Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Alat test HIV (pexels)

Intinya sih...

  • Penularan HIV/AIDS di Sumsel mayoritas terjadi akibat seks bebas tanpa alat pengaman, dengan jumlah kasus baru mencapai 846 dari Januari hingga Oktober 2024.
  • Kota Palembang menjadi wilayah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi, namun layanan konseling dan PMTCT tersedia di berbagai fasyankes serta lapas dalam satu rutan.
  • Komunitas peduli HIV/AIDS seperti Sriwijaya Plus memberikan pendampingan dan edukasi kepada penyintas, serta berperan dalam upaya pencegahan dan penanganan diskriminasi terhadap ODIV.

Palembang, IDN Times - Penyebab utama penularan HIV/AIDS di tengah masyarakat karena melakukan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan tanpa alat pengaman. Mayoritas penderita HIV/AIDS atau yang terinfeksi 75 Persen diantaranya karena hubungan badan.

Dinas Kesehatan Sumatra Selatan (Dinkes Sumsel) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2024 ada 846 kasus baru jumlah terinfeksi HIV/AIDS dari sebelumnya pada Januari-Desember 2023 tercatat 870 kasus "Jumlah data berdasarkan hasil diagnosa, tes darah hingga pemberian pengobatan terhadap penderita," ujar Pengelola Program HIV/AIDS Dinkes Sumsel Irma Tiara, kepada IDN Times

1. Infeksi HIV/AIDS tertinggi di Sumsel terjadi di Kota Palembang

ilustrasi HIV/AIDS (pexels.com/Klaus Nielsen)

Jumlah terinfeksi HIV/AIDS di Sumsel paling tinggi terjadi pada Kota Palembang dari kabupaten/kota. Kondisi ini karena Palembang merupakan wilayah dengan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) terbanyak, sehingga kasus HIV/AID yang tercatat juga mendominasi.

Data terbaru di Palembang untuk jumlah infeksi, lanjut Irma, tercatat di angka 109 kasus. "Ini periode 2024 hingga bulan lalu (Oktober) dan kemungkinan sampai Desember akhir bisa bertambah," kata dia.

Palembang melayani layanan konseling HIV/AIDS di 68 fasyankes meliputi 42 puskesmas dan 23 rumah sakit. Termasuk di 2 lapas dalam satu rutan. Sedangkan pelayanan Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT), program pemerintah untuk mencegah penularan dari ibu ke bayi tersedia di Rumah Sakit Muhammd Hoesin (RSMH) dan RS Charitas.

2. Ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada bayinya selama kehamilan

ilustrasi obat-obatan (unsplash.com/Ksenia Yakovleva)

Selain Palembang, kasus HIV/AIDS yang juga tinggi penularannya tercatat di Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT). Sementara jumlah infeksi terendah di Kabupaten Musi Rawas, Ogan Ilir dan Musi Rawas Utara (Muratara).

"Laki-laki masih mendominan menjadi penular HIV/AIDS dan rata-rata terinfeksi atau baru diketahui positif HIV/AIDS di usis produktif," ungkap Irma.

Kasus yang relatif minim kata dia, bukan karena di wilayah tersebut memang sedikit terinfeksi. Melainkan pengecekan HIV/AIDS daerah itu belum optimal, faktor penderita tidak melakukan tes darah. Bahksn masih banyak masyarakat Sumsel yang belum memiliki kesadaran untuk mengantisipasi penularan HIV/AIDS.

Meski penularan HIV/AIDS mayoritas dari hubungan seksual bergonta-ganti pasangan, sebenarnya kasus ini juga bisa tertular melalui kondisi lain seperti penyebaran virus secara kontak langsung lewat darah yang terinfeksi.

Irma menambahkan, ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada bayinya selama kehamilan, persalinan, atau melalui ASI. Namun, ada harapan untuk mencegah penularan tersebut, yakni jika ibu hamil mengetahui statusnya dan rutin mengonsumsi obat.

"Dengan konsumsi obat antiretroviral (ARV) disiplin selama kehamilan, risiko penularan kepada bayi dapat diminimalkan. Obat ini merupakan program Kemenkes dan gratis tidak dijual di apotik manapun," ungkapnya.

