Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Masih Muda Kok Cuci Darah? Alarm Epidemi Gagal Ginjal Gen Z-Milenials

Ilustrasi masih muda cuci darah (IDN Times/Aditya Pratama)

IDN Times - Fenomena cuci darah akibat gagal ginjal kronis di usia muda sudah mulai bermunculan sejak dua tahun lalu. Berdasarkan data BPJS yang dirilis 2025, sebanyak 134.057 pasien gagal ginjal kronis menjalani prosedur hemodialisa (cuci darah) pada 2024, yang memicu biaya penanganan yang mencapai Rp 11 triliun. Sementara laporan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2023, jumlah pasien yang menjalani cuci darah secara kumulatif mencapai 60.526, dengan total prevalensi 127.900 pasien.

Namun jumlah penderita tersebut bukan cuma soal angka, ada kisah perjuangan demi bertahan hidup di setiap penderita gagal ginjal kronis, yang seumur hidupnya berjibaku dengan proses cuci darah yang melelahkan jiwa dan raga.

Survei dari Ikatan Dokter Indonesia (IDAI) menyebutkan, per Juli 2024, 1 dari 5 anak usia 12-18 tahun mengalami hematuria atau proteinuria, yang merupakan gejala awal gagal ginjal. Jika sudah parah, gejala awal ini bisa berubah menjadi gagal ginjal kronis (chronic renal failure).

PAHO (Pan American Health Organization) memperkirakan bahwa pada tahun 2040, penyakit ginjal kronis akan menjadi penyebab utama kematian kelima secara global. Setiap negara, khususnya pemerintah Indonesia, harus semakin giat melakukan pencegahan terhadap penyakit ini. Karena potensinya yang akan menjadi epidemi, akan mengganggu target Indonesia Emas 2045.

1. Kisah Mereka, yang Muda yang Cuci Darah

Infografis gagal ginjal (IDN Times/Aditya Pratama)

Sudah sepuluh tahun Dewi Kartika Sari (40) harus bolak-balik ke fasilitas kesehatan untuk melakukan rutinitas cuci darah.

Dirinya divonis mengalami gagal ginjal saat berusia 30 tahun pada 2015 silam. Kala itu, sebagai anak muda yang menerapkan pola hidup sehat, Dewi kaget harus mendapat cobaan yang begitu berat. Sulit baginya untuk percaya fungsi ginjalnya telah mengalami kerusakan jaringan.

Dewi mengungkapkan, saat pertama kali divonis gagal ginjal dirinya masih tinggal di Banda Aceh. Dirinya harus berganti-ganti mencari rumah sakit untuk meyakinkan dirinya bahwa vonis dokter tersebut salah. Karena rasa tidak percaya vonis dokter tersebut, dirinya terbang ke Penang Malaysia. Dirinya berharap vonis dokter di Indonesia bukanlah kenyataan yang harus diterimanya seumur hidup.

Dirinya pun langsung dioperasi dan melakukan cuci darah. Pikiran Dewi saat itu hanya satu, dirinya harus sehat karena anak-anaknya masih kecil. Mereka masih membutuhkan kasih sayang ibu sehingga dirinya berpikir positif untuk kembali sehat.

Mengetahui dirinya sakit, Dewi mulai berdamai dengan diri sendiri. Dirinya hanya fokus untuk sehat bagi anak-anaknya. Dirinya pun baru mengetahui penyebab gagal ginjal yang dihadapinya karena hipertensi yang terjadi semasa kehamilan.

Setelah sakit, Dewi akhirnya menyadari kalau dia mengalami hipertensi karena faktor genetik dari keluarganya. Hal itu, baru disadarinya setelah divonis gagal ginjal sehingga telat melakukan pencegahan.

Setali tiga uang, kisah Eko (33, bukan nama sebenarnya) warga Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang kini terpaksa cuci darah tiga kali sepekan akibat gagal ginjal kronis. Eko divonis telah mencapai stadium 4 dalam penyakit tersebut, yang disebabkan oleh konsumsi jamu diet.

"Jadi awalnya saya konsumsi jamu diet ini pada 2013 saat kuliah. Saya kan memang sejak SMP gendut banget, kemudian SMA mulai agak turun berat badannya, kemudian saat mulai kuliah itu nyoba segala cara bisa cepat turun berat badan saya," terangnya.

