaan Imlek diizinkan lagi pada masa reformasi, tepatnya di masa pemerintahan Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid. Gusdur melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 6 tahun 2000 pada 18 Januari 2000, menyatakan Inpres sebelumnya tidak berlaku lagi.

Etnis Tionghoa maupun masyarakat yang merayakan Imlek tak perlu membutuhkan izin untuk mengekspresikan berbagai aspek kepercayaan, tradisi, maupun kebudayaan mereka. Imlek pun menjadi hari  libur nasional Indonesia. Keputusan ini diperkuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 19 tahun 2002 pada 9 April 2002.

Imlek pun resmi dijadikan sebagai hari libur nasional. Ikut merayakan Tahun Baru Imlek dinilai memberikan kebahagiaan yang tidak berbeda saat Idul Fitri bersama umat Muslim dan Natal bersama umat Nasrani. Sejak saat itu, Hari Raya Imlek dirayakan sebagai hari libur nasional di seluruh daerah Indonesia.

Jauh sebelum kemerdekaan, perayaan Imlek pernah menjadi hari libur resmi melalui keputusan Osamu Seirei nomor 26 pada 1 Agustus 1943 di masa pendudukan Jepang. Keputusan itu merupakan penetapan hari libur resmi Imlek pertama di Indonesia. Kebijakan itu masih terus berlangsung hingga masa awal kemerdekaan. Bahkan, Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat, bahwa bendera kebangsaan China boleh dikibarkan setiap Imlek.

Awal mula berlangsungnya Imlek atau Tahun Baru China diyakini terjadi pada zaman Dinasti Shang pada 1600-1046 Sebelum Masehi (SM), atau sekitar 3.500 tahun yang lalu. Warga di sana mengadakan upacara pengorbanan untuk menghormati dewa dan leluhur setiap awal serta akhir tahun.

Peristiwa tersebut juga menjadi ritual untuk mempersembahkan korban kepada leluhur atau dewa, sekaligus menyembah alam sambil memberkati hasil panen di pergantian tahun. Sejarah Imlek yang dimulai pada era Dinasti Shang diwarnai dengan cerita legenda terkait serangan monster bernama Nian, monster kejam bergigi taring, pemakan hewan ternak, hasil bumi, sampai manusia. Warga setempat percaya cara untuk mencegah serangan Nian adalah menghidangkan beberapa makanan di setiap pintu rumah.

Sama halnya cerita leluhur bangsa Tiongkok yang menyebut monster Nian takut dengan suara keras seperti petasan dan hal-hal berwarna merah. Oleh sebab itu, orang-orang mulai memasang lentera merah dan gulungan kertas merah di setiap jendela serta pintu rumah.

Perayaan Imlek pun makin populer di era Dinasti Han pada 202 SM - 220 M. Tradisi yang paling dikenal kala itu adalah membakar bambu untuk membuat suara retakan yang keras. Pada tahun yang sama, Dinasti Han menetapkan tanggal Tahun Baru China atau Festival Musim Semi berdasarkan kalender Lunar Tiongkok.

Rangkaian festival Imlek pun mulai bervariasi, seperti memasuki era Dinasti Wei dan Jin (220-420). Ritualnya tidak hanya upacara pengorbanan pada leluhur, namun kegiatan membersihkan rumah, makan bersama, sampai acara hiburan.  Kegiatan Tahun Baru Imlek justru semakin meriah pada era Dinasti Tang hingga Qing karena perekonomian yang membaik.

2. Awal kedatangan bangsa China ke Nusantara

Editorial Team

Tonton lebih seru di