TBM Kolong Ciputat (Dok. TBM Kolong)
Taman Baca Masyarakat (TBM) Kolong menjadi pusat belajar dan perpustakaan kecil yang berlokasi di kolong jalan layang wilayah Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Meski tempatnya kurang representatif di TBM Kolong ini, namun beragam buku bacaan secara gratis dan terbuka untuk umum disuguhkan.
Salah satu pengelola TBM Kolong, Victoria, menceritakan awal berdirinya tempat itu dimulai pada 2016 lalu. Kala itu, ada keinginan para anak muda yang berasal dari beberapa komunitas untuk melakukan penghijauan kolong jembatan layang.
"Kemudian setelah banyak komunitas yang masuk, akhirnya inisiasi dibangunnya TBM dilakukan oleh FISIP Mengajar. FISIP Mengajar ini salah satu unit kegiatan mahasiswa di UIN Jakarta, yang punya program mengajar dan literasi, FISIP mengajar dan OI Tangsel bergabung terbentuklah TBM Kolong," kata Victoria kepada IDN Times, beberapa waktu lalu.
Anak-anak bisa membaca buku secara gratis di sana dan tempat pun sudah di-setting sedemikian rupa nyamannya. Selain menyediakan buku bacaan gratis, pengelola dan relawan di TBM Kolong juga memberikan materi-materi pembelajaran terhadap anak didik mereka yang jumlahnya ratusan.
"Untuk anak didiknya sekitar 150 anak. Untuk pengurus, pengajar, dan relawan, sekitar 50 orang," kata dia.
Peserta rutin dari TBM Kolong merupakan anak-anak para pedagang pasar yang berjualan di Pasar Ciputat, salah satu pasar tradisional terbesar di Kota Tangsel. Sebelum ada TBM, jalan layang yang berada di Ciputat dipenuhi oleh sampah dan menjadi tempat nongkrong preman pasar.
Namun seiring berjalan waktu, preman dan sopir angkot yang biasa menempati lokasi itu akhirnya merestui perpustakaan. Aura kumuh itu kemudian berangsur hilang setelah ada taman bacaan. Apalagi para seniman lukis kemudian ikut menumbangkan karya mereka dengan membuat mural di dinding dan pilar-pilar jalan layang itu.
Kondisi tak jauh berbeda juga terada di sebuah rumah di Dusun Slamet RT 01 RW 08, Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah (Jateng). Anak-anak datang untuk mengikuti kegiatan klub baca yang diadakan Pondok Buku Ajar.
Heri Chandra Santoso, sang pemandu dari kegiatan membaca secara berkelompok tersebut. Anak-anak usia SD itu kemudian dibawa ke sebuah kebun karet yang tak jauh dari Pondok Buku Ajar. Mereka membawa sejumlah buku yang ditaruh pada wakul, lalu menggelar tikar dan mengambil sebuah buku berjudul 'Metamorfosa Samsa' karya Franz Kafka.
‘’Adik-adik hari ini kita mau membaca buku Metamorfosa Samsa karya Franz Kafka ini ya? Saya sudah membuat salinannya untuk adik-adik. Nanti secara giliran kita baca buku ini ya?’’ tuturnya saat ditemui IDN Times, Sabtu (2/4/2022).
Lelaki berusia 38 tahun itu merupakan pegiat literasi dari Lereng Medini, sebuah kawasan pegunungan di Boja. Ikhtiar itu sudah dilakukan Heri sejak 2008. Ia mendirikan Komunitas Lereng Medini untuk memberikan ruang bagi masyarakat, khususnya anak-anak dan pelajar untuk mengakses bacaan, belajar sastra, serta budaya. Ia juga menggerakkan Wakul Pustaka dan menyelenggarakan kegiatan reading group atau klub baca pada anak-anak.
‘’Jadi melalui klub baca yang kami namai Anak-Anak Gregor Samsa ini kami mulai berkenalan, bermain-main dengan buku-buku dan teks yang ada. Selama membaca kalau ada yang belum paham yang sudah paham bisa menjelaskan, kalau sama-sama belum paham ya kami berdiskusi,’’ katanya.