Eko awalnya tidak curiga dengan jamu tersebut. Menurutnya jamu tersebut dibuat dari ramuan herbal, ia merasa tidak akan ada efek samping dari konsumsi jangka panjang. Namun tiba-tiba Eko drop, setelah enam bulan mengonsumsi jamu tersebut.

Ketika ia didiagnosa mengalami gagal ginjal kronis stadium 4, Eko merasa dunianya runtuh seketika. Ia tahu penyakit tersebut bisa merenggut nyawanya kapan saja. Hari-hari Eko juga sudah tidak sama lagi, ia kini harus rutin melakukan cuci darah di RS Saiful Anwar Kota Malang sebanyak 3 kali seminggu. Ia juga harus mengganti cairan tubuh secara mandiri menggunakan selang sebanyak 4 kali sehari. Tapi untungnya semua biaya ini masih bisa ditanggung melalui BPJS.

"Lucunya, saya dulu pingin kurus, sekarang benar-benar kurus karena penyakit ini. Tapi ya mau gimana lagi, mungkin ini cobaan untuk saya, jadi ya hanya bisa diterima saja," ujarnya sambil tersenyum getir.

Sementara, ia sempat menghubungi sales jamu  untuk meminta pertanggungjawaban, tapi sales jamu yang ia ketahui ada di Tulungagung tersebut hilang melarikan diri. Produk jamu diet tersebut kini juga hilang bak ditelan bumi.

Cerita yang tak kalah miris, dialami MS (12) warga Surabaya, yang sudah divonis gagal ginjal kronis sejak berusia 10 tahun. Di balik senyumnya yang baik-baik saja, MS menyimpan kisah pahit di usianya yang masih belia. MS yang didampingi sang ibu MW (31), perlahan membagikan kisah pilunya.

MW mengaku, awalnya anaknya itu hanyauma sering panas-dingin, sering muntah, dan tidak nafsu makan. Beberapa kali MW membawa MS untuk berobat, hasilnya cukup baik dan tidak ada yang salah dengan ginjalnya. Namun, seiring berjalannya waktu, MS kembali menunjukkan adanya sebuah gejala, yakni merasakan sesak yang tiba-tiba dan muntah setelah mengonsumsi mi instan yang ia seduh bersamaan dengan mi kering.

MW pun memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Setelah melakukan prosedur pemeriksaan, baru terkuak jika MS memiliki masalah terhadap ginjalnya. Sakit yang dialami oleh MS terjadi bukan tanpa sebab. MW mengaku bahwa hal ini terjadi karena kebiasaan MS yang suka mengonsumsi makanan dan minuman instan sejak ia duduk di bangku sekolah dasar.

Bahkan, hampir setiap hari, ketika MS pulang sekolah, ia selalu membawa makanan dan minuman instan yang ia beli di sekolah. Sebagai orangtua, MW sempat melarang MS untuk mengonsumsi makanan dan minuman instan tersebut. Namun ia mengaku kecolongan.

2. Penyebab Gagal Ginjal Kronis di Usia Muda

Dewi Kartika Sari, penyintas gagal ginjal yang bertahan melakukan cuci darah (Dok: Dewi Kartika Sari)

Pergeseran gaya hidup menjadi faktor utama meningkatnya kasus gagal ginjal di Nusa Tenggara Barat (NTB). Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) NTB, dr. Lalu Hamzi Fikri, mengungkapkan bahwa gagal ginjal kronis kini masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak yang ditangani di RSUD NTB.

Sejak satu dekade terakhir, penyakit tidak menular (PTM) terus meningkat, bahkan telah melebihi 60 persen dari total kasus yang ditangani fasilitas kesehatan. Salah satu PTM yang mengalami lonjakan adalah gagal ginjal kronik. Berdasarkan data RSUD NTB, penyakit ini masuk dalam enam besar penyakit terbanyak, dengan total 1.094 pasien rawat inap.

Fikri juga menyoroti bahaya penggunaan obat yang tidak rasional, termasuk konsumsi antibiotik tanpa resep dokter dan penggunaan obat penggemuk yang beredar di pasaran. Penggunaan yang tidak terkendali dapat merusak fungsi ginjal dalam jangka panjang.

