Akal-Akalan Bebas PPh Pasal 21, Jurus Semu Negara Redam PPN 12 Persen

- Hanya tiga jenis industri yang mendapatkan pembebasan PPh pasal 21, yakni industri tekstil, sepatu, dan furniture alias mebel.
- Pembebasan PPh pasal 21 hanya dinikmati segelintir warga, sementara kenaikan PPN 12 persen ditanggung seluruh rakyat.
- Pemerintah dianggap tebang pilih dan menciptakan potensi diskriminasi terhadap PPh pasal 21 yang tidak merata.
IDN Times - Pemerintah membebaskan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 untuk pekerja yang bergerak di sektor padat karya mulai 1 Januari 2025. Pembebasan tarif PPh bakal diberikan kepada pekerja sektor padat karya dengan gaji maksimal Rp10 juta per bulan. Pemerintah mengklaim, langkah ini untuk melindungi daya beli kelas menengah, yang akan terdampak oleh kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2025.
Meski pemerintah menyebutkan untuk sektor padat karya, nyatanya hanya tiga jenis industri yang mendapatkan pembebasan PPh pasal 21 ini, yakni industri tekstil, sepatu, dan furniture alias mebel.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto berujar, kebijakan tersebut merupakan imbas kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen. Dua kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Realitanya, pembebasan pajak dinilai tebang pilih, tak dapat dirasakan oleh sebagian besar buruh di daerah. Harmonisasi pajak terkesan hanya sekadar isapan jempol, bagai jurus meredam kemarahan warga imbas PPN naik 12 persen yang gagal dilancarkan.
1. Potensi terjadinya diskriminasi, imbas bebas pajak tak bisa dirasakan kebanyakan warga

Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) berpendapat, seharusnya kebijakan pembebasan PPh ditujukan untuk semua pekerja/buruh di semua sektor, bukan hanya di sektor tertentu. Kondisi yang ada dinilai akan membuat ketimpangan, di mana pekerja atau buruh di sektor lain yang tidak tercakup oleh kebijakan ini, merasa kurang dihargai atau tertinggal dalam hal pengurangan beban pajak.
“Pembebasan pajak ini hanya berlaku untuk pekerja di sektor padat karya, yang mungkin tidak mencakup pekerja/buruh di sektor-sektor lain dengan kondisi ekonomi yang serupa. Sehingga kebijakan ini juga berpotensi mengakibatkan diskriminasi,” tegas Koordinator MPBI DIY, Irsyad Ade Irawan.
Irsyad mengatakan, ada defisit ekonomi yang dialami oleh buruh di DIY. Berdasarkan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) MPBI DIY pada Oktober 2024, upah yang diterima buruh disebut lebih rendah dari pengeluaran.
Irsyad menyebut kondisi tersebut akan berulang, lantaran upah minimum provinsi dan upah minimum sektoral yang baru ditetapkan untuk 2025, nominalnya masih lebih rendah dari KHL pada tahun 2024 yang mencapai Rp3,7 juta–Rp4 juta per bulan. Kondisi buruh juga akan semakin berat dengan kenaikan PPN, daya beli akan berkurang, berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Padahal pembebasan PPh dapat membantu perekonomian keluarga buruh, dengan tambahan penghasilan bersih (karena PPh dibebaskan). Keluarga pekerja/buruh dapat memenuhi kebutuhan yang lebih baik, seperti pendidikan, kesehatan, dan konsumsi lainnya.
“Oleh karena itu, sebaiknya Pembebasan PPh diterapkan kepada semua pekerja/buruh,” ungkap Irsyad.
Di balik langkah pemerintah memberikan pembebasan PPh 21 untuk pekerja sektor padat karya, banyak pekerja yang berharap bisa mendapatkan pembebasan tersebut karena gajinya masih berada di bawah 10 juta. Salah satunya adalah Setia, wanita 32 tahun yang bekerja di Bandung ini merasa tidak adil ketika pemerintah hanya memberikan potongan untuk sektor padat karya.
"Gaji saya masih di bawah 10 juta, kantor saya juga orangnya hanya sedikit, jadi tidak bisa dapat pembebasan potongan dong? Harusnya ya sama saja dapat, kan gajinya sama belum tinggi," ujar Setia.
