Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sungai Musi dan Jembatan Ampera (wikipwdia oleh Gunawan Kartapranata)

Intinya sih...

  • Palembang disebut "Kota Kedamaian" karena sejarah panjang Islam di kota ini, dimulai dari abad ke-15 hingga 16.
  • Islam menjadi landasan utama pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat pada masa Kesultanan Palembang Darussalam (abad ke-17 hingga ke-19).
  • Gelar "Darussalam" bukan hanya nama simbolis, melainkan juga mencerminkan nilai-nilai damai, toleran, spiritualitas, dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan.

Di balik gemerlap Jembatan Ampera yang menjulang megah di atas Sungai Musi, serta aroma khas pempek yang menggoda di setiap sudut kota, Palembang menyimpan sebuah gelar yang sarat makna, yakni Darussalam, yang berarti "Kota Kedamaian" atau "Rumah Kedamaian". Julukan ini bukan sekadar label kosong, melainkan cermin dari jejak panjang sejarah, budaya, dan spiritualitas yang telah membentuk wajah Palembang selama berabad-abad.

Tapi mengapa Palembang yang dikenal sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Pulau Sumatra menyandang gelar yang begitu agung ini? Apa yang membuatnya layak disebut sebagai Kota Dedamaian? Untuk menjawabnya, kita harus menelusuri lorong waktu, menyibak kisah kejayaan masa lampau, dan menelaah identitas religius yang melekat kuat di tanah Sriwijaya ini.

IDN Times telah merangkum alasan kenapa Palembang disebut sebagai Kota Darussalam secara ringkas. Yuk simak!

1. Palembang dalam lintasan sejarah Islam

Dua perempuan pribumi Palembang mempersembahkan tarian adat Melayu Palembang di depan bangunan kantor Belanda pada zaman kolonialisme (masa kini telah bertransformasi menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II) dan diperkirakan terjadi pada tahun 1887 (wikipedia)

Julukan “Darussalam” pada Kota Palembang tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang Islam di kota ini. Setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, yang dahulu menjadi pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara, Palembang perlahan bertransformasi menjadi pusat keislaman yang sangat berpengaruh. Perubahan ini terjadi sekitar abad ke-15 hingga 16, ketika pengaruh Islam mulai masuk melalui para pedagang dari Arab, Gujarat, dan Aceh.

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam (abad ke-17 hingga ke-19), Islam menjadi landasan utama pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat. Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam adalah pendiri kesultanan yang terkenal memperkuat identitas Islam di Palembang, dengan membangun masjid, mendirikan lembaga pendidikan Islam, serta menerapkan hukum-hukum syariah dalam pemerintahan.

2. Darussalam lebih dari sekedar nama

Ilustrasi aktivitas berkendara di Palembang (instargram a2ampera.bridge)

Gelar “Darussalam” bukan hanya nama simbolis. Dalam konteks keislaman, istilah ini merujuk pada sebuah negeri yang aman, damai, dan diliputi nilai-nilai keadilan serta spiritualitas. Kesultanan Palembang Darussalam mencoba menghidupkan nilai-nilai ini dalam setiap aspek kehidupan dari tata kelola pemerintahan, hubungan antar masyarakat, hingga pendidikan dan hukum.

Masjid Agung Palembang, yang dibangun pada masa Kesultanan, menjadi simbol utama kebangkitan Islam dan pusat penyebaran dakwah. Di sekitarnya, tumbuh lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren dan surau, yang menjadi wadah penggemblengan moral dan spiritual umat.

3. Warisan yang masih hidup hingga saat ini

Suku Melayu Sumsel (wikipedia)

Meskipun Kesultanan Palembang telah lama runtuh akibat intervensi kolonial Belanda pada abad ke-19, warisan Darussalam tetap hidup hingga hari ini. Palembang dikenal sebagai salah satu kota dengan identitas keislaman yang kuat di Indonesia. Tradisi keagamaan seperti pengajian massal, peringatan hari besar Islam, hingga budaya ziarah ke makam para ulama dan tokoh agama, masih sangat kental di masyarakat.

Nama "Darussalam" bahkan masih digunakan dalam beberapa institusi pendidikan dan keagamaan, memperkuat identitas religius kota ini. Tidak heran jika Palembang sering dijuluki sebagai kota yang damai, penuh toleransi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual.

Julukan “Kota Darussalam” bagi Palembang bukanlah sekadar nostalgia atau romantisasi masa lalu. Ia adalah pengakuan atas warisan sejarah yang masih nyata dirasakan, sekaligus harapan akan masa depan yang tetap menjunjung nilai-nilai damai, toleran, dan beradab. Ketika kita menyusuri jalan-jalan tua di Palembang, mendengarkan azan yang berkumandang dari masjid-masjid tua, atau menyaksikan warga hidup berdampingan dalam harmoni, kita seperti diingatkan bahwa kedamaian bukanlah utopia—ia adalah warisan, dan sekaligus tanggung jawab bersama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team