Palembang, IDN Times - Dari ruang sederhana di sudut Kota Palembang, Sherlly Novresta menatap serius komputer tabletnya seraya mengikuti pelatihan Pertamina UMK Academy 2025. Sebelum memerhatikan seksama berbagai materi di laman Learning Management System (LMS), Sherlly baru saja menyelesaikan produk tas bermakna.
"Dari pola jadi karya," kata Sherlly yang sudah merajut wastra khas Sumatra Selatan (Sumsel) sejak usia belia.
Kira-kira pekan ketiga Oktober, IDN Times sengaja berkunjung kediaman Sherlly sekaligus pabrik homemade berbagai tas wastra dari limbah perca. Jalan Swadaya Pakjo, jadi saksi usaha dan kerja kerasnya membangun jenama Niketo. Kata Sherlly, setiap kain punya cerita mewujudkan warisan budaya.
"Sudah dari SD belajar menjahit dan merajut berbagai kain untuk dibuat jadi produk," jelasnya.
Seraya menunjukkan berbagai kelas yang ia ikuti dalam Pertamina UMK Academy 2025, Sherlly siang itu fokus mempelajari program go digital. Ia menyampaikan, go digital mengajarkan agar usahanya naik kelas dan bisa menjangkau merek mendunia hingga dikenal global hanya dalam satu genggaman, digitalisasi.
"Terbaru produk tas khas Sumsel dari wastra lokal yang bisa dibuat paling cepat 3 hari dan paling lama bisa sebulan," kata dia.
Sempat menyaksikan kesibukan Sherlly menjahit potongan-potongan perca dengan benang baru di atas meja kayu yang mulai aus, berbagai wastra dari songket, blongsong, tenun jumputan, hingga blongket berserakan di sisi mesin jahit. Di sana tampak keuletan seorang perempuan merajut, menelusuri pola dan menyulam cerita dari sisa kain yang dulu dianggap tak berharga.
"Perca-nya dapet dari garmen, dibeli dengan harga terjangkau. Tapi tetap lihat kondisi apakah layak atau tidak (perca). Jadi kebanyakan yang dipabrik itu barang setengah reject yang masih bagus. Saya pilah yang terbaik," ujarnya.
Jemari Sherlly bergerak lincah, menciptakan limbah pabrik garmen menjadi wastra baru kian berkilau. Hasil perpaduan itu melahirkan tas-tas etnik yang tak hanya indah, melainkan membawa kisah tentang sejarah tradisional dan karya kearifan lokal.
"Setiap jahitan adalah doa kecil. Saya ingin orang tahu dari sesuatu yang tersisa, kita bisa menciptakan barang baru berharga," ujar Sherlly sambil menunjukkan salah satu karyanya.
Melihat ritme dan alunan tangannya menari di atas mesin jahitan, Sherlly bisa menyelesaikan karyanya dengan segera jika tingkat kesulitan tak terlalu rumit. Tetapi tidak jarang, ia harus lebih bersabar karena harus menuntaskan pekerjaannya hingga berbulan-bulan. Sebab, semua jahitan itu ia kerjakan manual tanpa mesin ukuran besar.
Dia menjual karyanya mulai dari harga ratusan ribu sampai paling mahal Rp2 juta untuk satu produk. Produk tas etniknya pertama terjual pada tahun 2020 dibeli oleh wisatawan Aceh. Sebelum tas, sebenarnya Sherlly sudah menjahit berbagai karya mulai dari boneka Aesan Gede, kotak pensil, dan berbagai aksesori manual sejak masih berada di tingkat Sekolah Dasar (SD).
"Dulu jahitnya manual tanpa mesin, saya baru 2019 bisa pakai mesin. Alhamdulillah justru pas zaman Covid-19, (usaha) makin berkembang. Selain garmen bahan dasar juga dari limbah kain tenun yang diambil dari Seberang Ulu kawasan Tuan Kentang," kata dia.
Usai mesin jahitnya ia matikan karena sudah membereskan satu karya, Sherlly pun membuka jendela baru. Dia mulai konsentrasi membaca semua materi dalam LMS Pertamina Academy 2025. Di layar tablet, ia menyimak modul tentang strategi pemasaran, digital branding, hingga manajemen keuangan usaha kecil. Sambil mencatat penuh tekun, seolah dia sedang merajut ilmu seperti menjahit kain dari benang demi benang.
“Dulu saya hanya tahu cara membuat tas, tapi lewat UMK Academy, saya belajar bagaimana menjual, mengatur, bahkan menumbuhkan usaha," jelasnya.
Program tersebut katanya, menjadi dunia beda dalam membuka mata. Yakni, jadi pengrajin bukan hanya soal keterampilan tangan, tetapi juga kemampuan membaca peluang. Dia belajar tentang Marketing SOP, cara membuat konten digital, hingga memahami pentingnya identitas merek. Perlahan, produknya mulai dikenal, tak hanya di Palembang, tapi juga menembus pasar luar negeri.
"Saat ini seleksi program Pertamina UMK Academy. Sebelumnya, sudah menang PFPreneur Pertamina 2024. Berkat program ini (Pertamina) saya bisa memasarkan lebih dari lewat WhatsApp, tapi sudah bisa marketplace dikenal luar negeri," kata Sherlly.
Menurut Bambang, salah satu konsumen setia produk Niketo, alasannya membeli berbagai karya hasil jahitan Sherlly, karena barang terlihat natural dan berbeda dari yang lain. Kata dia, Sherlly memiliki imajinasi luar biasa karena mampu melahirkan produk ramah lingkungan dan berkelanjutan.
"Beli tas untuk istri ke undangan, barangnya go green jadi kami tertarik. Terus, barangnya juga terbatas karena spesial memanfaatkan kain sisa," ujarnya.
Sementara menilai kualitas barang yang diciptakan Niketo, ide kreasi Sherlly kata Bambang sesuai dengan harapan pemerintah. Yaitu menginginkan pelaku usaha mikro untuk memanfaatkan energi bersih dari berbagai limbah yang masih bisa dimanfaatkan.
