Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di Indonesia

Kehadiran etnis Tionghoa tak mudah hingga diterima sekarang

Palembang, IDN Times – Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting bagi warga Tionghoa. Perayaan tahun baru Imlek dimulai pada hari pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-15. Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun”.

Pada tahun ini, Imlek jatuh pada 9 Februari 2024. Tahun baru China dikaitkan dengan tanda binatang menurut siklus zodiak China atau lebih dikenal shio. Pada 2024 menjadi simbol shio naga kayu.

Perayaan Imlek juga disambut dengan berbagai persiapan, mulai dari pembersihan vihara dan klenteng sebagai tempat ibadah, penyajian makanan khas, hingga menyiapkan angpao yang akan dibagikan saat kumpul keluarga untuk berbagi rejeki. Perayaan Imlek pun tak cuma dirayakan oleh warga etnis Tionghoa. Berbagai suku dan kalangan turut merasakan euforia Imlek, seperti berbagi kue hingga silaturahmi untuk memberi ucapan kepada mereka yang merayakan.

Bagaimana bisa budaya sejauh 8.408 kilometer bisa masuk dan bercampur dengan budaya lokal di Indonesia. Seperti apa sejarah Imlek atau kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara? Bagaimana bentuk akulturasi budaya dan wujud peninggalannya? Atau, bagaimana etnis Tionghoa bisa bertahan di era yang menentang kehadiran mereka hingga kini? Simak liputan kolaborasi dari delapan Hyperlocal IDN Times di berbagai daerah.

Baca Juga: Cheng Hoo, Masjid yang Berdiri dari Donasi Berbagai Etnis dan Agama

1. Sempat dilarang karena dituding berafiliasi partai komunis

Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di Indonesiailustrasi orang tua mengajarkan aksara Tionghoa kepada anak-anak (istockphoto.com/AsiaVision)

Puluhan tahun yang lalu, perayaan Imlek ternyata tidak dapat dilakukan dengan bebas seperti saat ini. Imlek sempat dilarang pada masa Orde Baru. Perayaan tahun baru Imlek di sempat dilarang tampil di muka umum selama tahun 1965-1998

Pada masa orde baru, pemerintah membatasi berbagai tradisi dan aktivitas kebudayaan China, termasuk di dalamnya soal Imlek. Instruksi Presiden (Inpres) nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang ditandatangani Pejabat Presiden Soeharto saat itu.

Alasannya, pemerintah meragukan nasionalisme keturunan China pasca Gerakan 30 September 1965. Meski sudah tinggal di Indonesia beberapa abad lalu, mereka masih dicurigai masih berkaitan dengan Republik Rakyat China (RRC), khususnya Partai Komunis China (PKC). Pelarangan budaya keagamaan Tionghoa di era Order Baru mengakibatkan generasi muda mereka tidak lagi bisa merayakan Imlek, dan tidak mengetahui kapan Tahun Baru China atau Imlek.

Namun perayaan Imlek diizinkan lagi pada masa reformasi, tepatnya di masa pemerintahan Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid. Gusdur melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 6 tahun 2000 pada 18 Januari 2000, menyatakan Inpres sebelumnya tidak berlaku lagi.

Etnis Tionghoa maupun masyarakat yang merayakan Imlek tak perlu membutuhkan izin untuk mengekspresikan berbagai aspek kepercayaan, tradisi, maupun kebudayaan mereka. Imlek pun menjadi hari  libur nasional Indonesia. Keputusan ini diperkuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 19 tahun 2002 pada 9 April 2002.

Imlek pun resmi dijadikan sebagai hari libur nasional. Ikut merayakan Tahun Baru Imlek dinilai memberikan kebahagiaan yang tidak berbeda saat Idul Fitri bersama umat Muslim dan Natal bersama umat Nasrani. Sejak saat itu, Hari Raya Imlek dirayakan sebagai hari libur nasional di seluruh daerah Indonesia.

Jauh sebelum kemerdekaan, perayaan Imlek pernah menjadi hari libur resmi melalui keputusan Osamu Seirei nomor 26 pada 1 Agustus 1943 di masa pendudukan Jepang. Keputusan itu merupakan penetapan hari libur resmi Imlek pertama di Indonesia. Kebijakan itu masih terus berlangsung hingga masa awal kemerdekaan. Bahkan, Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat, bahwa bendera kebangsaan China boleh dikibarkan setiap Imlek.

