Ilustrasi - Mahasiswa BEM SI menggelar demo menolak PPN 12 Persen di Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024). (Dok. Istimewa)
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) NTB, Lalu Iswan Muliadi menilai, pembebasan PPh pasal 21 merupakan akal-akalan pemerintah untuk meredam penolakan kenaikan PPN 12 persen.
"Kita berterima kasih kalau pemerintah peduli. Cuma implementasinya sesuai ekspektasi atau tidak. Jangan itu cuma lipstik doang untuk meredam penolakan kenaikan PPN 12 persen itu dimunculkan pembebasan PPh 21," kata Iswan.
Iswan menegaskan KSPN menolak kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang mulai berlaku Januari 2025. Menurutnya, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan membuat buruh atau pekerja semakin terpuruk. Dia mengatakan pembebasan PPh 21 sebagai subsidi silang kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tidak akan bisa membantu buruh atau pekerja.
"Kayak revisi PP 35 Tahun 2021, ribut-ribut, diubahlah. Tapi endingnya gak ada. Jadi memang di serikat pekerja harus ekstra untuk memperjuangkan nasib buruh," ujarnya.
Iswan menyatakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada 2025 menjadi Rp2,6 juta lebih, belum memenuhi kebutuhan hidup layak para butuh atau pekerja. Dengan kondisi inflasi yang terjadi saat ini, upah sebesar Rp2,6 juta yang mulai berlaku tahun depan belum mencukupi kebutuhan sehari-hari para buruh dan pekerja.
Apalagi dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang mulai berlaku Januari 2025, menurutnya kondisi para buruh di NTB akan semakin terpuruk. Idealnya, kata Iswan, upah layak yang diterima buruh atau pekerja di NTB sekitar Rp3,5 juta sampai Rp4 juta per bulan.
Senada, Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia Konfederasi Serikat Nasional (FPSBI KSN), Johanes Joko Purwanto menilai, pembebasan PPh pasal 21 sebagai keputusan ambigu sekaligus akal-akalan pemangku kebijakan.
"Kebijakan ambigu, ini cuma manis-manis di bibir saja. Ini yakin negara mau ambil (pembebasan PPh Pasal 21)? kalau memang mau dihapuskan ya hapuskan saja, jangan modus kalau ini negara yang bayar pajaknya. Omong kosong itu," ujarnya.
Joko mempertanyakan peruntukan penerapan kebijakan pembebasan PPh Pasal 21 diiringi penerapan kenaikan PPN 12 persen. Menurutnya, langkah ini dikatakan sama sekali tidak menyelesaikan tuntutan kesejahteraan bagi para buruh maupun kelompok pekerja berpenghasilan rendah.
Joko turut meyakini, biaya PPh Pasal 21 sebelumnya ditanggung oleh masing-masing pekerja dan akan diambil alih atau dibebaskan oleh pemerintah pada tahun mendatang, tidak akan masuk atau ditunaikan pihak perusahaan dalam pembayaran gaji pekerja.
Di lain pihak, buruh Sumsel sama sekali tidak akan menikmati pembebasan PPh pasal 21 tersebut, karena tidak ada industri padat karya di tiga sektor yang terdampak. Ketua DPC Federasi Serikat Buruh Niaga Informatika Keuangan Perbankan dan Aneka Industri (FSB Nikeuba) Sumsel Hermawan mengatakan, sektor padat karya di Sumsel bergerak di bidang industri pertanian, perkebunan, konstruksi, pertambangan, dan perhotelan.
Hermawan menjelaskan, tiga sektor yang mendapatkan insentif pembebasan PPh 21 di tahun 2025 bukan lah sektor industri yang menjadi tulang punggung ekonomi di Sumsel. Keberadaanya pun dinilai tidak begitu banyak lantaran industri besar yang ada disini banyak berfokus di perkebunan, pertanian dan pertambangan.
"Dari tiga sektor yang mendapat insentif hanya furniture yang kelihatan ada produksinya. Tetapi tidak banyak," jelas dia.
Hermawan menyebutkan, langkah pemerintah membebaskan PPh pasal 21 harus diberikan tanpa embel-embel apa pun. Kenaikan PPN 12 persen, akan berdampak pada kenaikan kebutuhan pokok dan beban hidup dari kelas pekerja.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel, Sumarjono Saragih mengatakan, industri yang masuk dalam sektor padat karya di Sumsel didominasi oleh industri perkebunan dan pengelolaan hasil perkebunan. Hanya saja insentif yang diberikan tidak berdampak langsung untuk mereka yang berada di sektor padat karya Sumsel.
Apindo pun mempertanyakan langkah pemerintah menaikan pajak menjadi 12 persen. Menurutnya, selain pekerja, pengusaha yang membayar gaji turut merasakan dampak kenaikan ini. Hasilnya daya beli masyarakat akan menurun. Kenaikan pajak seharusnya menjadi cara pemerintah melakukan transparansi penggunaan pajak. Hal ini dilakukan agar efisiensi kenaikan pajak tak mempengaruhi kondisi perekonomian masyarakat.
"Tujuan menaikkan pajak adalah untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, sebelum itu dilakukan, pemerintah harus memastikan pengelolaan APBN bebas dari kebocoran dan penggunaan anggaran dilakukan dengan efisien," ungkap Sumarjono.
Sumarjono mengatakan, pihaknya mendukung kenaikan pajak jika sebelumnya diimbangi dengan langkah reformasi birokrasi dan penataan pengelolaan APBN. Pihaknya menilai, selama ini tata kelola pajak banyak yang tak sesuai peruntukan.
"Pemerintah harus memastikan setiap rupiah dari pajak digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk kegiatan seremonial yang tidak penting," jelas dia.
Pengamat Ekonomi Sumatra Selatan (Sumsel) Yan Sulistyo berujar, pembebasan PPh 21 bagai pisau bermata dua, yang bisa menyebabkan PHK massal dan menambah pengangguran. Menurutnya, kebijakan PPh 21 tidak adil, karena potongan PPh 21 ini ditanggung wajib pajak pribadi atas pekerjaan dan jasa.
"Tujuannya kan (PPh21) untuk menjaga daya beli di tengah kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai), tetapi dilihat secara mikro ini tidak seimbang. Menunjukkan bahwa harmonisasi ekonomi kita tidak stabil," jelas dia.
Yan menyampaikan, kondisi ekonomi yang tidak stabil berdampak terhadap perkembangan wilayah secara makro. Setelah, kebijakan benar-benar terealisasi dan menunjukkan harmonisasi ekonomi tak stabil, dipastikan investor ragu untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah.
"Kalo PPh tidak diterapkan di industri kecil, tentu ancaman PHK akan terjadi investor bisa saja hengkang dan iklim ekonomi tidak kondusif," katanya.