Bahaya Tersembunyi TBC RO: Menular Diam-diam di Tengah Masyarakat

- TBC berkembang dari zaman ke zaman, terus berkembang hingga ada pasien yang mengalami resistensi obat karena perkembangan bakteri.
- Penularan kuman TBC dapat terjadi di mana saja, usia rentan seperti anak-anak di bawah lima tahun dan lansia di atas 60 tahun kerap terinfeksi.
- Faktor lingkungan turut menjadi salah satu penyebab meluasnya penyebaran TBC, Indonesia, China, dan India merupakan tiga negara dengan populasi besar yang menjadi pusat penyebaran TBC global.
Palembang, IDN Times - Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan kuman bernama Mycobacterium Tuberculosis yang menyerang paru-paru dan saluran pernapasan manusia. Penyakit tersebut menyebar melalui udara dari penderita batuk dan menyebar melalui droplet atau percikan pernapasan.
Dokter Spesialis Paru RSUD Rabain Muara Enim Rahadi Widodo mengatakan, penyakit tersebut sangat mudah menulari dari satu manusia ke manusia lain hingga ke kelompok masyarakat yang lebih besar. Penularannya yang cepat dengan masa inkubasi yang lama membuat TBC kerap muncul saat daya tahan tubuh pasien sedang lemah.
"Jadi penularannya sangat mudah. Kita bisa ketularan TBC di mana saja. Terutama di tempat-tempat yang banyak orang. Misalnya kita naik kendaraan umum di pasar, di tempat-tempat umum. Terutama ketika ada pasien-pasien TBC yang tidak disiplin menggunakan masker," ungkap Rahadi Widodo kepada IDN Times, Sabtu (14/6/2025).
1. TBC berkembang dari zaman ke zaman

Menurut Rahadi, jejak TBC ditemukan sejak zaman Mesir kuno dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Ada banyak faktor penularan TBC yang selalu menjangkiti masyarakat yakni, bakteri yang berkembang. Perkembangan TBC menjadi penelitian khusus tim medis dari waktu ke waktu dimana TBC terus berkembang hingga ada pasien yang akhirnya mengalami resistensi obat karena perkembangan bakteri.
"Ada upaya menyembuhkan TBC dengan antibiotik yang bisa memberantas kuman TBC, namun kumannya terus mengalami perkembangan. Sehingga saat ini muncul Tuberkulosis Resistensi Obat (TBC RO)," jelas dia.
Menurutnya, paparan virus TBC bisa terjadi setiap hari. Dari aktivitas luar dan dalam ruangan yang dilakukan individu. Sebarannya yang mudah melalui batuk membuat virus ini bisa membuat orang tak sadar sudah terpapar. Ketika daya tahan tubuh melemah, virus yang sudah berkembang di paru-paru aktif dan menjangkiti individu.
"Maka dari itu virus ini rentan dan terkadang muncul ketika daya tahan tubuh pasien menurun. Biasanya pasien dengan penyakit seperti kanker, HIV, dan diabetes rentan terpapar TBC," jelas dia.
2. Anak lansia rentan terpapar TBC

Dirinya menilai, penularan kuman TBC dapat terjadi di mana saja, sehingga seseorang berisiko terpapar setiap hari melalui aktivitas sehari-hari. Sumatra Selatan (Sumsel) menjadi salah satu daerah dengan jumlah kasus TBC tinggi di Indonesia. Kelompok usia rentan seperti anak-anak di bawah lima tahun dan lansia di atas 60 tahun kerap terinfeksi karena daya tahan tubuh yang lemah.
"Faktor usia menjadi salah satu penyebab seseorang lebih mudah terpapar kuman TBC, karena daya tahan tubuhnya yang rendah," jelas dia.
Upaya penelitian untuk menghadapi penyakit TBC merupakan pekerjaan jangka panjang yang terus dilakukan oleh tim medis di seluruh dunia. Harapannya, di masa mendatang TBC dapat dikendalikan melalui penemuan vaksin yang efektif, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit tersebut.
"Pasien TBC yang tidak disiplin dalam menggunakan masker berisiko menularkan penyakit kepada orang lain. Karena itu, kesadaran untuk mematuhi imbauan dokter dan petugas medis sangat penting agar penularan dapat ditekan," ungkap dia.
3. Negara berkembang masih survive menghadapi TBC