Baca Juga: China Benteng Wujud Keberhasilan Akulturasi di Tangerang

Awal mula berlangsungnya Imlek atau Tahun Baru China diyakini terjadi pada zaman Dinasti Shang pada 1600-1046 Sebelum Masehi (SM), atau sekitar 3.500 tahun yang lalu. Warga di sana mengadakan upacara pengorbanan untuk menghormati dewa dan leluhur setiap awal serta akhir tahun.

Peristiwa tersebut juga menjadi ritual untuk mempersembahkan korban kepada leluhur atau dewa, sekaligus menyembah alam sambil memberkati hasil panen di pergantian tahun. Sejarah Imlek yang dimulai pada era Dinasti Shang diwarnai dengan cerita legenda terkait serangan monster bernama Nian, monster kejam bergigi taring, pemakan hewan ternak, hasil bumi, sampai manusia. Warga setempat percaya cara untuk mencegah serangan Nian adalah menghidangkan beberapa makanan di setiap pintu rumah.

Sama halnya cerita leluhur bangsa Tiongkok yang menyebut monster Nian takut dengan suara keras seperti petasan dan hal-hal berwarna merah. Oleh sebab itu, orang-orang mulai memasang lentera merah dan gulungan kertas merah di setiap jendela serta pintu rumah.

Perayaan Imlek pun makin populer di era Dinasti Han pada 202 SM - 220 M. Tradisi yang paling dikenal kala itu adalah membakar bambu untuk membuat suara retakan yang keras. Pada tahun yang sama, Dinasti Han menetapkan tanggal Tahun Baru China atau Festival Musim Semi berdasarkan kalender Lunar Tiongkok.

Rangkaian festival Imlek pun mulai bervariasi, seperti memasuki era Dinasti Wei dan Jin (220-420). Ritualnya tidak hanya upacara pengorbanan pada leluhur, namun kegiatan membersihkan rumah, makan bersama, sampai acara hiburan.  Kegiatan Tahun Baru Imlek justru semakin meriah pada era Dinasti Tang hingga Qing karena perekonomian yang membaik.

Baca Juga: Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?

2. Awal kedatangan bangsa China ke Nusantara

Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di IndonesiaKlenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok kawasan Pecinan Kota Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Penulis Benny G Setiono di buku Tionghoa dalam Pusaran Politik menulis bahwa Fa Hian seorang pendeta atau biksu mengunjungi Pulau Jawa pada 399-414 Masehi. Saat itu dia dalam perjalanan menuju India, kemudian diikuti oleh Sun Yun dan Hwui Ning dalam perjalanan ziarah pula. Catatan perjalanan lain yang memperlihatkan eksistensi Nusantara dalam ekspedisi bangsa China adalah yang ditulis oleh I Tsing pada 671 Masehi.

Pendeta I-Tsing berangkat dari Canton menuju Nalanda di India. Dalam perjalanan dari India, ia singgah di Shih Li Fo Shih atau diidentifikasi sebagai Sriwijaya oleh arkeolog dan sejarawan George Coedes. Dalam catatan perjalanan I-Tsing atau Yi Jing, pendeta Buddha sohor asal Tiongkok, menyebutkan bila dia datang di Sriwijaya pada 651.

I-Tsing menetap beberapa bulan untuk mempelajari bahasa Sansekerta. Dari catatan I-Tsing pula eksistensi Kerajaan Sriwijaya diperkuat yang dikenali dalam prasasti tertua Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang, Sumatra Selatan (Sumsel). Sejumlah catatan sejarah itu menginspirasi para penjelajah China untuk mendatangi Nusantara.

Salah satu penjelajah China yang kemudian memiliki pengaruh besar dalam perkembangan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Laksamana Cheng Ho sejak pemerintahan Dinasti Ming di bawah Kaisar Cheng Tsu (1403-1424). Sebenarnya ada tujuh ekspedisi besar yang dilakukan di seluruh dunia. Salah satunya yang dipimpin oleh Sam Po atau Cheng Ho.

Ia berhasil mengunjungi Palembang, Sumsel, membawa ratusan pekerja Tionghoa termasuk sejumlah besar orang Muslim Yunan. Setelah berhasil menduduki Palembang, Cheng Ho membangun komunitas Muslim Tionghoa pertama di Indonesia. Kemudian sejumlah masyarakat Muslim Tionghoa secara berturut-turut dibangun di berbagai tempat di Indonesia, antara lain, Batavia, Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik, dan Mojokerto. Inilah awal tumbuhnya komunitas Muslim Tionghoa di Indonesia. 

