TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Chef Pipit Masak Sambil Terbang, Terpacu Waktu dan Turbulensi 

Harus on time dengan masakan bercita rasa lezat

Chef Pipit Permatasari sedang menyusun menu masakan di dalam maskapai (IDN Times/Dokumen)

Palembang, IDN Times - Sebuah ungkapan lama mengatakan, "Pengalaman adalah guru terbaik." Sepertinya kutipan yang tepat disematkan kepada Pipit Permatasari, seorang chef atau juru masak kelahiran Padang. Pipit mendapatkan banyak pelajaran dari 10 tahun menjalani profesi dunia Tata Boga.

Ia kini tinggal di Palembang dan baru membuka toko roti Bake House setahun belakangan, tepatnya 29 November 2019. Kepada IDN Times, Ibu satu anak ini menceritakan kisahnya pernah merasakan sensasi masak sembari terbang di dalam pesawat.

"Rasanya menantang, antara mengejar kecepatan, terpacu waktu, dan khawatir karena turbulensi," ujarnya, Rabu (3/11/2020).

Baca Juga: Tingkatkan Sistem Pendidikan, Poltekpar Palembang Harus Terapkan Ini

1. Terburu-buru mengejar waktu jadi tantangan

Chef Pipit Permatasari sedang mengadon butter cake (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Bercerita dengan penuh semangat, Pipit yang merupakan alumnus Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) NHI Bandung membagikan situasi ketegangan dalam pesawat ketika ia harus segera menuntaskan masakan bagi semua awak kabin.

Meski ada rasa cemas karena dikejar kerja cepat, menurutnya semua tugas memiliki risiko masing-masing.

"Saya masak untuk semua orang di dalam pesawat, penumpang pramugari dan pilot. Dituntut on time dengan cita rasa tetap lezat. Karena mereka juga ditarget disiplin, kita pun harus terburu-buru selesai ikut jam mereka," jelas anggota keluarga Enhaier Bandung ini.

2. Sempat bekerja untuk Kementerian Afrika di Angola

Chef Pipit Permatasari sedang berada di dalam maskapai (IDN Times/Dokumen)

Memulai karier sebagai juru masak di maskapai Garuda Indonesia sejak tahun 2013, Pipit terpaksa mengundurkan diri pada Agustus 2016. Ia memilih jalan lain untuk membangun rumah tangga.

"Soalnya saya mau segera punya anak, dan saat itu perusahaan belum memperbolehkan punya anak," ungkapnya.

Setelah berhenti terbang, Pipit berkesempatan ikut suami ke Angola, Afrika, sebagai chef di lingkungan kementerian setempat. Selama di sana, ia mendapati pengalaman baru. Seperti harus dikawal setiap perjalanan ke luar rumah, sebagai bentuk pengamanan diri di tengah kehidupan negara konflik.

"Sempat ada cerita teman ke luar rumah sampai ditodong pistol di kepala sama warga di sana. Makanya ke mana-mana harus dikawal," jelasnya.

3. Pengalaman memasak ulat daun di Afrika

Chef Pipit Permatasari sedang memanggang butter cake (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Jika tantangan memasak di dalam pesawat yakni mengejar waktu, namun saat di Angola ia mendapat tantangan memasak menu yang terbilang tabu dari ragam jenis kuliner Indonesia.

"Masakan Afrika susah, contohnya buat ulat-ulat kecil kayak ulat daun. Masak daging rusa, terus kue juga gak biasa. Seperti tiramisu, mereka kurang suka," tutur dia.

Sebagai sosok anak bungsu pekerja keras, Pipit ternyata terinspirasi menjadi chef karena sang kakak dan turut didukung oleh keluarga besarnya. Ia merupakan anak terakhir dari empat bersaudara. Meski lahir di Sumatra Barat, namun Pipit pindah ke Kota Kembang, Bandung, di saat usianya baru lima tahun.

"Di Padang, di Batu Sangkar, orangtua saya jualan Lontong Padang. Memang saya punya basic masak dan karena ingin ikut abang. Abang saya juga chef di Garuda Indonesia, kami melayani penumpang first class dan businnes class," kenangnya.

Baca Juga: Bolu Motif Songket Bikinan UMKM Palembang Unik Ini Tarik Minat Pembeli

Berita Terkini Lainnya