3. Kasus HIV/AIDS di Sumsel sering ditemukan pada anak-anak yang tertular dari orangtua

ilustrasi pasien dirawat di rumah sakit (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Penularan HIV/AIDS dari darah yang terinfeksi memiliki empat faktor risiko utama. Pertama, virus harus keluar dalam bentuk darah dan virus itu harus dapat bertahan hidup di luar tubuh, karena jumlah virus yang ada memengaruhi kemungkinan terjadinya penularan.

"Ada potensi pintu masuk jika ada luka terbuka di tubuh yang terpapar darah yang terinfeksi," jelas Irma.

Lebih lanjut ia menerangkan, jika seseorang tidak sengaja terkena darah yang terkontaminasi HIV/AIDS dan tidak ada luka terbuka, risiko penularan tetap rendah. Penyakit ini sambung Irma, tidak mengenal batasan usia.

Beberapa tahun lalu, kasus HIV/AIDS di Sumsel banyak ditemukan pada usia sekitar 6 tahun dan penyebab paling sering karena tertular dari ibu yang terinfeksi. "Tapi berkat pengobatan serius, penularan bisa ditekan dengan lebih efektif," imbuhnya.

Bagi anak-anak terinfeksi HIV/AIDS kata dia, penanganan lebih lanjut harus dengan pemahaman tumbuh kembang anak, karena mereka belum mengerti sepenuhnya kondisi dihadapi. Sementara pendampingam untuk orang dewasa, dimotivasi lewat dukungan sosial.

"Ada sistem pendukung yang membantu mereka menjalani pengobatan. Dengan mengonsumsi obat secara teratur setiap hari, pasien dapat memperpanjang harapan hidup mereka dan hidup dengan kualitas lebih baik," jelas dia.

4. Poin penting edukasi HIV/AIDS adalah menyampaikan bahaya penyakit

ilustrasi virus HIV (unsplash.com/National Institute of Allergy and Infectious Diseases)

Kader kesehatan terutama Dinkes berperan besar dalam memberikan edukasi, mencegah penularan, dan mendampingi pasien HIV/AIDS untuk menjalani hidup lebih sehat. Irma menyampaikan, Dinkes Sumsel terus memasifkan edukasi tepat dan komitmen mengadakan program pencegahan HIV/AIDS di tengah masyarakat.

Dinkes juga berperan mendukung keberlanjutan edukasi sosial untuk memerangi kasus ini termasuk memberi pendampingan dan membantu penderita menjalani hidup layak. "Pasien kita bantu dan diberi pendampingan termasuk mendukung mereka (pasien) hidup lebih baik, meskipun virus ini masih belum ada obatnya," timpal Irma.

Poin penting edukasi HIV/AIDS adalah menyampaikan bahaya penyakit tersebut dan harus benar-benar jadi perhatian. Apalagi kondisi pergaulan bebas sekarang rentan memicu penyabaran virus penyakit ini. Edukasi lingkungan psikologis dan sosial pun berperan besar.

Irma menegaskan, walau pemerintah menyediakan obat HIV/AIDS, penekannya adalah penyakit ini belum bisa disembuhkan, meski bisa memperpanjang hidup. Kemudian yang perlu pemahaman adalah pengertian HIV/AIDS.

"Jadi HIV merupakan virus yang menyerang kekebalan tubuh, sedangkan AIDS adalah penyakit dan dalam tahap akhir dari infeksi HIV yang menyebabkan kerusakan parah pada sistem imun," jelasnya.

5. Komunitas peduli HIV/AIDS berperan mendukung kehidupan penyintas dan pasien lebih baik

ilustrasi simbol HIV/AIDS (freepik.com/freepik)

Salah satu langkah memotivasi masyarakat yang terinfeksi HIV/AIDS dengan menggandeng komunitas peduli HIV/AIDS. Rata-rata komunitas itu juga dibentuk oleh penyintas Orang dengan HIV (ODHA) dan Sumsel memiliki sekumpulan orang peduli HIV/AIDS seperti komunitas Sriwijaya Plus dan Yayasan Intan Maharani.