Sejumlah catatan sejarah itu memperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa sudah ada sejak lama dan menjadi bagian penting dalam terbentuknya masyarakat Indonesia di masa depan.

Baca Juga: Etnis Cina Masuk ke Sumut dalam Tiga Gelombang Besar

Sejarawan Kota Medan, Ichwan Azhari, menjelaskan bahwa ada tiga gelombang besar migran China ke Nusantara. Yakni, pertama era kuno, seperti yang ada di beberapa situs sejarah kuno seperti di Kota China, Bulu China, Pulau Kampai, juga di situs Bongal Tapteng dengan jurusan waktunya abad ke 5-16. Hingga saat ini tidak ada terlihat lagi jejaknya.

Kemudian era kerajaan seperti yang ada di Labuhan Deli, saat abad 17 hingga 18. Selanjutnya di era perkebunan, tepatnya akhir abad 19 sampai awal abad 20. Sedangkan keberadaan untuk migran era kerajaan telah lebur dengan migran era perkebunan.

Sejak dahulu kala, etnis Tionghoa datang karena didasari berdagang dan bekerja. Secara singkat, Ichwan menjelaskan bahwa penyebaran etnis Tionghoa dan hingga akhirnya melatarbelakangi mereka menetap di daerah adalah dengan berdagang. Kemudian, untuk mereka bisa mengenalkan budaya Tionghoa kepada penduduk lokal, khususnya warga yang memegang prinsip primordialisme dengan cara bekerja sebagian kecil berdagang.

“Tidak ada bukti mereka mengenalkan budaya cina (bahasa, pakaian, arsitektur, agama, dan lain-lain) ke penduduk lokal, kecuali kuliner, seperti tauco, belacan, kecap, dan mi,” jelasnya.

Sejarawan Lampung, Arman AZ menjelaskan, ada beberapa sumber arsip arkeologi untuk mendeteksi kapan datangnya masyarakat Tionghoa ke Bumi Ruwa Jurai. Ia menelisik tempat-tempat ibadah tertua warga Tionghoa yang ada di Lampung.

“Misalnya menelusuri sejarah lewat tempat ibadah tertua masyarakat Tionghoa. Seperti Vihara Thay Hin Bio yang menjadi vihara tertua di Bandar Lampung menurut sumber resmi Kemenag Lampung. Kita bisa cek arkeologi dari sana,” jelasnya.

Selain itu ada arsip tulisan, foto, atau peta. Misalnya seperti tulisan salah satu tokoh Pers Indonesia, Tirto Adi Suryo, yang dibukukan pada 1900-an. Tirto mengatakan kehadiran masyarakat Tionghoa di Lampung menjadi buruh perkebunan di Lampung.

“Kemudian dari aspek peta juga pernah ditemukan pada peta Teluk Betung 1906. Di sana terdapat tulisan chinese camp di sekitar wilayah Tanjung Karang. Sementara menurut arsip foto tertua yang beredar di internet, juga ada sekelompok masyarakat Tionghoa di daerah Waylima Kedondong Pesawaran,” jelasnya.

Rohaniawan Vihara Thay Hin Bio di Lampung, Viriya Parama, mengatakan vihara di tempatnya berdiri pada 1896. Berawal dari ditemukannya arca Bodhisattva atau yang dikenal secara umum dengan Dewi Kwan Im.

“Setelah terjadi letusan Gunung Krakatau pada 1883, terjadi banjir di Teluk Betung sampai ke arah Polda lama. Setelah mulai surut airnya, arca ini mengapung kemudian diambil oleh orang keturunan Tionghoa,” ujarnya.

Arca Dewi Kwan Im itu kemudian ditaruh di altar rumah warga Tionghoa di sana. Semakin lama, rumah warga Tionghoa tersebut terus didatangi banyak orang yang hendak melihat arca tersebut.

“Jadi mungkin karena merasa privasinya terganggu, akhirnya didirikan cetya atau vihara kecil dan arca tersebut ditaruh di sana. Kemudian di lokasi saat ini dibangun lah Vihara Thay Hin Bio pada 1896 yang masih beroperasi sampai saat ini,” kata Viriya.

