Pemeriksaan TBC terhadap penghuni Rutan Klungkung.(Dok. IDN Times/isitmewa)
Kepala Dinkes Provinsi Lampung, Edwin Rusli mengatakan, keberadaan penyakit TBC tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, sehingga bisa berisiko tinggi bagi penderita dan orang-orang di sekitar. Disebutkan, berbagai faktor penderita TBC bisa terjangkit disebabkan akibat kondisi lingkungan memprihatinkan, minimnya tingkat kesadaran masyarakat, hingga dipengaruhi gaya atau pola hidup kurang sehat.
"Kalau cara pengobatannya, jadi pengidap TBC itu tidak boleh putus minum obat selama tiba bulan, tapi rata-rata mereka tidak selesai karena kalau putus harus mulai lagi dari nol. Maka ini juga perlu kesadaran masing-masing pasien," ucapnya.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Kabid P2P) Dinkes Jabar berujar, Stigma negatif masyarakat mengenai penyakit Tuberkulosis (TBC) di Jawa Barat masih melekat. Kondisi ini membuat masyarakat yang positif enggan berobat ke dokter karena takut dijauhkan oleh lingkungan sekitarnya.
Bahkan, beberapa di antaranya takut untuk tidak bisa bergaul dengan teman-temannya, misalnya untuk kegiatan harian, seperti ikut pengajian hingga arisan.
"Banyak tidak patuh dan masih ada stigma tadi, karena misalnya saya kalau ketahuan TBC tidak diajak arisan, tidak diajak pengajian, itu. Sebenarnya harus sadar kalau TBC ya jangan arisan dulu, jangan pengajian dulu," ujar Rochady.
Menurutnya, stigma negatif ini seharusnya sudah tidak ada jika pasien mengerti prinsip dasarnya pengobatan dari penyakit ini. Dia mengatakan, pasien dengan positif TBC ini seharusnya bisa mengisolasi diri dan patuh terhadap pengobatan.
"Pasien TBC ini masuk ke program pengobatan dan paham kalau menularkan jangan bersosialisasi, sama seperti COVID-19. Sama aja. Tidak selamanya pasien TBC isolasi, ketika diperiksa dahak tidak ada kuman, ya bisa bertemu siapa saja," katanya.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Sumsel, Marsal Husnan mengatakan, TBC merupakan penyakit yang menular lewat udara, terutama saat penderita batuk atau bersin. Namun, berbeda dengan COVID-19, masa inkubasi TBC lebih lama dan tidak langsung menimbulkan gejala. Penyakit ini baru muncul bertahun-tahun kemudian, terutama jika daya tahan tubuh melemah karena malnutrisi atau penyakit penyerta lainnya.
"Kemiskinan juga menjadi faktor besar penyebaran TBC. Stres, gizi buruk, dan lingkungan yang tidak sehat memperbesar risiko penularan," jelas dia.
Salah satu tantangan terbesar penanggulangan TBC di Sumsel adalah masih kuatnya stigma di masyarakat. Banyak pasien memilih menyembunyikan penyakitnya karena takut dijauhi atau merasa malu. Bahkan, sebagian masyarakat masih menganggap TBC sebagai penyakit kutukan.
Sementara Dinas Kesehatan Provinsi NTB mengungkapkan, stigma negatif terhadap penderita TBC menjadi salah satu kendala penemuan kasus di NTB. Penderita TBC malu penyakitnya diketahui orang lain karena adanya stigma negatif di masyarakat.
"Stigma itu salah satu kendalanya. Makanya program kita lebih kepada memastikan kesehatan lingkungan, kemudian prilaku hidup bersih dan sehat, skrining kesehatan secara berkala, itu yang kita lakukan lebih kepada preventif dan promotifnya," jelasnya.
Direktur RSUD Provinsi NTB dr. Lalu Herman Mahaputra mengatakan kasus TBC di NTB seperti gunung es. Dia mengatakan masih banyak kasus TBC yang belum ditemukan. Bahkan, pria yang biasa disapa Dokter Jack ini, mengatakan penyakit TBC lebih ekstrem dari COVID-19.
"Sebenarnya penyakit TBC ink bisa sembuh, asal pasien itu rajin minum obat. Banyak pasien yang drop out karena tidak bisa disalahkan juga, varian dan jenis obat yang dikonsumsi penderita TBC ini banyak. Sehingga mereka enggan dan banyak efek samping seperti pusing, mual dan sebagainya," tuturnya.
Menurutnya, asalkan pasien TBC minum obat maka pasti akan sembuh. "Jumlah penderita TBC ini seperti fenomena gunung es yang sewaktu-waktu bisa meledak," kata Dokter Jack.
Tim Penulis:
Halbert Caniago (Padang), Dhana Kencana (Semarang), Feny Maulia Agustin (Palembang), Amir Faisol (Jakarta), Ni Komang Yuko Utami dan Ni Ketut Wira Sanjiwani (Denpasar), Rangga Erfizal (Palembang), M Iqbal (Banten), Tri Purnawati. Erik Alfian, dan Ervan Masbanjar (Kaltim), Tama Wiguna (Lampung), Juliadin JD, Muhammad Nasir (NTB).