Contoh peran Sriwijaya Plus dalam pendampingan penderita infeksi HIV/AIDS hadir di Sekayu, Musi Banyuasin (Muba). Salah satu pendukung Komunitas Sriwijaya Plus dan aktifis HIV/AIDS, Odit menyebut, penanggulangan di Muba melibatkan lintas sektor pemerintah setempat.

"Penanggulangan HIV di Muba sudah dengan berbagai upaya dilakukan bersama Pemkab dan Dinkes. Seperti melakukan podcast sebagai promosi dan sosialisasi agar masyarakat Muba mau melakukan tes HIV," kata dia.

Selain itu Sriwijaya Plus juga menginisiasi terbentuknya kelompok dukungan sebaya (KDS) di Muba yang bernama KDS Lilac center. "Jadi kelompok ini menggerakkan para ODHA dan atau ODIV (Orang Dengan HIV) berkumpul dan sharing berbagi pengalaman, baik masalah pengobatan ataupun mengajak teman atau pasangan melakukan tes secara rutin," jelas Odit.

6. Komunitas peduli HIV/AIDS di Sumsel juga memberi pendampingan advokasi HAM

Ilustrasi pita merah, simbol solidaritas pengidap AIDS. (Dok. Pexels/Anna Shvets)

Pendampingan Sriwijaya Plus terhadap para penyintas HIV/AIDS juga lanjut dia, berlanjut terhadap pendampingan pengobatan sampai advokasi HAM selain dukungan dalam pendampingan tes kesehatan. "Masyarakat Muba beberapa sudah terbuka, namun ada yang belum menerima secara terbuka para penyintas ini," timpalnya.

Komunitas komitmen mengedukasi HIV/AIDS meski butuh waktu lama. Masyarakat wajib tahu dan memahami jika penyakit ini memang menular namun tidak mudah penularannya. "Kami juga meyakinkan para penyintas, bahwa mereka tidak menutup diri atau mendiskriminasi diri sendiri jadi mereka bisa bergabung dalam kehidupan sosial. Sehingga tidak terlihat jika memang mengidap penyakit tersebut dan harus rutin minum obat," jelas dia.

Upaya mengantisipasi terjadinya diskriminasi kata Odit, komunitas tidak open status para ODIV. Artinya dengan berkehidupan sosial seperti biasa, orang-orang tidak menyadari bahwa mereka berdampingan dengan para penyintas. "Selama para ODIV patuh dan rutin minum obat, mereka bisa membantu pendampingan," timpalnya.

Contoh kasus diskriminasi terhadap penyintas HIV/AID pernah terjadi di Muba. Penderita penyakit ini diminta mengundurkan diri dari pekerjaan hingga memindahkan posisi pekerjaan mereka karena ketahuan posotif. "Catatanya di Muba diskriminasi tidak banyak," kata dia.

7. Kasus HIV/AIDS di Palembang menyebabkan anak-anak meninggal dunia

ilustrasi HIV/AIDS (pexels.com/Klaus Nielsen)

Informasi dari lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa (DD) Sumsel, ada kasus HIV/AIDS di Palembang yang pernah dibantu untuk biaya pengobatan dan pasien tersebut masih berusia 5 tahunan pada 2019. Pasien inisial ‘D’ pertama kali datang ke Klinik Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) DD Sumsel pada 2015.

Saat itu, ia datang bersama ayahnya, yang kesehariannya bekerja sebagai pemulung. ‘D’ datang dengan keluhan tidak bisa berjalan dan berbicara. Kemudian, ia datang kembali ke LKC sekitar tahun 2017 atau 2018. Kondisi ‘D’ pun lebih buruk dari sebelumnya dan dia dinyatakan positif HIV/AIDS. Selama empat tahun dari 2015 menjalani pengobatan, pada 2019 pasien meninggal dunia.

Maka itu penting sekali mengedukasi HIV/AIDS kepada publik terutama masyarakat di usia produktif. Kampanye kesehatan juga harus fokus pada wanita usia produktif dan anak muda, karena kasus infeksi mayoritas terjadi pada kelompok usia produktif. Data temuan Global Report UNAIDS 2013 memperkirakan, sebanyak 34 juta orang terinfeksi HIV di dunia dan Indonesia adalah salah satu dari 9 negara yang mengalami peningkatan kasus infeksi HIV untuk usia produktif (15-49 tahun).

Editorial Team