Baca Juga: Sejarah Etnis Tionghoa di Kalbar, dari Penambang Emas hingga Pembisnis

3. Datang berdagang atau menjadi pekerja

Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di Indonesiailustrasi budaya Tionghoa di Kampung Ketandan (instagram.com/Yogyakarta)

Motif kedatangan warga China ke Nusantara memang beragam. Jika di Sumut karena menjadi pekerja perkebunan dan berdagang, lalu di Sriwijaya atau Palembang karena ingin belajar hingga menyebarkan agama. Maka penyebaran etnis Tionghoa di Tanah Borneo menjadi pekerja tambang. Sama halnya yang terjadi di Pulau Bangka.

Seorang Sejarawan Pontianak, Syarifudin Usman, menceritakan kisah warga Tionghoa saat masuk ke tanah Borneo atau Kalimantan Barat. Syarifudin memaparkan pada 1866 seorang pengamat yang menyaksikan pertambangan emas menulis orang Tionghoa menguasai hampir semua cabang industri di Borneo. Hanya melalui mereka, para penguasa asing dari negeri jauh dapat memanen hasil kekayaan.

Warga Borneo menyebut imigran asal China sebagai Tionghoa Parit atau dalam Bahasa Banjir sebagai Cina Parit, karena komunitas suku Tionghoa mendiami daerah sungai Parit di Pelaihari, Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Sebutan Tionghoa Parit ini juga biasa ditujukan kepada pekerja imigran penambangan timah yang datang ke Pulau Bangka.

Sejarawan Didi Kwartanada mengungkapkan, kedatangan Tionghoa ke Nusantara pada awal abad ke-5 Masehi. Namun baru pada 1415 sudah mulai banyak orang Tionghoa datang karena hubungan dagang.

Semakin banyak pula orang Tionghoa dari Mongol yang tak pulang dan menetap di Indonesia. Hampir seluruh orang Tionghoa tidak membawa istrinya saat hijrah ke Indonesia, mengingat larangan seorang perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka yang datang ke Nusantara akhirnya menikahi sejumlah perempuan Indonesia, dan membuahkan peranakan Indonesia-Tionghoa. Atau yang kini lebih dikenal dengan Chindo.

Mereka yang sudah menetap dan beranak pinak pun membaur dengan bahasa, makanan, pakaian, dan agama di Indonesia. Di Indonesia pula, mereka giat sekali bekerja seperti bertani, berdagang, dan lain sebagainya. Bahkan orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia juga sangat dekat dengan raja-raja dan keraton Jawa. Banyak juga yang diberi gelar bangsawan oleh raja Jawa dan dinikahkan dengan putri keraton.

Baca Juga: Sejarah Kampung Kapitan Awal Wilayah Kekuasaan Etnis Tionghoa

4. Memiliki jabatan dan bergelar Kapitan

Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di IndonesiaKampung Kapitan Palembang (Instagram/pariwisata.palembang)

Kampung Kapitan Palembang yang berada di kawasan 7 Ulu merupakan salah satu lokasi sejarah peranakan etnis Tionghoa di Bumi Sriwijaya. Kini rumah kayu dua tingkat tersebut sudah menjadi Cagar Budaya. Keberadaan Kampung Kapitan di tepian Sungai Musi Palembang jadi wilayah strategis bagi perantau Tionghoa. Sebab dahulu kala, mereka menetap di sana untuk beristirahat atau jadi markas pelayar asal Tiongkok.

"Sejarahnya, Kampung Kapitan ini dijadikan markas dan tempat peristirahatan para pelayar dari Cina. Mereka melakukan bisnis perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya," ujar Hulubalang Kampung Kapitan Palembang, Karim.

Berdiri sejak awal abad ke-17, rumah tersebut pertama kali dibangun seorang Mayor bernama Tjoa Kie Tjuan yang diteruskan oleh keturunannya. Sampai sekarang bangunan ini masih berdiri kokoh di Kecamatan Seberang Ulu 1.

"Dulu di sini jadi wilayah perdagangan. Belanda mempercayakan kepada seorang Mayor atau Kapitan untuk menjaga jalur laut (Sungai) lewat perdagangan dan menarik pajak," kata keturunan Tjoa Kie Tjuan ke-14, Mulyadi.

