Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gedung FISIP UIN Raden Fatah Palembang
Gedung FISIP UIN Raden Fatah Palembang (dok. pribadi)

Intinya sih...

  • UIN Raden Fatah Palembang fokus pada pencegahan kekerasan seksual di kampus

  • PSGA membentuk tim advokasi dan Satgas Anti Kekerasan Seksual untuk mahasiswa

  • Kasus kekerasan berbasis digital sering dilaporkan, proses penanganan laporan memerlukan pemanggilan berulang

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Palembang, IDN Times - Pendidikan tinggi tanpa kekerasan fisik dan seksual menjadi perhatian bagi Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang. Di bawah naungan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), dosen dan mahasiswa berkolaborasi melakukan pencegahan kekerasan dengan berjejaring menciptakan ruang aman bagi semua.

Ketua PSGA UIN Raden Fatah Henny Yusalia mengatakan, semakin banyak mahasiswa yang berani bersuara dalam melaporkan kasus perundungan dan pelecehan yang mereka alami. Hal ini menunjukkan adanya perubahan budaya di lingkungan kampus menuju tempat yang lebih aman dan responsif terhadap isu kekerasan.

"Cukup banyak mahasiswa dan mahasiswi yang sudah berani melapor kasus perundungan maupun pelecehan. Kami bersyukur, karena kesadaran ini semakin tumbuh di kalangan mahasiswa," ungkap Henny Yusalia, kepada IDN Times, Jumat (24/10/2025).

1. Libatkan dosen dan tim profesional

FISIP UIN Raden Fatah Palembang

Menurut Henny, saat ini UIN Raden Fatah memiliki fokus dalam perlindungan dan pencegahan kekerasan di lingkungan kampus. Hal ini sejalan dengan Permendikbudristek No. 55/2024 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.

Dalam perjalanannya, PSGA memiliki dua tim yang mewadahi tim dalam mencegah kasus perundungan hingga kekerasan seksual. Tim pertama yakni, Gender Focal Point (GFP) yang berisi para dosen berasal dari masing-masing fakultas. Tim kedua yakni. tim advokasi pencegahan dan penanganan kekerasan yang bertugas melakukan advokasi kasus yang terjadi.

"Tim advokasi merupakan beragam dosen dari berbagai kampus dengan berbagai latar belakang. Melibatkan tim hukum dari kampus, dokter dan psikologi berlisensi," jelas dia.

2. Komitmen lindungi korban

Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

PSGA tengah melakukan persiapan membentuk Satgas Anti Kekerasan Seksual di lingkungan kampus yang nantinya melibatkan mahasiswa di dalamnya. Satgas itu diharapkan mampu menjadi ruang pengaduan dan dukungan bagi mahasiswa yang mengalami kekerasan dan pelecehan serta kasus kekerasan lain di lingkungan kampus.

Menurut Henny, PSGA telah menyusun pedoman pencegahan kekerasan seksual dan SOP pengaduan yang telah disahkan oleh rektor. Setiap laporan dari mahasiswa ditangani secara hati-hati melalui proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dialog terpisah antara korban dan pelaku.

"Kami tidak langsung menghakimi pelaku. Pendampingan tetap kami lakukan kepada kedua belah pihak, tapi fokus utama kami tetap pada korban,” jelas dia.

Secara umum, pihaknya memastikan kerahasiaan identitas korban dalam setiap pelaporan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual. Hal ini dibuktikan dengan komitmen tim yang terlibat untuk menjaga setiap bentuk informasi yang ada di PSGA.

“Yang paling penting, kami berkomitmen merahasiakan identitas korban. Semua tim memahami dan berkomitmen menjaga kerahasiaan laporan hingga saat ini," jelas dia.

3. Banyak kasus kekerasan seksual lewat media sosial

Ilustrasi kekerasan perempuan dan anak (IDN Times)

Kasus yang paling sering dilaporkan adalah kekerasan berbasis digital, seperti pelecehan melalui pesan WhatsApp dan media sosial. Namun sejauh ini, belum ada laporan yang masuk kategori berat.