"Obat gemuk yang dijual bebas bisa merusak ginjal jika dikonsumsi secara berlebihan. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan obat secara rasional dan sesuai anjuran dokter," tambahnya.

Ketua IDI Wilayah Lampung, dr Josi Harnos MARS mengatakan, penyakit gagal ginjal kronis masa sekarang bisa dibilang tak lagi mengenal faktor usia maupun genetik. Itu dikarenakan, penyakit kerusakan jaringan ginjal dipicu penyakit jangka panjang semisal diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit asam urat.

Sejumlah penyakit penyebab tersebut dapat dipastikan, karena pengidapnya menjalani pola dan gaya hidup modern yang tidak sehat. Semisal banyak mengonsumsi makanan cepat saji hingga tinggi kadar gula. dr Josi melanjutkan, gaya hidup modern tidak sehat tersebut dapat dilihat semisal maraknya tren minuman kopi hingga aneka makanan melalui serangkaian pengolahan panjang atau ultraproses, yang banyak dikonsumsi para kelompok anak muda zaman sekarang.

Sementara Dokter spesialis anak sekaligus anggota IDAI, dr Fiona Paramitha SpA menjelaskan,  lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak mulai muncul Oktober 2022. Salah satu penyebab besarnya kala itu adalah obat sirup yang tercemar etilen glikol dan dietilen glikol. Namun, seiring waktu, kasus ini menurun, berganti dengan kasus gagal ginjal kronis yang lebih dipicu oleh gaya hidup tidak sehat.

Pada kasus bayi neonatus, atau bayi yang baru lahir, lanjutnya, gagal ginjal disebabkan karena kelainan kongenital ginjal dan saluran kemih. Kelainan bawaan ini bisa diturunkan karena sifatnya yang genetik. Namun, hal ini juga bisa terjadi karena ibu hamil mengalami infeksi TORCH, atau toxoplasma, rubella, CMV/virus herpes dan HSV/herpes simpleks.

Dokter sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu juga menyoroti bahaya gadget dan kurangnya aktivitas fisik pada anak. Anak yang kecanduan gadget cenderung akan berkurang aktivitas fisiknya, sehingga risiko obesitas melonjak. Obesitas, lanjutnya, memicu disfungsi endotel dan resistensi insulin, yang pada akhirnya membebani kerja ginjal.

3. Generasi muda disebut malas cek kesehatan

Ilustrasi cek kesehatan

Direktur PT Prodia Digital Indonesia (PRDI), Rudy Cahyadi mengungkapkan bahwa rata-rata penderita diabetes usia produktif di Indonesia malas mengecek kesehatannya. Kondisi tersebut membuat perusahaan pelayanan kesehatan dan kebugaran berinovasi melalui aplikasi.

Berdasarkan data yang dimilikinya, Rudy Cahyadi mengungkap, prevalensi diabetes di Indonesia terbilang tinggi 11,7 persen di tahun 2023, dibandingkan dengan prevalensi diabetes di dunia sebesar 10,6 persen dan di kawasan Asia Tenggara sebesar 8,8 persen pada tahun 2021. Diabetes dan obesitas, menjadi salah satu penyebab utama gagal ginjal kronis.

Selain itu, imbuhnya, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, bahwa terjadi kesenjangan perilaku pencarian pengobatan antara responden di usia produktif (18-59 tahun) dan di atas usia 60 tahun. Artinya, generasi produktif cenderung tidak memperhatikan kesehatan karena tingkat kesibukan yang tinggi.

“Penderita diabetes di usia produktif seringkali mengabaikan pengecekan kesehatan. Padahal deteksi dini penyakit, khususnya diabetes, bisa mencegah orang menderita penyakit tersebut," kata dia.

4. Bagaimana solusi mencegah epidemi gagal ginjal kronis di Indonesia?

Infografis gagal ginjal (IDN Times/Aditya Pratama)

Ketua IDI Wilayah Lampung, dr Josi Harnos MARS mengatakan, dirinya mendorong generasi muda generasi Z menerapkan pola hidup 'back to nature', atau menjalani pola hidup yang memanfaatkan bahan alam untuk menjaga kondisi kesehatan tubuh.