Ketika keturunan kedua Tjoa Kie Tjuan, Tjoa Ham Ling, diangkat menjadi Kapitan atau Kapten selanjutnya, secara cepat lokasi itu dikenal sebagai Kampung Kapitan dan menjadi titik orang Tionghoa bersinggah untuk berdagang.

Mereka dipercaya untuk mengawasi pajak. Awalnya pemerintahan Belanda memberikan wilayahnya karena merasa khawatir terhadap golongan keturunan China di Palembang. Namun seiring perkembangannya, masyarakat China kemudian menjadi perantara perdagangan dan mendapatkan posisi istimewa dalam pemerintahan Belanda.

Kampung Ketandan di Jogja juga tak bisa dipisahkan dengan sosok Tan Jin Sing, Kapiten Tionghoa kelahiran Kedu yang menjadi pelopor tokoh komunitas Tionghoa di Kampung Ketandan. Tan Jin Sing menetap di Jogja pada 1803-1813. Tan Jin Sing adalah Bupati Nayoko 1 keturunan Tionghoa pada 18 September 1813. Hal inilah yang membuat sosok Tan Jin Sing bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.  

Gelar tersebut juga membuat Tan Jin Sing menjadi salah satu dari tiga keturunan Tionghoa dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, yakni Trah Secodiningrat. Sedangkan dua keturunan lain adalah Trah Kartodirjo dan Trah Honggodrono.

Nama ‘Ketandan’ mempunyai asal muasal yang menarik karena berhubungan dengan peran pemungut pajak masyarakat Tionghoa untuk Keraton Yogyakarta. Ketandan berasal dari kata ‘Tondo’ yang menjadi ungkapan untuk pejabat penarik pajak atau pejabat tondo yang diberi wewenang langsung pada etnis Tionghoa oleh Sultan Hamengkubuwono.

Hal ini menandakan keberadaan komunitas Tionghoa sebagai salah satu penggerak ekonomi di Yogyakarta. Komunitas Tionghoa di Yogyakarta mulai diakui sejak masa pemerintahan Sultan HB VII, yakni sekitar abad 19 Masehi dengan berdirinya Kampung Ketandan yang merupakan pusat pemukiman Pecinan di masa penjajahan Belanda. 

Baca Juga: Cerita Warga Tionghoa di Pecinan Semarang, Kenalkan Tradisi Junjung Toleransi

5. Berbagai bentuk kulturasi etnis Tionghoa dan peninggalannya

Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di IndonesiaWarga tionghoa di Singkawang yang menjadi tatung di acara Cap Go Meh. (IDN Times/Teri).

Warga etnis Tionghoa lainnya yang tiba di Nusantara juga menetap, membuat komunitas baru, lalu hidup bersama penduduk lokal kala itu. Aktivitas masyarakat etnis Tionghoa pun berkembang, hingga memberi banyak kontribusi dan peran besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Masyarakat Tionghoa yang bermukim dan menjadi koloni mampu beradaptasi kemudian terjadi akulturasi. Nenek moyang mereka yang datang ke Nusantara juga membawa dan mengenalkan budaya mereka kepada penduduk lokal; cara beribadah, makanan dan minuman, serta pola hidup sehari-hari.

Etnis Tionghoa yang ada di Provinsi Banten, bermukim tak jauh dari aliran Sungai Cisadane yang berhulu di Bogor dan bermuara di Teluk Naga, bagian utara Tangerang. Dalam sebuah jurnal yang ditulis Euis Thresnawaty S dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung dan dimuat di laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), diterangkan bahwa satu sumber menyebut kedatangan orang China Benteng sudah berlangsung dari abad 15.

"Mayoritas komunitas China Benteng berasal dari Suku Hokkian yang umumnya bermata pencaharian petani, pedagang, nelayan, dan ahli perkebunan. Mereka telah turun temurun menjadi petani atau buruh tani dan tidak ada perbedaan yang mencolok dengan penduduk pribumi setempat karena pada umumnya mereka sama miskinnya," kata Euis dalam jurnal berjudul Sejarah Sosial-Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota Tangerang (2015).

Kelompok China Benteng memiliki keunikan, karena interaksi dan cara hidup sudah sangat mirip dengan pribumi. Meski begitu, mereka tidak pernah menghilangkan beberapa tradisi leluhur seperti Pehcun dan Ciotao.

"Pengaruh kehidupan masyarakat China Benteng yang utama adalah menyadarkan kaum Tionghoa dan pribumi melalui contoh keharmonisan yang sesungguhnya diharapkan oleh kedua belah pihak," tulis Euis.

