Kabupaten Bima, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kaya akan warisan budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Salah satunya adalah Tari Lenggo, sebuah tarian tradisional yang memikat. Tari lenggo pertama kali muncul pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir sekitar tahun 1680. Awalnya, tari lenggo hanya dipentaskan sebagai bagian dari pengiringan Hanta U'a Pua di Kesultanan Bima.
Tarian ini melibatkan empat pasang penari, terdiri dari empat penari pria dan empat penari wanita. Mereka berpadu dalam gerakan yang khas, disertai dengan iringan musik tradisional yang menggema sepanjang penampilan.
Delapan penari memakai baju bodo berwarna kuning dan menampilkan gerakan berpasangan. Penampilan mereka melambangkan nggusuwaru, atau delapan arah mata angin menurut tradisi lokal. Warna kuning pada baju mereka melambangkan kejayaan Islam dan kerajaan. Sebelumnya di beberapa bagian tubuh para penari diberi warna kuning dengan menggunakan kunyit. Ketika mereka tampil, mereka dikelilingi oleh empat Ina (ibu) Lenggo dari sisi utara, selatan, timur, dan barat.
Menurut budayawan Bima, Fahrurizki, tari lenggo tetap dijaga dan dipersembahkan oleh pemerintah daerah. Kini, penampilannya tidak hanya terbatas pada pengiringan Hanta U'a Pua, tetapi juga sering ditampilkan di kantor pemerintah saat menyambut tamu dari luar daerah atau dalam berbagai festival budaya.
Sama halnya dengan Tari Tanggai yang berasal dari Sumatra Selatan. Tari Tanggai awalnya sebagai bentuk persembahan namun kini berubah menjadi tarian untuk menyambut tamu negara atau tamu undangan cara formal. Pada abad ke-5 Masehi, Tari Tanggai merupakan tari persembahan terhadap Dewa Siwa dengan membawa sesajian yang berisi buah dan beraneka ragam bunga.
Pada zaman dahulu, Tari Tanggai bertujuan sebagai tari persembahan pengantar sesajian sehingga dikategorikan tarian yang sakral. Nama Tari Tanggai berasal dari alat atau properti seperti kuku yang terbuat dari lempengan tembaga, dipakai penari yaitu tanggai di delapan jari kecuali jempol. Seorang penari Tanggai harus memiliki kelentikan terutama pada jari-jari tangan saat memakai Tanggai.
Tari Tanggai Palembang juga memiliki kesamaan dengan tarian yang ada di Negara China. Sebab pada zaman dahulu terdapat sebuah kerajaan besar yang dibangun oleh keturunan raja Syailendra beragama Buddha, dan secara tidak langsung diajarkan sebagai tari persembahan terhadap dewa.
Pada Abad ke-17, Kesultanan Palembang Darussalam mengharamkan gadis atau perempuan menari. Seluruh pertunjukan diperankan oleh laki-laki, termasuk Tari Tanggai. Namun memasuki tahun 1920, Tari Tanggai digunakan untuk mencari jodoh oleh para orangtua di Palembang atau disebut Rasan Tuo. Berlanjut pada 1965, lagu dan Tari Gending Sriwijaya dilarang untuk ditampilkan termasuk Tari Tanggai dengan alasan politis.
Tari Tanggai memiliki 13 gerakan khas yang melambangkan berbagai hal, mulai dari rasa syukur kepada Sang Pencipta, sikap rendah hati, dan gerakan yang melambangkan perlindungan serta keseimbangan antara rasa dan pikiran.
Jika Tari Tanggai menggunakan gong dan beduk sebagai pengiring, Tarian Rampak Bedug dari Banten pun demikian. Berdasar berbagai literatur, tahun 1950-an merupakan awal mula diadakannya pentas Rampak Beduk. Pada waktu itu di Kecamatan Pandeglang pada khususnya sudah diadakan pertandingan antar kampung. Sampai tahun 1960, Rampak Beduk masih merupakan hiburan rakyat.
Awalnya Rampak Beduk berdiri di Kecamatan Pandeglang. Kemudian seni ini menyebar ke daerah-daerah sekitarnya hingga ke Kabupaten Serang. Kemudian antara tahun 1960-1970, tokoh kesenian Rampak Beduk, Haji Ilen, menciptakan suatu tarian kreatif dalam seni Rampak Beduk. Rampak Bedug yang berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen.
Tari Rampak Beduk dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kata Rampak mengandung arti Serempak. Jadi Rampak Beduk adalah seni beduk dengan menggunakan banyak beduk dan ditabuh secara serempak, sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar. Rampak Beduk hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri khas seni budaya setempat, dan biasanya dilakukan kala menyambut bulan suci Ramadan dan Idulfitri. Meski pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang seni Rampak Beduk sebagai sebuah karya seni yang patut dihargai.
Lalu, siapa yang tak mengenal Tari Saman? Tari ini telah tumbuh dan berkembang dari Kabupten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur (Kecamantan Serbejadi), Kabupaten Aceh Tamiang (Tamiang Hulu). Tari saman adalah permainan tradisi yang sering dimainkan oleh remaja laki-laki untuk mengisi waktu luang; saat di sawah, mersah, maupun ketika pulang mengaji. Mereka menyempatkan diri untuk berlatih saman. Tari Saman adalah tradisi turun temurun dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Gayo.
Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, Saman berasal dari kesenian yang disebut pok one yang artinya menepuk tangan sambil bernyanyi. Menurut sejarahnya, Saman dikembangkan oleh seorang tokoh islam bernama Syeh Saman. Beliau menciptakan syairnya dengan menggunakan bahasa arab dan bahasa aceh.
Saman juga telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia takbenda. Tari Saman telah menjadi bentuk salah satu bentuk seni pertunjukan yang sering digunakan sebagai sarana komunikasi, menjalin silaturahmi, menyampaikan pesan moral, pantun untuk generasi muda, merepresentasikan alam dan lingkungan di sekitarnya.