Infografis gagal ginjal (IDN Times/Aditya Pratama)
Sudah sepuluh tahun Dewi Kartika Sari (40) harus bolak-balik ke fasilitas kesehatan untuk melakukan rutinitas cuci darah.
Dirinya divonis mengalami gagal ginjal saat berusia 30 tahun pada 2015 silam. Kala itu, sebagai anak muda yang menerapkan pola hidup sehat, Dewi kaget harus mendapat cobaan yang begitu berat. Sulit baginya untuk percaya fungsi ginjalnya telah mengalami kerusakan jaringan.
Dewi mengungkapkan, saat pertama kali divonis gagal ginjal dirinya masih tinggal di Banda Aceh. Dirinya harus berganti-ganti mencari rumah sakit untuk meyakinkan dirinya bahwa vonis dokter tersebut salah. Karena rasa tidak percaya vonis dokter tersebut, dirinya terbang ke Penang Malaysia. Dirinya berharap vonis dokter di Indonesia bukanlah kenyataan yang harus diterimanya seumur hidup.
Dirinya pun langsung dioperasi dan melakukan cuci darah. Pikiran Dewi saat itu hanya satu, dirinya harus sehat karena anak-anaknya masih kecil. Mereka masih membutuhkan kasih sayang ibu sehingga dirinya berpikir positif untuk kembali sehat.
Mengetahui dirinya sakit, Dewi mulai berdamai dengan diri sendiri. Dirinya hanya fokus untuk sehat bagi anak-anaknya. Dirinya pun baru mengetahui penyebab gagal ginjal yang dihadapinya karena hipertensi yang terjadi semasa kehamilan.
Setelah sakit, Dewi akhirnya menyadari kalau dia mengalami hipertensi karena faktor genetik dari keluarganya. Hal itu, baru disadarinya setelah divonis gagal ginjal sehingga telat melakukan pencegahan.
Setali tiga uang, kisah Eko (33, bukan nama sebenarnya) warga Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang kini terpaksa cuci darah tiga kali sepekan akibat gagal ginjal kronis. Eko divonis telah mencapai stadium 4 dalam penyakit tersebut, yang disebabkan oleh konsumsi jamu diet.
"Jadi awalnya saya konsumsi jamu diet ini pada 2013 saat kuliah. Saya kan memang sejak SMP gendut banget, kemudian SMA mulai agak turun berat badannya, kemudian saat mulai kuliah itu nyoba segala cara bisa cepat turun berat badan saya," terangnya.
Eko awalnya tidak curiga dengan jamu tersebut. Menurutnya jamu tersebut dibuat dari ramuan herbal, ia merasa tidak akan ada efek samping dari konsumsi jangka panjang. Namun tiba-tiba Eko drop, setelah enam bulan mengonsumsi jamu tersebut.
Ketika ia didiagnosa mengalami gagal ginjal kronis stadium 4, Eko merasa dunianya runtuh seketika. Ia tahu penyakit tersebut bisa merenggut nyawanya kapan saja. Hari-hari Eko juga sudah tidak sama lagi, ia kini harus rutin melakukan cuci darah di RS Saiful Anwar Kota Malang sebanyak 3 kali seminggu. Ia juga harus mengganti cairan tubuh secara mandiri menggunakan selang sebanyak 4 kali sehari. Tapi untungnya semua biaya ini masih bisa ditanggung melalui BPJS.
"Lucunya, saya dulu pingin kurus, sekarang benar-benar kurus karena penyakit ini. Tapi ya mau gimana lagi, mungkin ini cobaan untuk saya, jadi ya hanya bisa diterima saja," ujarnya sambil tersenyum getir.
Sementara, ia sempat menghubungi sales jamu untuk meminta pertanggungjawaban, tapi sales jamu yang ia ketahui ada di Tulungagung tersebut hilang melarikan diri. Produk jamu diet tersebut kini juga hilang bak ditelan bumi.
Cerita yang tak kalah miris, dialami MS (12) warga Surabaya, yang sudah divonis gagal ginjal kronis sejak berusia 10 tahun. Di balik senyumnya yang baik-baik saja, MS menyimpan kisah pahit di usianya yang masih belia. MS yang didampingi sang ibu MW (31), perlahan membagikan kisah pilunya.
MW mengaku, awalnya anaknya itu hanyauma sering panas-dingin, sering muntah, dan tidak nafsu makan. Beberapa kali MW membawa MS untuk berobat, hasilnya cukup baik dan tidak ada yang salah dengan ginjalnya. Namun, seiring berjalannya waktu, MS kembali menunjukkan adanya sebuah gejala, yakni merasakan sesak yang tiba-tiba dan muntah setelah mengonsumsi mi instan yang ia seduh bersamaan dengan mi kering.
MW pun memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Setelah melakukan prosedur pemeriksaan, baru terkuak jika MS memiliki masalah terhadap ginjalnya. Sakit yang dialami oleh MS terjadi bukan tanpa sebab. MW mengaku bahwa hal ini terjadi karena kebiasaan MS yang suka mengonsumsi makanan dan minuman instan sejak ia duduk di bangku sekolah dasar.
Bahkan, hampir setiap hari, ketika MS pulang sekolah, ia selalu membawa makanan dan minuman instan yang ia beli di sekolah. Sebagai orangtua, MW sempat melarang MS untuk mengonsumsi makanan dan minuman instan tersebut. Namun ia mengaku kecolongan.