Menurut Euis, dengan melihat kisah China Benteng, maka anggapan negatif terhadap etnis Tionghoa dapat diredam, nilai-nilai positif yang mendidik dari China Benteng dapat diangkat.

"Kekukuhan masyarakat China Benteng dalam menjaga tradisi leluhur merupakan aktualisasi penghargaan, penghormatan, sekaligus ketakutan akan leluhur mereka yang diyakini selalu menjaga, melindungi, dan dekat dengan keseharian hidup mereka," katanya.

Budayawan Tionghoa Surabaya, Freddy H Istanto, menjelaskan jika hidup bersama dan terlibat dalam segala aspek warga Tionghoa dan penduduk lokal memunculkan akulturasi budaya antara masyarakat Surabaya asli dengan Tionghoa. Termasuk juga dalam bahasa. 

"Salah satu ciri khas Tionghoa Surabaya, adalah dialek pasar Atom-an. Yaitu bahasa perpaduan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Surabaya-an. Seperti 'lu jok gitu' artinya kamu jangan begitu, ada juga 'beli baju ne ndik mana,' artinya beli baju dimana dan lain-lain," tutur dia. 

Dialek-dialek 'Cino Suroboyo' bahkan mampu membenamkan istilah-istilah tinggalan Belanda seperti Om dan Tante. Panggilan dan tutur 'Cino Suroboyo' tak sekadar panggilan. Warga Chindo yang berparas Tionghoa namun berucap dengan aksen Jawa menasbihkan akulturasi.

Tak cuma bahasa. Kuliner Pempek yang melegenda asal Palembang pun, muncul karena peran warga etnis Tionghoa. Sebelum dikenal sebagai Pempek, makanan itu disebut Kelesan di masa Kerajaan Palembang Darussalam ketika masih dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin II. Lafal kelesan bermula dari kata Keles atau Dikeles yang berarti bisa disimpan lama. Penyebutan kelesan untuk pempek biasa digunakan di Rumah Limas, rumah adat Palembang yang ditempati para bangsawan di masa kesultanan.

Kelesan atau pempek pertama kali dibuat oleh orang Palembang yang kemudian dititipkan ke perantau Tionghoa dengan panggilan Empek atau Apek yang berarti Kakak atau Paman. Sebutan pempek berasal dari sapaan pembeli kepada si penjual kelesan.

"Dalam bahasa Cina, empek atau apek ini panggilan untuk memanggil paman. Seiring waktu panggilan Pek, empek jadi lebih tenar dan dikenal luas sebagai pempek dan bertahan sampai sekarang," ujar sejarawan Palembang, Kemas Ari Panji.

Kelesan yang dititipkan kepada apek pertama kali dijajakan di Masjid Agung dan Masjid Lama Palembang pada 1916. Waktu itu, bahan pembuatan pempek dari ikan Belida. Namun karena ikan Belida nyaris punah, pempek saat ini kebanyakan dari ikan tenggiri.

"Pempek dulu dijual kampung ke kampung. Apek menjajakannya berjalan kaki dan sering dijual di kawasan keraton, daerah Masjid Agung sekarang," ucapnya.

Baca Juga: Pempek Bukti Eksistensi Perantau Etnis Tionghoa di Palembang

6. Masa berat di era Order Baru hingga Reformasi

Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di IndonesiaDekorasi pernikahan selebriti tionghoa 2023 (instagram.com/tinatoon101instagram.com/chengiovanis)

Era Orde Baru (Orba) menjadi masa yang berat bagi warga keturunan Tionghoa di Indonesia termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tekanan oleh rezim di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto memberangus kebebasan warga Tionghoa, dari seni budaya hingga pendidikan.

Salah satu saksi sejarah saat itu yang juga warga keturunan Tionghoa, Jimmy Sutanto, menceritakan kondisi Jogja masa Orba saat itu sama dengan daerah lainnya, di mana aktivitas orang keturunan Tionghoa dibatasi.

"Tahun 1966 itu saya sudah 21 tahun. Sudah dewasa, Jogja seperti tempat lain, sekolah Tionghoa tutup, organisasi tutup semua," ujar Ketua I Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) itu, Jumat (2/2/2024).