Pola hidup tersebut ditegaskan tidak hanya mampu menangkal penyakit gagal ginjal, melainkan turut menjaga kondisi tubuh dari serangan penyakit lainnya. Sebab, tubuh sejatinya merupakan wadah alam, sehingga sepatutnya bahan dimasukkan ke dalam tubuh berasal dari alami.

"Supaya ada kunci dan anak kunci. Analoginya, kalau tubuh adalah kunci, maka anak kuncinya bahan konsumsi yang berasal dari dalam atau berjalan di atas tanah. Misal, makanlah daging-daging yang dimasak proses pendek, begitu ditangkap disembelih digoreng dan langsung dimakan," ucapnya.

Sementara Dokter spesialis anak dr Fiona Paramitha SpA berujar, pola hidup sehat harus menjadi kebiasaan sejak dini. Anak perlu diajarkan makan makanan bergizi seimbang, dengan memperbanyak konsumsi sayur, buah, dan air putih yang cukup sesuai kebutuhan tubuh.

“Makanan tinggi gula, garam, serta pengawet, yang banyak ditemukan pada makanan cepat saji dan minuman kemasan sebaiknya dihindari. Selain menjaga asupan nutrisi, aktivitas fisik minimal 60 menit per hari juga menjadi kunci agar anak terhindar dari obesitas, yang merupakan salah satu pemicu gangguan ginjal,” jelasnya.

Contoh kegiatan lain yang bisa dilakukan, ia menambahkan, seperti bermain bola, berenang, atau sekadar berjalan kaki di luar rumah bisa membantu membakar kalori berlebih dan menjaga metabolisme tubuh. Langkah preventif yang paling susah dilakukan sekarang menurut dr. Fiona adalah mengurangi screen time pada anak.

“Orangtua harus diimbau dalam membatasi waktu layar atau screen time sesuai usia anak, karena kecanduan gadget tak hanya mengurangi aktivitas fisik, tapi juga mengganggu pola tidur yang berperan penting dalam proses regenerasi tubuh, termasuk ginjal,” tegasnya.

5. Harus cuci darah? Ini tahapan pelayanannya

Ilustrasi cuci darah /radar tasik

Hemodialisis atau perawatan cuci darah bagi pasien gagal ginjal kronis harus dilakukan secara rutin dengan jadwal pelaksanaan sesuai tingkat keparahan dan pengawasan dokter spesialis penyakit dalam. Rumah sakit yang melayani perawatan hemodialisis dengan tanggungan jaminan kesehatan dari BPJS. Namun rumah sakit tersebut sudah mendapatkan rujukan dari dinas kesehatan melalui pemeriksaan di fasyankes.

Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes Palembang dr Yuliarni M.kes mengatakan, pasien gagal ginjal bisa mendapat perawatan hemodialisis ditanggung BPJS kesehatan setelah mendapatkan rujukan dari fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), puskesmas, dan fasyankes tingkat pertama atau kedua (rumah sakit).

"Apabila pasien belum terdeteksi (gagal ginjal), puskesmas bisa melayani pemeriksaan gratis program presiden Prabowo. Setelah pemeriksaan rutin, jika ditemukan tanda kemudian ada pemeriksaan lanjutan yang ini akan dirujuk," kata dia.

Dinkes dalam penanganan dan perawatan kasus hemodialisis di Palembang, jelas Yuliarni, berperan sebagai pengawas dan memiliki tupoksi pembinaan di fasyankes yang tidak fokus terhadap satu kasus.

"Karena perawatan hemodialisis ini hanya ada di rumah sakit, alatnya juga tidak banyak. Puskesmas tidak punya, jadi semua tanggung jawab kembali ke rumah sakit terkait," jelas dia.

6. Harapan para pasien dan para pendampingnya

Sosialisasi yang dilakukan KPCDI Palembang terkait gagal ginjal dan cuci darah kepada anak muda di Palembang (Dok: KPCDI Palembang)

Meningkat drastisnya pasien cuci darah akibat gagal ginjal setiap tahunnya, membuat Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Palembang turun tangan memberikan edukasi. Banyak anak muda yang tidak aware dengan penyakitnya hingga harus menderita gagal ginjal dan melakukan cuci darah seumur hidup.

Novan menjelaskan, hipertensi dan gula darah menjadi penyebab utama tingginya kasus gagal ginjal. Kasus hipertensi yang tidak terkontrol membuat banyak orang tidak menyadari bahwa mereka berisiko terkena gagal ginjal.

