Ogan Ilir, IDN Times - Cekatan tangan Agus Warsito (50) memanen kangkung pagi itu, menandakan kesuburan tanah dan irigasi air di Desa Semambu, Kabupaten Ogan Ilir (OI) mengalir efisien. Senyum khas merekah Agus pun jadi isyarat rasa syukur. Karena ia berhasil memetik daun kangkung segar dari lahan gambut di sana.
"Selain pertanian yang terasa sangat terbantu karena panen terus. Anak-anak sekolah gak kesusahan lagi bawa air dari embung menuju sekolah. Termasuk anak saya, dia gak lagi harus menggendong tas berisi air 1,5 liter ke sana (sekolah)," kata Agus di sela aktivitasnya memilah kangkung yang sudah siap panen.
Sekitar medio Oktober 2025, Agus mengisahkan perubahan di desanya. Sejak dua tahun menerima manfaat teknologi Spider Web Irrigation System (SWIS) dari Pertamina, aliran air kini bukan sekadar harapan. Tapi jadi simbol perubahan nyata pemberdayaan energi hijau di Ogan Ilir.
Sebelum tersedia SWIS, para siswa Sekolah Dasar (SD) 08 Indralaya Utara harus berjalan sekitar lebih dari 2 kilometer hanya untuk mengambil air di penampungan agar keperluan saat bersekolah bisa tercukupi. Termasuk untuk kegiatan MCK.
Langkah kecil murid sekolah seraya membawa literan air tidak saja dirasakan anak Agus. Sebanyak 200-an siswa dan puluhan guru pun harus merasakan nasib sama.
Katanya, semenjak mendapatkan irigasi jaring laba, masyarakat Semambu tak perlu lagi membeli air dan tidak susah cari alternatif kerja serabutan. Sekarang pertanian telah memenuhi kebutuhan warga sekitar.
Padahal ujar Warsito, dari tahun 1999 dia mendiami rumah di RT 11 Desa Semambu, krisis air adalah kehidupan sehari-hari dan kemarau merupakan bencana. Sebab, bila tidak punya air di saat kemarau, Semambu mengering tanpa penghidupan.
"Alhamdulillah, ancaman gagal panen gak ada lagi. Panen terus, mengurangi kegagalan (panen). Hasil pertanian mampu membiaya hidup. Sebelumnya dalam setahun hanya 6 kali panen, saat ini tiap bulan panen," jelasnya.
Keuntungan SWIS turut dirasakan terhadap jumlah volume panen para petani di sana. Bagi Agus, mendapatkan 300 ikat tanaman hortikultura yang siap panen per bulan adalah mukjizat. Sebab dahulu kala, ketika kekeringan melanda bisa panen puluhan ikat saja sudah bahagia. Karena tumbuhan tidak bisa hidup tanpa air melimpah.
"Sebelum ada (SWIS) bisa ratusan jadi harapan. Pernah bisa (panen) tanaman justru kerdil," kata Agus.
Bukan soal hasil panen saja, pria paruh baya ini pun menggambarkan cerita pelik keluarga yang ia alami ketika Semambu tidak memiliki pengaliran air optimal. Kata dia, anak dan istri terpaksa membeli air Rp5 ribu per galon untuk bisa memasak, mandi, dan mencuci.
Harus membayar demi mendapatkan air, sementara profesinya hanya petani, jelas Agus, adalah hal berat saat itu. Apalagi pendapatan yang tak banyak, harus terbebani dengan merogoh kocek kebutuhan air sehari-hari.
Masalah air memang jadi persoalan utama di Semambu. Bukan cuma sebagai keperluan rumah tangga, tetapi ikut menyentuh nadi perekonomian desa. Karena akibat kekeringan berkepanjangan, salah satu desa di Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) juga kerap merasakan musibah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kala kemarau ekstrem, karhutla di sana meluas.
Pada 2023 lalu, kebakaran di Desa Semambu melalap puluhan hektare lahan produktif. Sekitar 27 hektare, dari total 1.200 area hektare desa dengan kawasan kering dan tanah basah bergambut hilang sekejap. Kondisi ini, memicu ekonomi desa merosot.
