Cerita Chef Pipit Masak Sambil Terbang, Terpacu Waktu dan Turbulensi

Bercerita dengan penuh semangat, Pipit yang merupakan alumnus Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) NHI Bandung membagikan situasi ketegangan dalam pesawat ketika ia harus segera menuntaskan masakan bagi semua awak kabin.

Meski ada rasa cemas karena dikejar kerja cepat, menurutnya semua tugas memiliki risiko masing-masing.

"Saya masak untuk semua orang di dalam pesawat, penumpang pramugari dan pilot. Dituntut on time dengan cita rasa tetap lezat. Karena mereka juga ditarget disiplin, kita pun harus terburu-buru selesai ikut jam mereka," jelas anggota keluarga Enhaier Bandung ini.

Memulai karier sebagai juru masak di maskapai Garuda Indonesia sejak tahun 2013, Pipit terpaksa mengundurkan diri pada Agustus 2016. Ia memilih jalan lain untuk membangun rumah tangga.

"Soalnya saya mau segera punya anak, dan saat itu perusahaan belum memperbolehkan punya anak," ungkapnya.

Setelah berhenti terbang, Pipit berkesempatan ikut suami ke Angola, Afrika, sebagai chef di lingkungan kementerian setempat. Selama di sana, ia mendapati pengalaman baru. Seperti harus dikawal setiap perjalanan ke luar rumah, sebagai bentuk pengamanan diri di tengah kehidupan negara konflik.

"Sempat ada cerita teman ke luar rumah sampai ditodong pistol di kepala sama warga di sana. Makanya ke mana-mana harus dikawal," jelasnya.

Jika tantangan memasak di dalam pesawat yakni mengejar waktu, namun saat di Angola ia mendapat tantangan memasak menu yang terbilang tabu dari ragam jenis kuliner Indonesia.

"Masakan Afrika susah, contohnya buat ulat-ulat kecil kayak ulat daun. Masak daging rusa, terus kue juga gak biasa. Seperti tiramisu, mereka kurang suka," tutur dia.

Sebagai sosok anak bungsu pekerja keras, Pipit ternyata terinspirasi menjadi chef karena sang kakak dan turut didukung oleh keluarga besarnya. Ia merupakan anak terakhir dari empat bersaudara. Meski lahir di Sumatra Barat, namun Pipit pindah ke Kota Kembang, Bandung, di saat usianya baru lima tahun.

"Di Padang, di Batu Sangkar, orangtua saya jualan Lontong Padang. Memang saya punya basic masak dan karena ingin ikut abang. Abang saya juga chef di Garuda Indonesia, kami melayani penumpang first class dan businnes class," kenangnya.

Hingga akhirnya mendapatkan teman hidup dan menikah dengan sang suami yang merupakan orang asal Palembang, Pipit sekarang meniti karier baru sebagai pemilik outlet kue. Meski ia harus lebih bersabar karena terpisah jarak bersama suami.

Pipit tak menyesal dengan langkah yang ia ambil. Sebab bagian terpenting dalam hidupnya adalah tetap bisa berada di dapur, terus kreatif, dan produktif.

"Suami masih di sana (Angola). Sembari menunggunya pulang, saya buka Bake House. Alhamdulillah pelanggan perlahan bertambah, lewat online ataupun offline," katanya.

Meski baru seumur jagung, bisnis outlet kue miliknya di Palembang mulai tenar. Beragam keik dan pastry dijual dengan harga variatif. Tak lupa terus melakukan inovasi, bagi pipit agar pelanggan tetap setia adalah mempertahankan rasa produk.

"Makanan enak bukan hanya dari bahan yang bagus, tapi juga cara memasak dan penyajian yang benar," tandas dia.