kopi liberika yang merah di kebun milik warga Desa Sinar Wajo, Kabupaten Tanjab Timur. (Foto Dedy Nurdin/IDN Times)
Suryani, ketua LPHD Pematang Rahim kini lebih banyak di rumah, pasca pandemik COVID-19 beberapa tahun lalu kondisi kesehatannya tak lagi seperti dulu.
Sementara kegiatan kelompok LPHD lebih banyak dilakukan oleh anggota lainnya. Namun ia masih menaruh semangat yang kuat agar kawasan hutan itu tidak sampai rusak.
“Cuma tak bisa lagi seperti dulu kelapangan setiap hari, kondisi kesehatan dak seperti dulu lagi.” katanya.
Menurutnya, hutan lindung gambut Sungai Buluh memiliki peranan penting bagi warga. Selain menyimpan cadangan air karena fungsi resapannya masih cukup baik, jika rusak tentu sangat mudah terbakar dan mengancam tanaman masyarakat di Desa Pematang Rahim.
Menurutnya, tutupan hutan di Sungai Buluh sekitar Desa Pematang Rahim masih sering dimanfaatkan warga untuk mencari ikan. Termasuk mencari tumbuhan obat.
Ada ratusan jenis pohon hutan rawa gambut yang masih terjaga disana. Beragam jenis burung dan satwa liar hidup di sana. “Termasuk ungko, pohon besar banyak didalam tumbuhan obat juga banyak,” katanya.
Untuk mengenalkan potensi yang ada, tahun 2019 pak Sur panggilan akrabnya bersepakat dengan pemerintah desa saat itu membangun kawasan Ecowisata yang diberi nama Kebon Sari. Di sana pengunjung diperkenalkan tentang potensi hutan lindung gambut Sungai Buluh. Mengedukasi pengunjung tentang jenis-jenis tanaman obat.
Ditepi hutan itu juga dibangun jalur tracking bagi pengunjung ingin merasakan sensasi alam hutan gambut. Kawasan itu dikelola oleh Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).
Namun baru beberapa bulan pengelolaan mandek. Pak Sur akhirnya menyerahkan pengelolaan kepada Yusni Alia Putri (18) dan lima orang kawannya yang saat itu masih duduk dibangku SMA.
“Karena dipercaya sama pak Sur kami hampir tiap hari kesana bang,” kata Uni panggilan akrabnya.
“Pas dirombongan orang ini nampak semangatnya,”kata pak Sur menyambung pembicaraan denga Uni.
Uni bercerita, setelah mendapat kepercayaan dari pak Sur, ia dan kawan-kawannya yang memang mencintai alam liar begitu bersemangat. Meski hanya disambangi pengunjung minat khusus, Peneliti maupun mahasiswa. Uni tidak pernah memungut biaya.
Alasannya ia ingin agar lebih banyak masyarakat luar yang peduli keberadaan hutan itu. Karena keanekaragaman hayatinya menurut Uni sangat komplek sehingga butuh perhatian dari banyak pihak agar ikut menjaganya. “Di dalam itu kami ketemu yang namanya kayu bajaka. Jamur merah untuk obat, termasuk tanaman hias janda bolong,” katanya.
Uni begitu bersemangat ketika berbicara tentang hutan gambut. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya dengan hutan Lindung Gambut Sungai Buluh. Kecintaan itu juga ditunjukkan dengan membuat beragam olahan maknan dan sovenir asli dari kawasan hutan.
“Kami pernah cuma bawa kompor sama nasi dari rumah, lauknya kami peroleh dari dalam hutan. Ikan semah sayur pakis dan lalapan dan waktu itu kami yang tak paham konsep wisata merasa senang karena tamu yang datang puas dengan apayang kami suguhkan,” ujarnya.
Ia juga bercerita sering disusul pak Sur untuk disuruh pulang karena terlalu lama menghabiskan waktu di sana. “Kadang balek sekolah bukan langsung ke rumah tapi kami sama kawan-kawan langsung kesana,” katanya.
Tapi ecowisata itu tak bertahan lama, kondisi pandemik COVID-19 berimbas pada ditutupnya kawasan wisata itu. Ketika mengetahui kabar aktivitas perambahan di hutan Sungai Buluh Uni mengaku sedih. Emosinya bergejolak, meski usianya masih muda Uni cukup berani tampil menyuarakan kondisi perusakan hutan di desanya itu.
“Orang ini taunya yang penting punya lahan. Padalah hutan itu kaya bang. Banyak rahasianya kalau dirusak siapa yang tidak emosi dibikinnya,” ujarnya.
Kini Uni tidak lagi bisa beraktivitas di kawasan ecowisata, selain itu beberapa temannya yang dulu aktif sudah sibuk dengan urusan keluarga. Namun ia berharap keberadaan hutan lindung gambut Sungai Buluh tetap terjaga.
Suryani, juga mengabarkan kalau ecowisata akan kembali dibuka berkat bantuan KKI Warsi. Namun lokasinya saja akan dipindah. Kabar ini membuat Uni bahagia. Ia berharap bisa memperkenalkan potensi desanya lebih luas lagi.
“Bagi kami ada banyak kenangan disana, kami menyebutnya itu hutan perawan. Karena ketika kebakaran tahun 2019, di Sungai Beras Terbakar, Sinar Wajo Terbakar Cuma di hutan kami tidak. Makanya kami menyebutnya hutan perawan,” ujar Uni lalu tertawa sebelum mengakhiri obrolan di rumah pak Sur malam itu.