Sebagai perempuan yang sudah menikah dan punya satu anak, memang selama ini dia mendapatkan potongan gaji tanpa tanggungan. Potongan gaji PPh pasal 21 per bulan bisa di atas Rp100 ribu. Uang sebesar ini jelas akan cukup bermanfaat ketika pemerintah juga memberikan pembebasan kepada seluruh pekerja yang gajinya di bawah Rp10 juta, termasuk dirinya.
Hal senada disampaikan Ade (40). Salah satu pekerja di lembaga pendidikan ini menyebut bahwa pembebasan pajak penghasilan seharusnya dilakukan seluruhnya untuk siapapun yang selama membayar pajak ke pemerintah. Apalagi bagi pekerja yang gaji di bawah Rp10 juta memang sudah selayaknya dibebaskan dari PPh 21 meski nominalnya tidak terlalu besar.
Menurutnya, pemerintah jangan hanya memilih memberikan bantuan untuk pekerja sektor padat karya saja. Sebab, banyak juga pekerja non-sektor tersebut yang harus dibantu apalagi ketika nantinya ada penerapan kenaikan PPN yang bisa berdampak pada banyak barang yang dibeli masyarakat.
Serupa diungkap Manda Risma pekerja restoran di Palembang, Sumatra Selatan, yang awalnya sempat senang mendengar ada rencana pemberian pembebasan PPh 21. Hanya saja, setelah mengetahui PPh tersebut tak melingkup seluruh sektor dirinya kecewa. Pasca COVID-19 industri restoran masih berjalan naik dan turun mengikuti perkembangan ekonomi. Belum lagi upah yang naik tak sesuai dengan kehendak pekerja sehingga membuat mereka harus bertahan dengan segala himpitan yang ada.
"Belum biaya pendidikan anak yang juga harus dipikirkan dengan kenaikan yang ada. Jika PPh tidak menyentuh seluruh sektor industri sebaiknya jangan ada juga kenaikan-kenaikan lain yang membebani," jelas dia.
Dewan Kehormatan Organisasi Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) Divre III Palembang, Muhammad Ajadilah mengatakan, pembebasan PPh 21 di sektor Padat Karya sangat disayangkan tidak diberikan kepada seluruh sektor. Dirinya sependapat bahwa dampak dari kenaikan PPN 12 persen akan dirasakan seluruh kelas menengah.
"Pemberian stimulus ekonomi insentif PPh 21 DTP merupakan langkah konkrit kebijakan pemerintah dalam menyusun skala prioritas, namun terlepas dari tiga sektor tersebut pemerintah diharapkan mengkalibrasi ulang apakah ada sektor yang dampaknya sama yang juga harus menjadi skala prioritas," jelas dia.
Menurutnya, kebijakan ini akan lebih berdampak secara luas jika pemerintah turut mengeluarkan anggaran untuk sektor lainnya. Kondisi ini dinilai akan memberikan stimulus agar ekonomi masyarakat terus berputar.
"Kalau kita bicara padat karya, sepemahaman kami banyak lagi selain tiga sektor tersebut, sehingga kebijakan stimulus ekonomi dari pemerintah ini biarpun membutuhkan anggaran yang cukup besar tetapi juga wajib memberikan dampak besar juga bagi masyarakat maupun pekerja," jelas dia.
2. Pembebasan PPh 21 dinilai hanya akal-akalan untuk meredam penolakan PPN 12 persen

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) NTB, Lalu Iswan Muliadi menilai, pembebasan PPh pasal 21 merupakan akal-akalan pemerintah untuk meredam penolakan kenaikan PPN 12 persen.
"Kita berterima kasih kalau pemerintah peduli. Cuma implementasinya sesuai ekspektasi atau tidak. Jangan itu cuma lipstik doang untuk meredam penolakan kenaikan PPN 12 persen itu dimunculkan pembebasan PPh 21," kata Iswan.
Iswan menegaskan KSPN menolak kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang mulai berlaku Januari 2025. Menurutnya, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan membuat buruh atau pekerja semakin terpuruk. Dia mengatakan pembebasan PPh 21 sebagai subsidi silang kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tidak akan bisa membantu buruh atau pekerja.