Selain itu semua, faktor lingkungan turut menjadi salah satu penyebab meluasnya penyebaran TBC. Beberapa negara maju di Eropa dan Amerika bisa menekan angka penyebaran virus di wilayahnya. Sementara di negara berkembang dan miskin virus ini menjadi momok untuk diatasi.
Lingkungan tempat tinggal yang padat penduduk, minim ventilasi, serta kurang pencahayaan alami menjadi salah satu faktor utama yang memperbesar risiko TBC. Menurut Rahadi, rumah-rumah yang tidak memenuhi standar kesehatan seperti kurangnya sirkulasi udara dan sinar matahari memudahkan kuman TBC bertahan di udara lebih lama.
"Kalau rumahnya tertutup, tidak ada jendela, sirkulasi udara buruk, maka kuman TBC bisa terus berputar di dalam ruangan. Sebaliknya, di tempat terbuka atau dengan sirkulasi udara baik, kuman lebih cepat hilang karena terbawa angin dan terkena sinar matahari,” jelas dia.
Menurutnya, Indonesia, China, dan India merupakan tiga negara dengan populasi besar yang menjadi pusat penyebaran TBC global. Hingga saat ini, perkembangan ilmu kedokteran belum mampu sepenuhnya menghentikan penyebaran penyakit tersebut, melainkan baru sebatas pada tahap pengobatan.
"Obat-obatan memang terus berkembang, tetapi kuman TBC dapat membentuk strain atau varian yang kebal terhadap obat, sehingga ada kasus TBC yang tidak mempan lagi dengan pengobatan standar," ungkapnya.
4. TBC RO kian meluas dari waktu ke waktu

Rahadi menjelaskan, dalam beberapa kasus yang ditanganinya mulai banyak kasus TBC RO yang terjadi di masyarakat. Kondisi ini dapat menyebabkan orang lain terpapar varian baru yang menyebabkan kuman resisten obat.
"Resisten obat ini cukup banyak di Sumsel dan terus bertambah jumlahnya. Awalnya mereka ini pernah terkana TBC terus kambuh lagi dan menulari orang lain," jelas dia.
Mereka yang mengidap TBC RO tersebut sekarang umumnya orang yang terpapar dari pasien yang sebelumnya pernah menjalani pengobatan TBC. Alhasil, mereka harus menjalani pengobatan khusus yang lebih lama lantaran kondisi resistensi obat yang ada.
"Sekarang kebanyakan pasien TBC ketularan dari orang lain yang TBC RO. Artinya di masyarakat itu masih ada tersembunyi pasien yang belum ketahuan. TBC RO tetap bisa diobati tetapi memang obatnya berbeda dengan TBC biasa," ungkap dia.
Untuk pengobatan TBC RO, pihaknya menyarankan pasien untuk menjalani pemeriksaan di rumah sakit daerah. Pasien dengan TBC RO tidak bisa lagi menjalani perawatan dengan hanya berkonsultasi dengan puskesmas sebagai faskes tingkat pertama yang menangani TBC.
"Mereka yang terpapar TBC RO perlu pengobatan berbeda dan pengawasan lebih ketat dan pengobatannya berbeda," jelas dia.
5. Tantangan tim medis menghalau stigma yang berkembang

Rahadi menjelaskan, penanganan TBC masih dihadapkan dengan tantangan besar salah satunya adalah rendahnya kesadaran masyarakat dan pengaruh stigma terhadap penderita. Tantangan mengedukasi masyarakat terus dilakukan terlebih soal pentingnya pengobatan yang harus ditempuh pasien TBC.
"Hal yang sulit justru memberikan edukasi kepada masyarakat agar sadar akan pentingnya deteksi dan pengobatan TBC," jelas dia.
Kerja tim medis bertambah berat dengan munculnya stigma di masyarakat terhadap pasien TBC. Dirinya menyebut stigma itu menjadi kontraproduktif yang memunculkan ketakutan dan penolakan. Bahkan, ada kasus pasien yang marah ketika didatangi petugas puskesmas karena takut diketahui mengidap TBC.
“Stigma ini membuat pasien enggan berobat. Padahal kalau mereka menolak diperiksa, penyakitnya justru menyebar ke orang lain," jelas dia.