Ilustrasi tanaman sawit. (IDN Times/ Deryardli Tiarhendi)
Tak banyak orang yang tahu di mana titik koordinat Sungai Bahar jika tak dibantu peta digital Google. Hal ini diungkapkan Yusuf ketika ia berkuliah di Yogyakarta. Teman-temannya sesama mahasiswa bahkan mengira Sungai Bahar di Provinsi Jambi berada dalam wilayah administrasi Sumatra Selatan (Sumsel).
Sungai Bahar merupakan daerah transmigrasi yang dibuka pada 1984 silam. Penamaan 'Bahar' berawal dari perdagangan Lada di Jambi. Istilah Bahar digunakan untuk menyebut ukuran satuan barang seperti Lada, atau disebut Sahang oleh masyarakat yang tinggal di sepanjang perairan Sungai Musi hingga Sungai Batang Hari Sembilan. Harga satu bahar Lada disetarakan dengan 12-30 real. Dalam perdagangan di Pulau Sumatra, Politik Lada sudah memasuki paruh abad XVIl.
Wilayah Sungai Bahar yang mempunyai topografi rendah, cocok untuk dijadikan
lahan perkebunan. Hal itu yang mendorong daerah ini dibuka menjadi
daerah tujuan transmigrasi pada 1984. Awalnya Sungai Bahar masih menginduk ke Kecamatan Mestong, namun memisahkan diri menjadi kecamatan baru pada 2001, lalu terpecah lagi menjadi Bahar Utara pada 2010 dan menyusul Bahar Selatan tiga bulan kemudian.
Menurut Sekretaris Camat Sungai Bahar, TM Sakti Gultom, melalui Kasi Pemberdayaan Masyarakat, Eko Budiono, menyebutkan sekitar 99 persen masyarakat di tempatnya memang bekerja sebagai petani sawit.
Eko bersama stafnya Widodo dan Reni Dwi Andika mengisahkan program transmigrasi di era Presiden Soeharto. Kala itu masyarakat dari Pulau Jawa diboyong ke Sungai Bahar dan ditawari berbagai fasilitas. Satu orang mendapat dua hektar kebun yang sudah ditanami sawit berusia dua tahun.
Lalu, mereka juga mendapat tiga perempat lahan pangan dan seperempat lahan pekarangan sekaligus tempat tinggal. Lahan pekarangan itu digunakan untuk menanam kebutuhan sayur dan palawija, agar bisa memenuhi kebutuhan mereka sebelum sawit bisa menghasilkan.
"Bahkan ada jatah hidup juga dari pemerintah. Kami mendapat sembako selama setahun yang dibagikan setiap bulan, mulai dari beras, minyak goreng, dan bahan pokok lain. Termasuk ikan asin. Kalau saya tidak salah, tiap bulan kami mendapat 1 kilogram ikan asin. Termasuk bibit sawit juga diberikan oleh pemerintah," ungkap Widodo.
Pola petani sawit plasma sebagai mitra perusahaan perkebunan milik swasta, juga mendapatkan bantuan berupa subsidi bunga pinjaman selama 10 tahun. Bagi petani yang berhasil, mereka bisa melunasi pinjaman perbankan hanya kurang dari 6 tahun. Mereka yang memiliki pendapatan lebih akhirnya membeli lahan kebun lain di wilayah sekitarnya.
Ketergantungan masyarakat Sungai Bahar pada hasil perkebunan sawit hingga sekarang tentunya berdampak pada perekonomian. Jika harga sawit sedang tinggi, warganya tentu cuan besar. Sebaliknya jika harga sawit sedang jatuh seperti sekarang, perekonomian warga menjadi lesu. Realisasi terhadap target pajak pun ikut terganggu.
Berdasarkan Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP) Sungai Bahar pada 2020, realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sungai Bahar mencapai Rp366.043.442 dari target sebesar Rp385.308.887 atau hanya sekitar 95 persen.