"Ngomong oi men dak galak ngenjuk duit (ngomong dong kalau tidak mau kasih uang) dari awal, p***t (kata umpatan)," kata pengamen berkaos putih, yang segera berlalu meninggalkan tempat kami duduk.
Palembang, IDN Times - Lontaran kata-kata kasar tersebut membuat jalan-jalan santai reporter IDN Times di pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) berubah mengesalkan. Padahal, kami sengaja datang ke ruang publik di Kota Pempek ini, untuk menikmati senja di salah satu destinasi wisata populer ini, Senin (6/10/2025).
Saat pertama kali tiba, sorot mata langsung tertuju ke Tugu Belido. Di sana, matahari pelan-pelan turun ke arah Sungai Musi membuat gelombang sungai tampak lebih tenang dari pantulan cahaya matahari. Melangkah perlahan, tampak orang-orang berjalan santai. Ada yang berfoto di dekat tulisan “Benteng Kuto Besak”, ada pula yang sekadar duduk hanya untuk menatap Jembatan Ampera yang gagah di kejauhan.
Menengok ke sisi dinding bangunan BKB, terlihat juga Beberapa gerobak UMKM berdiri berdampingan, memamerkan kuliner khas Palembang. Bahkandi pelataran yang mengarah ke Sungai Musi, hadir warung terapung di atas kapal. Meski terlihat bergoyang, aroma pempek menyeruak kuat dari sana.
Berbagai makanan asli Bumi Sriwijaya pun dijajakan dengan harga terjangkau. Suasana mendung, teduh beriringan semilir angin, ikut mendukung pengalaman santai mengitari tempat umum yang kerap dijadikan area utama berbagai event lokal maupun nasional.
Tetapi, di bawah langit berawan, suasana tiba-tiba tak nyaman nyaris mencekam. Bukan karena kisah misteri atau legenda horor, melainkan ada perasaan mengganjal.
Sekilas, BKB terasa tenang, namun di balik aroma Sungai Musi yang kuat, terselip hiruk pikuk preman berkedok pengamen. Kala menikmati jajanan kaki lima di sisi area, situasi mendadak waswas. Sebab ada mata yang memerhatikan dari jauh. Pelan-pelan, seorang pengamen mendekat.
Awalnya hanya bernyanyi dengan suara lirih, menemani wisatawan menikmati pemandangan di pelataran BKB. Namun usai lagu selesai, penyanyi jalanan ini justru melontarkan kata-kata kasar. Seolah membelah suasana yang tadinya damai terasa menakutkan.
Bernyanyi serampangan, sambil memetik gitar tanpa kunci nada seirama. Semula dibiarkan, lama-lama karena suara makin terdengar tak sopan, ada hak wisatawan memilih menolak dan meminta menghentikan lantunan.
Memohon dengan nada pelan sembari mengatakan, "Maaf ya," ucap reporter IDN Times, seraya memberi gestur penolakan. Tetapi, justru sikap tersebut berimbas makian dan sumpah serapah.
Kondisi ini bukan soal mau atau tidak memberi pengamen, karena urusan memberi merupakan hak masing-masing personal. Tetapi reaksi penolakan yang dilontarkan para pengamen inilah, yang membuat warga lokal pun malas datang ke BKB, apalagi turis. Pikiran awal yang terlintas dan terpendam di benak saat tiba di lokasi ini adalah "Aman gak ya ke sini?".