Selain Klub Baca Anak-Anak Gregor Samsa, Heri juga membuka akses dan mendekatkan bacaan pada masyarakat melalui Wakul Pustaka. Kegiatan pustaka bergerak tersebut berupaya untuk meningkatkan literasi di masyarakat dengan menjemput dan mendatangi pembacanya. Gerakan ini dilakukan melalui medium yang unik dan sesuai dengan kearifan lokal.
‘’Gerakan ini digagas oleh Nirwan Ahmad Arsuka dan di sejumlah daerah sudah menerapkannya. Seperti ada Kuda Pustaka di Gunung Slamet, buku ditarik kuda dibawa ke desa-desa ternyata peminatnya banyak. Noken Pustaka di Papua, noken atau tas khas Papua berisi buku dibawa keliling untuk dibaca masyarakat. Lalu, ada Motor Pustaka di Lampung, Perahu Pustaka di Makassar, dan Wakul Pustaka di Boja Kendal,’’ jelas alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang itu.
Konsep Wakul Pustaka sudah berjalan sejak 2017. Ia memanfaatkan wakul atau tempat nasi untuk diisi sejumlah buku dan ditaruh di sejumlah lokasi yang banyak dikunjungi orang. Misalnya Poskamling, warung makan, balai desa, warung kelontong dan lainnya di sekitar Boja Kendal. Ini merupakan terobosan baru, bahwa buku bisa digerakkan bukan hanya ditaruh di perpustakaan atau rak-rak di rumah saja.
Menurutnya, menggerakkan orang untuk membaca harus dimulai dari memahami minat, talenta, dan potensi diri masing-masing. Dan ketika hal itu sudah bertemu, buku seolah akan menjadi karpet merah, bagi anak-anak untuk menuju cita-cita mereka.
Sama halnya di Balikpapan, di wilayah pesisir, tepatnya di kawasan Manggar Baru, Balikpapan Timur. Ada sebuah pojok baca yang dikhususkan untuk anak-anak usia 5 tahun atau pra sekolah dasar bernama Pondok Belajar Pinggir Pantai. Tempat belajar ini dibentuk oleh pasangan suami-istri bernama Rahmat Setya Hidayat dan Putri Muharromiah.
Berawal dari kebingungan menghabiskan waktu selama work from home (WFH). Kala itu Rahmat bertanya kepada istrinya mengenai kegiatan yang bermanfaat dilakukan selama di rumah. Karena di dekat rumah mereka banyak anak-anak, tiba-tiba terlintas keinginan mereka untuk mengajar.
"Awalnya ngobrol sambil main-main dulu, lama-kelamaan ya, keterusan kita ajarinnya," kata Putri, saat dihubungi IDN Times.
Dua tahun berselang, Putri memiliki enam murid. Sebenarnya saat pertama pondok belajar ini didirikan, ia bisa mengajar lebih banyak anak. Hanya saja karena sang suami dan adiknya, Pitra Annisa yang sering membantunya mengajar, kembali bergelut dengan aktivitas mereka, ia pun kewalahan.
Mengajak anak-anak untuk belajar memang bukanlah hal gampang. Biasanya perkara gawai menjadi persoalan utama. Namun menurut Putri, anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya rata-rata belum terkontaminasi oleh perkembangan teknologi sekarang. Ia sering memberi hadiah untuk menarik perhatian anak-anak.
"Materi yang aku pakai itu ada enam buku per enam step. Aku siapkan hadiah-hadiah kecil setiap mereka ganti buku. Hadiahnya random saja, semampunya dompet," kata dia sambil tertawa.
Meski harus mengeluarkan biaya sendiri, namun pasangan ini mengajar tanpa mengharapkan imbalan sedikit pun. Walau terkadang ada beberapa orangtua yang memberi imbalan sebagai bentuk terima kasih.
"Semuanya free. Kadang ada orangtua yang kasih Rp50 ribu atau bahkan kasih ikan setelah ayahnya pulang melaut. Di sekitar rumahku memang rata-rata mata pencariannya nelayan," jelas dia.
Selain membaca, Putri juga mengajar anak-anak menulis dan berhitung. Untuk membaca, agar anak-anak didiknya cepat lancar biasanya dia menitipkan satu buku bacaan setiap harinya untuk dibaca anak-anak tersebut saat di rumah.