Saat usia 21 tahun itu, Jimmy masih menjadi pengajar di sekolah Tionghoa. Ia pun menjadi saksi ketika sekolah itu dihentikan aktivitasnya. Disebutnya saat itu sekolah tersebut diambil alih oleh ABRI.

Tidak hanya sekolah yang dihentikan saat itu. Ia mengingat bahwa organisasi masyarakat keturunan Tionghoa juga dibubarkan saat ini. "Ada kantor bantu pengusaha, ada sekretariat bantu pajak dan sebagainya. Kemudian ada kliniknya, setelah Gestok (Gerakan Satu Oktober) tutup semua," ujar Jimmy.

Jimmy juga mengungkapkan saat itu kegiatan seni budaya, kemudian kegiatan perayaan seperti Imlek juga dilarang. "Klenteng Poncowinatan mau diperbaiki gak boleh. Nama-nama Tionghoa suruh ganti," cerita Jimmy.

Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Lampung, Christian Chandra, mengatakan keluarganya sejak beberapa generasi telah lahir dan besar di Provinsi Lampung. Sehingga ia sempat merasakan diskriminasi orang Tionghoa pada zaman Orde Baru saat itu pergerakan sangat dibatasi. 

“Zaman Orde Baru itu memang sangat jelas ya (diskriminasi terhadap warga Tionghoa), karena ada peraturannya. Salah satu isinya etnis Tionghoa tidak boleh tinggal di kota, harus di daerah (kabupaten). Gara-gara itu sampai banyak yang akhirnya pulang lagi ke China,” ujarnya.

Pergerakan orang Tionghoa zaman Orde Baru juga berdampak pada aspek sosial dan pendidikan anak-anak. Semua sekolah khusus Tionghoa ditutup, adanya pelarangan penggunaan bahasa dan aksara Mandarin, sampai larangan menggunakan nama China.

“Jadi anak-anak pada zaman itu hampir semua tidak bisa bahasa Mandarin, termasuk saya yang sampai sekarang tak bisa Mandarin. Orangtua gak bisa bicara atau ngajarin ke anaknya. Menulis aksara juga tidak boleh, bahkan penggunaan nama China juga gak boleh, harus pakai nama Indonesia,” jelasnya. 

Secara pribadi, Chandra sangat menyayangkan hal tersebut. Padahal dewasa ini, memiliki kemampuan berbahasa asing termasuk Mandarin sangat diperlukan. Namun budaya turun-temurun tersebut harus terputus karena kebijakan pemerintah.

“Seharusnya kita bisnis dengan Tiongkok bisa enak, tapi sekarang sudah susah karena kita gak bisa bahasanya. Sayang sekali,” imbuhnya.

Jimmy melanjutkan jatuhnya rezim Order Baru tak membuat kondisi etnis Tionghoa langsung membaik. "Kita bentuk arisan Bakti Putra itu saja langsung ditanya polisi. Pada 1998 meski Orba sudah jatuh, yang mundur Soeharto, yang lain-lain masih," kata Jimmy.

Menurut Jimmy ada proses untuk penerimaan warga keturunan Tionghoa pasca Orba. Berdasarkan pengakuan Chandra, etnis Tionghoa baru bisa bernapas lega setelah  Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Presiden ke-4 RI. Salah satu kebijakannya adalah membebaskan orang Tionghoa merayakan Imlek dan memeluk agama Konghucu.

“Zaman Gus Dur kan kita boleh Imlekan lagi dan oleh bu Mega diperkuat dengan adanya tanggal merah. Kalau sebelum itu jangankan ada libur imlek, untuk merayakannya saja dilarang,” imbuhnya.

Baca Juga: Jimmy Jadi Saksi Masa Berat Warga Keturunan Tionghoa di Era Orba

Setelah masa reformasi, peninggalan dan budaya etnis Tionghoa berkembang pesat. Tak cuma dimiliki bagi etnis Tionghoa itu sendiri, tapi oleh masyarakat banyak. Rumah-rumah peninggalan etnis Tionghoa dikembangkan, dan masjid bergaya arsitektur China juga banyak berdiri. Adapula kawasan pecinan yang berdiri sejak ratusan tahun lalu makin ramai dikunjungi sebagai destinasi wisata.

Misalnya, Rumah Abu Han di Jalan Karet Nomor 72, Surabaya. Pemiliknya seorang keturunan Tionghoa. Sang empunya rumah, Han Bwee Koo bukan sosok sembarangan. Ia adalah seorang kapiten alias petinggi warga Tionghoa di masa kolonial. Rumah itu didirikan sebagai tempat sembahyang keluarga Han.