"Kayak revisi PP 35 Tahun 2021, ribut-ribut, diubahlah. Tapi endingnya gak ada. Jadi memang di serikat pekerja harus ekstra untuk memperjuangkan nasib buruh," ujarnya.
Iswan menyatakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada 2025 menjadi Rp2,6 juta lebih, belum memenuhi kebutuhan hidup layak para butuh atau pekerja. Dengan kondisi inflasi yang terjadi saat ini, upah sebesar Rp2,6 juta yang mulai berlaku tahun depan belum mencukupi kebutuhan sehari-hari para buruh dan pekerja.
Apalagi dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang mulai berlaku Januari 2025, menurutnya kondisi para buruh di NTB akan semakin terpuruk. Idealnya, kata Iswan, upah layak yang diterima buruh atau pekerja di NTB sekitar Rp3,5 juta sampai Rp4 juta per bulan.
Senada, Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia Konfederasi Serikat Nasional (FPSBI KSN), Johanes Joko Purwanto menilai, pembebasan PPh pasal 21 sebagai keputusan ambigu sekaligus akal-akalan pemangku kebijakan.
"Kebijakan ambigu, ini cuma manis-manis di bibir saja. Ini yakin negara mau ambil (pembebasan PPh Pasal 21)? kalau memang mau dihapuskan ya hapuskan saja, jangan modus kalau ini negara yang bayar pajaknya. Omong kosong itu," ujarnya.
Joko mempertanyakan peruntukan penerapan kebijakan pembebasan PPh Pasal 21 diiringi penerapan kenaikan PPN 12 persen. Menurutnya, langkah ini dikatakan sama sekali tidak menyelesaikan tuntutan kesejahteraan bagi para buruh maupun kelompok pekerja berpenghasilan rendah.
Joko turut meyakini, biaya PPh Pasal 21 sebelumnya ditanggung oleh masing-masing pekerja dan akan diambil alih atau dibebaskan oleh pemerintah pada tahun mendatang, tidak akan masuk atau ditunaikan pihak perusahaan dalam pembayaran gaji pekerja.
Di lain pihak, buruh Sumsel sama sekali tidak akan menikmati pembebasan PPh pasal 21 tersebut, karena tidak ada industri padat karya di tiga sektor yang terdampak. Ketua DPC Federasi Serikat Buruh Niaga Informatika Keuangan Perbankan dan Aneka Industri (FSB Nikeuba) Sumsel Hermawan mengatakan, sektor padat karya di Sumsel bergerak di bidang industri pertanian, perkebunan, konstruksi, pertambangan, dan perhotelan.
Hermawan menjelaskan, tiga sektor yang mendapatkan insentif pembebasan PPh 21 di tahun 2025 bukan lah sektor industri yang menjadi tulang punggung ekonomi di Sumsel. Keberadaanya pun dinilai tidak begitu banyak lantaran industri besar yang ada disini banyak berfokus di perkebunan, pertanian dan pertambangan.
"Dari tiga sektor yang mendapat insentif hanya furniture yang kelihatan ada produksinya. Tetapi tidak banyak," jelas dia.
Hermawan menyebutkan, langkah pemerintah membebaskan PPh pasal 21 harus diberikan tanpa embel-embel apa pun. Kenaikan PPN 12 persen, akan berdampak pada kenaikan kebutuhan pokok dan beban hidup dari kelas pekerja.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel, Sumarjono Saragih mengatakan, industri yang masuk dalam sektor padat karya di Sumsel didominasi oleh industri perkebunan dan pengelolaan hasil perkebunan. Hanya saja insentif yang diberikan tidak berdampak langsung untuk mereka yang berada di sektor padat karya Sumsel.
Apindo pun mempertanyakan langkah pemerintah menaikan pajak menjadi 12 persen. Menurutnya, selain pekerja, pengusaha yang membayar gaji turut merasakan dampak kenaikan ini. Hasilnya daya beli masyarakat akan menurun. Kenaikan pajak seharusnya menjadi cara pemerintah melakukan transparansi penggunaan pajak. Hal ini dilakukan agar efisiensi kenaikan pajak tak mempengaruhi kondisi perekonomian masyarakat.
"Tujuan menaikkan pajak adalah untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, sebelum itu dilakukan, pemerintah harus memastikan pengelolaan APBN bebas dari kebocoran dan penggunaan anggaran dilakukan dengan efisien," ungkap Sumarjono.
Sumarjono mengatakan, pihaknya mendukung kenaikan pajak jika sebelumnya diimbangi dengan langkah reformasi birokrasi dan penataan pengelolaan APBN. Pihaknya menilai, selama ini tata kelola pajak banyak yang tak sesuai peruntukan.
"Pemerintah harus memastikan setiap rupiah dari pajak digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk kegiatan seremonial yang tidak penting," jelas dia.
Pengamat Ekonomi Sumatra Selatan (Sumsel) Yan Sulistyo berujar, pembebasan PPh 21 bagai pisau bermata dua, yang bisa menyebabkan PHK massal dan menambah pengangguran. Menurutnya, kebijakan PPh 21 tidak adil, karena potongan PPh 21 ini ditanggung wajib pajak pribadi atas pekerjaan dan jasa.
"Tujuannya kan (PPh21) untuk menjaga daya beli di tengah kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai), tetapi dilihat secara mikro ini tidak seimbang. Menunjukkan bahwa harmonisasi ekonomi kita tidak stabil," jelas dia.
Yan menyampaikan, kondisi ekonomi yang tidak stabil berdampak terhadap perkembangan wilayah secara makro. Setelah, kebijakan benar-benar terealisasi dan menunjukkan harmonisasi ekonomi tak stabil, dipastikan investor ragu untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah.
"Kalo PPh tidak diterapkan di industri kecil, tentu ancaman PHK akan terjadi investor bisa saja hengkang dan iklim ekonomi tidak kondusif," katanya.
3. Momok menakutkan PPN 12 Persen, hantui perekonomian warga

Harga sejumlah produk manufaktur di Jawa Tengah akan mengalami lonjakan yang signifikan menyusul adanya pemberlakuan kenaikan PPN sebesar 12 persen mulai awal 2025. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah menyebutkan naiknya PPN tahun depan akan mempengaruhi semua harga jual pakaian, barang elektronik, tekstil produk tekstil (TPT) seperti sepatu, mobil dan kendaraan bermotor.
"Harga pakaian, mobil, sepatu juga naik. Bisa naik antara 9-10 persen itu. Bisa ada tambahan sekian daripada harga," kata Ketua Apindo Jateng Frans Kongi.
Ia mengatakan kenaikan PPN sebesar 12 persen memang terlalu tinggi. Kondisinya justru memberatkan masyarakat karena daya beli selama ini tidak kunjung membaik. Yang dikhawatirkan ketika PPN benar-benar dinaikan 12 persen, katanya kemungkinan akan terjadi penumpukan barang di gudang pabrik karena daya beli masyarakat menjadi lesu.
"Jadi itu terlalu tinggi. Lagian daya beli masyarakat kan gak naik. Ya kalau harga manufakturnya naik tapi daya belinya gak naik yang terjadi ialah penumpukan barang di gudang pabrik. Akibatnya biaya produksi kita jadi naik. Akhirnya kita jadi stop produksi lalu karyawan dirumahkan," terangnya.
Kekhawatiran kenaikan PPN 12 persen ini pun muncul di kalangan pekerja penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas tunanetra Agustinus Tamsar (23) di Medan khawatir, PPN 12 persen akan memberatkan kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas. Terutama karena keterbatasan dalam memperoleh pekerjaan yang layak.
Meskipun ada beberapa kebijakan untuk mendukung, seperti pelatihan kerja bagi para penyandang disabilitas. Namun, menurut Agus, seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
“Misalnya pelatihan yang diberikan adalah menjahit, sedangkan disabilitas itu kan ada banyak. Seperti saya sendiri adalah tunanetra. Tentu saya tidak bisa mengikuti pelatihan (menjahit) itu,” ujar mahasiswa semester 7 Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara (USU) ini.
Agustinus berharap agar pemerintah tidak hanya sekedar memberikan pelatihan. Akan tetapi, lebih selektif dalam melihat apa yang menjadi kebutuhan penyandang disabilitas. Artinya, pemerintah seharusnya lebih tepat sasaran bagi para disabilitas. Dia menyoroti Undang-Undang (UU) yang mewajibkan perusahaan baik pemerintah maupun swasta untuk memberikan kesempatan pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
Sekretaris DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sulawesi Selatan, Taufik mengatakan,kenaikan PPN berpotensi memicu kenaikan harga barang dan biaya produksi, yang pada akhirnya tetap membebani buruh meskipun ada pembebasan pajak.
Selain itu, buruh juga mengkritik kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebesar 6,5 persen yang dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Meski sekarang naik 6,5 persen, namun itu belum menutupi dampak stagnasi upah selama ini.
"Kita ketahui kenaikan 6,5 persen itu memang sebenarnya masih kurang. Karena 5 tahun terakhir pasca adanya Omnibus Law, itu kenaikan upah buruh bahkan 1-2 persen aja. Tidak sama seperti 5 tahun sebelumnya," katanya.
Taufik menegaskan, kenaikan upah seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan hidup layak sesuai amanat Mahkamah Konstitusi. Namun, kenyataannya banyak buruh masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, apalagi dengan tren kenaikan harga barang.
4. Efek domino PPN 12 persen, risiko besar bagi perekonomian

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky mengatakan, tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan.
"Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan," ucapnya.
Selain itu, ada juga efek distribusi dari kenaikan PPN dapat membebani rumah tangga berpenghasilan rendah secara tidak proporsional. Meskipun masyarakat berpenghasilan rendah membelanjakan sebagian kecil dari pendapatan mereka untuk barang dan jasa yang dikenai pajak.
"Pengalaman terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan biaya hidup akan sangat membebani rumah tangga ini. Skenario ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan," tuturnya.
Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga akan berdampak pada sisi daya saing, terutama di sektor-sektor seperti pariwisata. Kenaikan tarif PPN dapat menghalangi pengunjung internasional yang menganggap Indonesia kurang hemat biaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah.
"Situasi ini juga dapat mempengaruhi investasi asing karena investor sering mencari daerah dengan lingkungan pajak yang lebih menguntungkan," tegas Riefky.
Sementara itu terjadi juga peningkatan biaya produksi yang terkait dengan PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia di pasar global.
Ekonom Universitas Sriwijaya Sukanto menyebut, rencana PPN 12 persen bisa memicu kondisi ekonomi makin lesu. Hal tersebut dapat menggerus jumlah masyarakat kelas menengah atas, dan kondisi kelas menengah ke bawah bakal bertambah. Kalangan atas yang semula mulai stabil, bisa kembali lagi menjadi calon masyarakat kelas menengah, akibat adanya kenaikan PPN ini.
Dia menggambarkan investasi di Sumatra Selatan (Sumsel) bakal merosot jika penerapan PPN 12 persen benar-benar terealisasi. Apalagi katanya, dengan kenaikan PPN ini, dibebankan terhadap pengusaha atau perusahaan.
"Akan berdampak turunnya margin perusahaan, dan ujungnya akan membuat perputaran uang perusahaan terganggu," jelasnya.
Apabila dilihat dari sisi makro, kenaikan PPN menjadi 12 persen diprediksi tidak memengaruhi skala signifikan. Minimum hanya berpengaruh senilai 0,4 persen terhadap perekonomian.
"Kita sudah pengalaman kenaikan PPN 10 persen ke 11 persen seperti sebelumnya, secara makro dampak ekonominya relatif kecil," kata dia.
Sementara Pengamat Politik dan Kebijakan Publik di Universitas Sumatra Utara (USU) Fernanda Putra Adela, mengatakan untuk menghadapi kebijakan kenaikan PPN ini masyarakat cenderung menahan diri untuk bertindak konsumtif. Harapannya daya beli masyarakat yang menurun akan membuat pemasukan dari PPN juga akan menurun.