"Mereka baru menyadari ketika kondisi kesehatan menurun. Ketika drop mereka baru divonis gagal ginjal. Kasus ini banyak terjadi pada anak muda di bawah 40 tahun hingga 20 tahunan," jelas dia.

Melihat banyaknya anak muda yang terkena gagal ginjal, Noval bersama rekan-rekan di KPCDI Palembang menggalakkan untuk datang ke SMK/SMA di Palembang. Mereka berharap ada kesadaran anak muda untuk waspada mengingat gagal ginjal bisa terjadi di semua usia.

"Sosialisasi terkait gagal ginjal dan cuci darah ini bukan untuk melebihi kapasitas dokter tetapi sebagai edukasi dan mengingatkan kepada anak muda untuk waspada. Selain sosialisasi di sekolah, kita juga kerap kopi darat dengan rekan-rekan di KPCDI dengan membawa pamplet dan selebaran terkait edukasi," jelas dia.

Dalam berbagi pengetahuan mengenai permasalahan gagal ginjal tak jarang ada perawat hingga dokter yang kerap membagikan informasi kepada para penyintas dan pendamping. Hal ini dibutuhkan penyintas untuk tetap semangat dalam menjalani hari-harinya usai divonis untuk melakukan cuci darah seumur hidup.

MW, ibunda MS, mengaku dirinya memiliki penyesalan dengan kondisi buah hatinya sekarang. Namun, ia memilih mencari jalan keluar ketimbang terus meratapi nasib. Ia terus memompa semangat sang putri yang kini harus rutin melakukan cuci darah dua kali seminggu. Bukan itu saja, MS juga harus membatasi jumlah makanan dan minuman yang ia konsumsi.

Beruntung, dengan segala kepahitan hidup yang harus dijalani, MS punya harapan sembuh yang tinggi. Sebisa mungkin ia ingin menjalani aktivitasnya seperti dulu lagi.

"Ingin sehat, ingin sekolah. Kangen sekolah, kangen main sama teman-teman. Ingin memotivasi teman-teman agar tidak kebanyakan makan mi instan," kata MS.

Sementara Dewi di Palembang, hanya berpikiran satu hal, yakni bertahan untuk anak-anaknya yang masih kecil. Dirinya berharap bisa membersamai mereka hingga dewasa dalam keadaan tetap sehat.

"Kalaupun ada obat yang ditanggung dan harus membayar saya juga akan membelinya. Karena saya pikir harus sehat untuk anak-anak," beber Dewi.

Jika sebelumnya Dewi merasa sudah menjalankan pola hidup sehat sebelum sakit, maka kini dirinya lebih meningkatkan pola hidup sehat tersebut. Sebagai pasien gagal ginjal dirinya juga belajar terus mengenai penyakit yang dideritanya dengan konsultasi dengan dokter atau berbagi cerita dengan pasien lain di dalam komunitas.

Seiring waktu, Dewi mulai berpikir untuk tetap sehat dan menerima keadaan. Dirinya mencoba menguatkan diri dengan selalu berpikir positif dan menjalin komunikasi dengan dokter dan perawat di rumah sakit. Selain itu, dirinya juga menjalin silahturahmi dengan kawan-kawan di Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPDCI).

"Kita tetap saling mendukung sesama penyintas di komunitas. kita berbagi pengalaman mengenai penyakit ini," jelas dia.

Dirinya pun mengingatkan anak-anak muda yang masih sehat untuk mengubah pola hidup menjadi lebih baik. Adapun mereka yang sudah sakit diminta untuk menerima setiap keadaan dengan lebih bijak.

"Untuk anak muda perhatikan makannya jangan yang instan, jangan lupa minum air putih. Banyak sekarang kasus yang muda-muda cuci darah karena kurang minum air putih dan minum-minuman manis," jelas dia.

 

Tim Penulis: Rangga Erfizal dan Feny Maulia Agustin (Sumsel), Tama Wiguna (Lampung), Rizal Adhi Pratama dan Erza Angelia Putri (Jatim), Muhammad Nasir (NTB), Ayu Afria Ulita Ermalia (Bali)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hafidz Trijatnika
EditorHafidz Trijatnika
Follow Us