Kondisi Pasar Cinde sebelum direvitalisasi (Dok: istimewa)
Pada masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Cinde sempat menjadi lokasi bertempur pejuang di Palembang melawan Belanda. Sepanjang Jalan Sudirman Palembang, terjadi pertempuran Lima Hari Lima Malam yang menjadi ikonik sejarah perang kemerdekaan di Kota Pempek.
"Kawasan Cinde itu menjadi tempat berperang antara rakyat Palembang dengan Belanda. Jalan dari Masjid Agung Palembang sampai Simpang Charitas tempat lalu lalang tentara Belanda. Mereka kerap dihadang dan ditembak oleh oleh orang-orang kita," ujar dia.
Perang Lima Hari Lima Malam pecah karena Belanda melanggar garis demarkasi yang ditentukan di kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang. Pertempuran terjadi pada 1-5 Januari 1947. Tokoh-tokoh penting dalam perang terlibat seperti Panglima Divisi Garuda II Bambang Utoyo dan Dr. A.K. Gani.
"Serdadu kita dari arah Pasar Cinde kiri maupun kanan melakukan penyerangan. Makanya di sana (dulu) ada (monumen) tank," jelas dia.
Setelah masa kemerdekaan, Palembang mulai berkembang lebih pesat. Kebutuhan akan pasar mulai meningkat. Awalnya, Kota Palembang memiliki pasar pertama yakni Pasar 16, lalu dibangun Pasar Sekanak dan selanjutnya Pasar Cinde.
Menurut Panji, Pasar Cinde memiliki kelebihan karena arsitektur yang mirip dengan pasar Johar di Semarang, yang dirancangan arsitek Herman Thomas Karsten. Bangunan Pasar Cinde dibuat meniru gaya arsitektur Herman Thomas dengan tiang-tiang Cendawan yang menjadi khas.
Pasar Cinde Palembang dibangun pada masa Wali Kota (Wako) Palembang, Ali Amin, sekitar tahun 1957-1958 oleh arsitek Abikusno Tjokrosuyoso.
"Pasar Cinde dibangun karena kebutuhan akan pasar di Palembang. Dulunya arsitek pasar Cinde meniru bentuk Cendawan Pasar Johar Semarang, jadi ada kemiripan," ungkap Kemas Ari Panji bercerita.
Pasar Cinde termasuk bangunan tua di Palembang sehingga masuk ke dalam kawasan Cagar Budaya di Palembang. "Semua bentuk Pasar Cinde itu spesial karena bentuk Cendawannya," jelas dia.