Dengan demikian, katanya, pemerintah akan sadar kebijakan menaikan PPN malah tidak menguntungkan bagi pemerintah. Karena pembelian barang elektronik, sepeda motor, mobil, perabot rumah tangga , barang fashion, makanan olahan kemasan, dan lainnya menurun.
“Dengan demikian pemerintah bisa bercermin dan setidaknya pada tahun mendatang bisa menurunkan PPN kembali ke 11 persen atau 10 persen. Jika tidak begitu, pemerintah tidak akan sadar dan akan kembali membuat kenaikan PPN tahun berikutnya,” tegas Fernanda.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Padjadjaran Ferry Hardiyanto mengatakan, penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen tahun depan memang akan dirasakan oleh seluruh orang yang berbelanja. Artinya baik mereka yang selama ini bekerja di sektor padat karya, sektor formal, maupun informal akan sama merasakan dampaknya.
5. Warga harus patuh bayar pajak, pemerintah klaim tetap lindungi hak masyarakat

Menteri Tenaga Kerja Yassierli saat datang ke Medan, Senin (23/12/2024) mengatakan dengan kebijakan PPN 12 persen, Kemenaker tetap melindungi hak para pekerja.
“Penerapan PPN 12 persen itu merupakan amanat undang-undang, jadi bapak Presiden Prabowo menjalankan amanat undang-undang tersebut. Jadi dari 10 persen naik ke 11 persen dan naik menjadi 12 persen. Tapi kita sadar kita sudah beberapa kali rapat kita sedang dalam kondisi yang sulit. Makanya pemerintah keluar dengan insentif fiskal," kata Yassierli.
Pemerintah telah melakukan langkah sebagai mitigasi guna melindungi hak para pekerja seiring penerapan PPN. Yakni dengan memberikan insentif.
"Terkait ketenagakerjaan ada tiga insentif pertama adalah pembebasan pajak atau PPh sampai Rp 10 juta. Kedua soal insentif penerima JKP jadi bagi orang yang kehilangan pekerjaan kemudian akan menerima insentif," kata Yassierli.
Untuk sektor industri padat karya, pemerintah kata Yassierli juga mengeluarkan insentif pajak penghasilan dengan penghasilan Rp10 juta. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban perusahaan dan juga para pekerja.
"Kemudian bantuan terhadap industri padat karya dimana ada pengurangan besaran iuran JKK sebesar 50 persen selama 6 bulan," lanjutnya.
Yassierli pun mengklaim penerapan PPN 12 tetap memerhatikan berbagai aspek termasuk ketenagakerjaan.
“Menurut saya kita sudah perjuangkan aspek ketenagakerjaan dan ini hasil yang sudah luar biasa kesepakatan kita dengan menteri keuangan dan menteri ekonomi," tutupnya.
Sementara dari aturan pembebasan PPh 21 yang bertujuan meningkatkan daya beli berdasarkan rencana kenaikan PPN 12 persen, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
"Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," kata dia.
Dwi menambahkan tidak semua barang dikenakan pajak 12 persen karena tetap ada barang yang bebas PPN, barang dan jasa tersebut berupa kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Sementara itu sektor jasa yang tidak dikenakan PPN yakni jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum.
"Sedangkan barang lainnya yang tidak dikenakan PPN yakni buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya," jelas dia.
Sementara itu, Kepala Bapenda Jateng, Nadi Santoso mengimbau walau tahun depan ada kenaikan PPN, sebaiknya masyarakat tetap taat membayar pajak.
"Saya imbau masyarakat tetap patuh membayar pajak. Karena pendapatan dari pajak kendaraan bermotor dan mobil memang berkontribusi paling besar terhadap PAD Jateng. Makanya harapan kami apapun kondisinya warga tetap bayar pajak," tuturnya.
Tim Penulis: Indah Permata Sari (Sumut), Fariz Fardianto (Jateng), Ashrawi Muin (Sulsel), Muhammad Nasir (NTB), Herlambang Jati Kusumo (DIY), Tama Wiguna (Lampung), Debbie Sutrisno (Jabar), Rangga Erfizal dan Feny Maulia Agustin (Sumsel).