"Kekerasan lewat IT lumayan banyak, tapi bisa kami selesaikan tanpa harus masuk ke tahap lebih serius," jelas dia.

Menurutnya, semakin banyak mahasiswa yang berani bersuara terkait kasus kekerasan menjadi dorongan bagi pihak kampus untuk menyiapkan SOP secara lebih terperinci. Ia menambahkan, upaya pencegahan kekerasan dan pelecehan tersebut mendapat dukungan penuh dari pihak rektorat. Saat ini, mereka tengah menunggu terbitnya Surat Keputusan (SK) untuk pengesahan tim ketiga pencegahan kekerasan seksual di tingkat kampus.

"Dengan dukungan rektor dan mahasiswa yang semakin sadar dengan berani speak up patut kita syukuri," jelas dia.

4. Keluarkan rekomendasi ke dekanat dan rektorat dari setiap kasus yang ditangani

Ilustrasi kekerasan perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Proses penanganan laporan kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan UIN Raden Fatah Palembang tidak berjalan singkat. Setiap kasus memerlukan pemanggilan berulang terhadap pelaku, korban dan saksi untuk memastikan proses berjalan adil.

"Prosedurnya memang cukup panjang. Pemanggilan korban tidak bisa bersamaan dengan pelaku, bahkan kami juga turut memanggil pihak keluarga korban," ungkap Henny.

Dirinya menambahkan, laporan dibagi dalam tiga level, yakni ringan, menengah, dan tinggi. "Alhamdulillah sejauh ini belum ada kasus yang masuk kategori tinggi. Jika kasus berada di ranah fakultas, kami akan berkoordinasi dengan dekanat, dan hasilnya tetap dilaporkan ke rektorat untuk diputuskan," jelas dia.

5. Fokus sosialisasi kepada mahasiswa

ilustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Meski begitu, Henny mengakui bahwa sosialisasi pencegahan kekerasan seksual masih menjadi tantangan utama, terutama di Kampus B Jakabaring. PSGA baru satu tahun aktif dan masih berupaya memperluas pemahaman mahasiswa lewat berbagai kegiatan dan sosialisasi.

"Hambatan utama kami adalah sosialisasi dan efisiensi anggaran. Rencana awal kami ingin membuat spanduk, banner, dan flyer di semua fakultas, tapi karena efisiensi anggaran, sebagian tertunda. Meski begitu, kami tetap berupaya melalui media dan kegiatan kampus," jelas dia.

Selain fokus di kampus, PSGA juga menjalankan program desa binaan di berbagai wilayah di Sumsel seperti Muara Enim. Hal ini dilakukan untuk menyuarakan bahaya pernikahan dini.

“Alhamdulillah, kami juga rutin mengadakan pelatihan, workshop, dan forum kajian gender di era Gen Z. Kami punya program desa binaan di Muara Enim yang fokus menyuarakan bahaya pernikahan dini," jelas dia.

6. Rektor dorong mahasiswa terus berani bersuara hadapi kekerasan

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mia Amalia)

Hal senada disampaikan Rektor UIN Raden Fatah Palembang Muhammad Adil yang menekankan pentingnya pencegahan melalui sosialisasi mengenai pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual.

"Pencegahan jauh lebih baik daripada mengobati. Sosialisasi pencegahan juga bentuk recharge kesadaran kita untuk menjaga kampus tetap aman dan sehat," jelas dia.

Menurutnya, mahasiswa tidak perlu takut untuk bersuara dalam kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi di lingkungan kampus. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan kondisi kampus yang aman.

"Jika ada masalah, silakan adukan secara langsung. Supaya kita tahu langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menghindari dan mencegah kekerasan serta perundungan di lingkungan kita," jelas dia.

Editorial Team