Rumah Abu Han dirawat oleh ahli warisnya bernama Robert Han. Ia adalah keturunan ke sembilan dari Han Bwee Koo. Robert Han mengatakan, keturunan Han Bwe Koo memang cukup banyak, namun hanya dia yang memiliki passion mengurus rumah tua. “Selain passion, saya melihat moyang saya membangun itu dengan susah payah,” kata dia kepada IDN Times, Minggu (29/10/2023).

Robert bercerita, pada era Orde Baru rumah tersebut sempat akan diratakan dengan tanah. Jalan Karet, Gula dan Kopi dulu rencananya akan dibuat sebuah kawasan superblok. Segala upaya kemudian dilakukan Robert agar Rumah Abu Han tetap kokoh berdiri. Ia bahkan sampai menggandeng sejumlah universitas.

Usahanya terbayar.Pada era Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, rumah tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya. Lalu, pada era Wali Kota Eri Cahyadi, rumah tersebut dipercantik. Kini, Rumah Abu Han pun kerap menjadi tempat kunjungan wisatawan mancanegara.

Sedangkan Kampung Ketandan Jogja dikenal sebagai destinasi wisata dengan arsitektur Tionghoa yang memukau. Arsitektur ini mencerminkan keindahan dan kekayaan budaya China yang menarik di tengah-tengah budaya Yogyakarta yang kuat dan masa penjajahan Belanda. Nama ‘Ketandan’ mempunyai asal muasal yang menarik karena berhubungan dengan peran pemungut pajak masyarakat Tionghoa untuk Keraton Yogyakarta.

Ketandan berasal dari kata ‘Tondo’ yang menjadi ungkapan untuk pejabat penarik pajak atau pejabat tondo yang diberi wewenang langsung pada etnis Tionghoa oleh Sultan Hamengkubuwono. Hal ini menandakan keberadaan komunitas Tionghoa sebagai salah satu penggerak ekonomi di Yogyakarta. Komunitas Tionghoa di Yogyakarta mulai diakui sejak masa pemerintahan Sultan HB VII, yakni sekitar abad 19 Masehi dengan berdirinya Kampung Ketandan yang merupakan pusat pemukiman Pecinan di masa penjajahan Belanda. 

Jika sedang bertandang di Medan, Sumatra Utara, ada Museum Kotta Cinna di Jalan Kota Cinna yang menyimpan 3.000 koleksi benda sejarah. Benda-benda yang tampak di dalam museum ini yakni prasasti-prasasti tua, fosil hewan kuno, koin-koin yang digunakan oleh pedagang China sebagai alat transaksi perdagangan kala itu hingga kayu-kayu bekas kapal kuno dan lainnya.

"Benda-benda yang menjadi koleksi museum ini berasal dari peninggalan situs Kotta Cinna, peninggalan Benteng Putri Hijau dan juga peninggalan Hamparan Perak Bulu Cinna," ujar pengelola museum, Tika, kepada IDN Times.

Peninggalan budaya Tionghoa lainnya bisa dijumpai di Masjid Ceng Ho. Meski bukan bagian dari sejarah lampau, namun bangunan tersebut bergaya arsitektur China. Masjid Ceng Ho yang sudah banyak tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Surabaya dan Palembang, justru dikelola oleh warga etnis Tionghoa yang menjadi mualaf.

Mereka menjadikan Masjid Ceng Ho sebagai tempat beribadah dan pusat dakwah. Tak sedikit warga dari luar kota sengaja datang untuk beribadah, atau menjadikannya sebagai destinasi wisata religi. Akulturasi budaya Arab dengan kaligrafi dan China lewat corak dan warna bangunan, menjadi magnet warga berbondong-bondong datang.

Artikel kolaborasi ditulis oleh Herlambang Jati Kusumo dan Lathiva (Jogja), Arifin Al Alamudi dan Indah Permata Sari (Sumut), Feny Maulia Agustin (Sumsel), Rohmah Mustaurida (Lampung), Tri Purnawati (Kaltim), Muhammad Iqbal (Banten), Vanny El Rahman dan Khusnul Hasana (Jatim).

Baca Juga: Menjelajah Distrik Pecinan, Bertandang ke Masa Lalu

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya