Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kondisi anak Sungai Lematang di Lahat yang terdampak oleh aktivitas tambang (Dok: Yayasan Anak Padi Lahat)
Kondisi anak Sungai Lematang di Lahat yang terdampak oleh aktivitas tambang (Dok: Yayasan Anak Padi Lahat)

Intinya sih...

  • Sungai Lematang di Lahat, Sumsel mengalami kerusakan akibat aktivitas tambang batu bara dan PLTU

  • Kerusakan sungai menyebabkan perubahan pola hidup masyarakat, mulai dari sumber air hingga mata pencarian

  • Masyarakat dan pegiat lingkungan berusaha menyuarakan keresahan dan siap menempuh jalur hukum terkait kerusakan sungai

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Lahat, IDN Times - Sungai Lematang membentang sepanjang 443 kilometer di wilayah Sumsel. Tak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada air Lematang. Masyarakat mulai mengeluh adanya kerusakan pada bagian anak sungai yang rusak akibat batu bara dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang kian masif.

Air yang dulunya jernih dan menjadi sandaran masyarakat Lahat, kini berubah. Warnanya sesekali berubah hitam, terkadang berbau dan menimbulkan gatal pada kulit. Masyarakat yang dulunya menggunakan Air Lematang untuk beraktivitas dan konsumsi kini mulai resah air yang ada tak lagi bisa digunakan.

"Pola hidup masyarakat ikut bergeser. Sebelum ada PLTU, air sungai menjadi sumber utama untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan kini petani lebih memilih membuat sumur ketimbang menggunakan air dari sungai," ungkap Ketua Yayasan Anak Padi Lahat, Sahwan kepada IDN Times, Jumat (12/9/2025).

1. Tercemarnya anak sungai yang jadi penopang Lematang

Kondisi anak Sungai Lematang di Lahat yang terdampak oleh aktivitas tambang (Dok: Yayasan Anak Padi Lahat)

Sahwan mencatat kerusakan Sungai Lematang terjadi dalam beberapa waktu terakhir diakibatkan oleh masifnya aktivitas tambang batu bara. Tercatat ada tiga anak sungai di Lahat yakni, Sungai Pule, Sungai Kahang, dan Sungai Pendian yang terancam rusak.

Masifnya eksplorasi di kawasan yang berdekatan dengan anak sungai juga menimbulkan permasalahan. Adanya dugaan pelanggaran serius dan besar yang merugikan masyarakat, di mana ada dugaan pemindahan aliran sungai yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di dekat ketiga sungai.

"Ketika kita melihat landscape Sungai Lematang kita melihat anak sungai yang menjadi penopangnya. Kerusakan anak sungai ini terjadi karena airnya tercemar lantaran aktivitas PLTU," jelas dia.

2. Masyarakat mulai enggan menggunakan air sungai

Kondisi anak Sungai Lematang di Lahat yang terdampak oleh aktivitas tambang (Dok: Yayasan Anak Padi Lahat)

Kondisi ini dinilai menimbulkan kerusakan ekosistem sungai dan lingkungan serta gangguan pada kualitas air dan biota yang hidup di dalamnya. Dampaknya, masyarakat yang akan sangat dirugikan oleh perbuatan serampangan tersebut.

Seperti di Sungai Pule yang berada di Merapi Barat, Lahat, kerusakan yang terjadi dinilai merugikan masyarakat. Sungai yang sehari-hari digunakan warga Desa Kebur, Muara Maung, dan Desa Telatang kini tak bisa lagi digunakan. Air sungai disinyalir mengandung zat beracun seperti limbah B3 seperti oli, limbah rumah tangga yang berasal dari drainase PLTU.

"Ada perubahan ketika kita berbicara sungai Lematang sekarang dan dahulu. Kenapa sungai ini diduga tercemar, karena masyarakat yang umumnya bekerja sebagai petani sudah tidak lagi mau menggunakan air sungai lagi untuk kepentingan pertanian maupun sekedar mencari tambahan pendapatan dan lauk dari sungai," jelas dia.

3. Hak atas sungai milik masyarakat dirampas

(Kondisi banjir bandang di kabupaten Lahat akibat sungai Lematang meluap) IDN Times/Istimewa

Mereka yang beraktivitas di sungai inilah yang pada akhirnya menyadari paling awal ada yang rusak dari sungai mereka. Ada kalanya ketika masyarakat menyentuh air sungai berubah menjadi gatal.

Kondisi ini membuat masyarakat merasa ruang hidupnya telah dirampas lewat energi kotor. Dampaknya tak hanya dirasakan masyarakat saat ini saja, melainkan juga untuk jangka panjang. Secara perlahan sumber kehidupan mereka hilang, mata pencarian musnah dan hak hidup bersih terenggut.

"Di Sungai Pendia itu hulunya ada di PLTU, di hilirnya hidup para petani yang menggunakan air sungai untuk mengolah lahan sebagai sumber air bersih dan konsumsi," jelas dia.

4. Masyarakat kadang tak mengetahui air yang dikonsumsi tercemar

(Kondisi banjir bandang di kabupaten Lahat akibat sungai Lematang meluap) IDN Times/Istimewa

Kerusakan sungai merupakan petaka bagi masyarakat desa. Energi yang dihasilkan PLTU diharap memberi kehidupan lebih baik justru merusak lingkungan masyarakat Lahat.

Kondisi ini memaksa warga mengubah kebiasaan. Mereka tak lagi menggantungkan hidup pada sungai, melainkan menggali sumur sebagai sumber air baru. Meski begitu, rasa cemas tetap ada. Saat musim hujan, mereka khawatir rembesan air sungai yang tercemar masuk ke sumur.

"Terkadang terlihat bening, terkadang juga kotor. Ketika bening masyarakat terkadang menggunakannya untuk kebutuhan air minum Tapi siapa tahu ada kandungan berbahaya," jelas dia.

5. Duga ada persoalan AMDAL yang dilanggar

Banjir sungai lematang rendam lahan pertanian dan perkebunan warga (IDN Times/istimewa)

Warga bersama pegiat lingkungan sudah berusaha menyuarakan keresahan ini. Mereka belajar bersama dan menganalisis kondisi Sungai Lematang. Bahkan, beberapa protes telah dilakukan dengan menegur perusahaan yang beroperasi dan menyurati Dinas Lingkungan Hidup dan Kementerian Lingkungan Hidup guna meminta kepastian terkait kondisi sungai.

"Sungai yang tercemar membuat masyarakat kehilangan sumber kehidupan, sementara respons dari negara maupun pejabat terkait belum terasa. Padahal, PLTU merupakan usaha yang berdampak besar dan wajib mematuhi izin lingkungan atau Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)," jelas dia.

Jika perusahaan patuh dengan persoalan AMDAL maka pemerintah dapat dengan mudah menganalisis kondisi sungai tersebut. Mereka bisa melihat kondisi sungai berdasar rentang waktu sejak sebelum PLTU dibangun, masa konstruksi hingga masa operasi.

"Masalah utama bukan menutup PLTU, melainkan memastikan kepatuhan terhadap AMDAL agar dampak lingkungan bisa diminimalkan. Dugaan kerusakan lingkungan yang menyebabkan hilangnya biota air mengindikasikan ketidakpatuhan tersebut," jelas dia.

6. Jalur hukum pilihan terakhir yang akan ditempuh masyarakat

Pantai Pasir Payuputat yang terbentuk dari aliran Sungai Lematang (instagram.com/bedi_prabu)

Menurutnya, keresahan masyarakat tersebut turus disuarakan baik secara daring ataupun luring. Bukan tidak mungkin mereka akan menempuh jalur hukum lewat litigasi dengan mengonfrontasi pihak PLTU dengan kerugian yang diterima masyarakat.

"Bisa juga non-litigasi, dengan mediasi atau advokasi bersama lembaga lingkungan," jelas dia.

Bagi warga, langkah hukum ini bukan semata-mata perlawanan, melainkan jalan terakhir agar sungai yang menjadi sumber hidup bisa kembali layak digunakan.

"Semua kemungkinan termasuk menempuh jalur hukum bisa saja dilakukan ke depannya oleh masyarakat jika keluhan masyarakat tak terus ditanggapi," jelas dia.

7. Ada kerusakan hulu Sungai Musi

(Salah satu jembatan gantung yang terputus akibat sungai Lematang meluap di Muara Enim) IDN Times/istimewa

Koordinator Telapak Sumsel, Heriansyah Usman menyebutkan, pencemaran sungai di Sumsel terjadi karena banyak faktor. Kondisi ini terjadi karena pengaruh aktivitas alih fungsi lahan dari hulu ke hilir.

"Aktivitas tambang tanpa izin (ilegal), perkebunan sawit, dan pencemaran industri sangat tinggi jadi penyebab kerusakan di Sumsel," jelas dia.

Kerusakan pada hulu sungai di Sumsel sangat mengkhawatirkan. Kondisi ini dapat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat yang dilintasi sungai-sungai besar yang ada termasuk Sungai Musi yang membentang dibanyak wilayah di Sumsel.

"Air sungai di Sumsel digunakan masyarakat untuk kehidupan dan selama ini menjadi bahan baku air minum," jelas dia.

Editorial Team