TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hutan Lindung Gambut Terakhir di Jambi Terancam Rusak karena Dijarah 

Asa para penjaga hutan lindung gambut

Yandri warga desa Pematang Rihim, Kabupaten Tanjab Timur berjalan di kawasan hutan lindung gambut yang dirambah (IDN Times/Dedy Nurdin).

Jambi, IDN Times - Ahmad Fauzi mempercepat langkahnya ketika melewati jalan berdebu menuju seberang jalan. Menyelinap melewati pipa minyak melintang di atas kepala dipinggir jalan.

Ia tertegun sejenak melihat pepohonan kecil yang sudah tumbang. “Ini baru lagi ditebang, padahal beberapa hari yang lalu belum ada,” katanya Selasa (13/6/2023).

Fauzi merupakan Ketua RT 13, Desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. Ia termasuk warga aktif ikut menjaga HLG (Hutan Lindung Gambut) Sungai Buluh di Desa Pematang Rahim.

HLG Sungai Buluh menjadi satu-satunya hutan gambut di Jambi masih memiliki tutupan hutan yang rapat. Luasnya mencapai 17.476 hektare dengan kedalaman gambut bervariasi antara 1 sampai 6 meter.

Di dalamnya masih menyimpan keanekaragaman hayati. Hutan rawa gambut ini menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna endemik hutan gambut.

Kawasan ini dikelilingi wilayah Desa Pematang Rahim, Sinar Wajo dan Sungai Beras. Tahun 2017 Desa Pematang Rahim mendapat mandat dari pemerintah pusat untuk mengelolah dan menjaga HLG Sungai Buluh lewat skema Perhutanan Sosial.

SK itu diberikan langsung Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 2018 seluas 1.185 hektare. Sementara dua desa lainnya sudah dua tahun lebih dahulu. Dalam SK Perhutanan Sosial Sungai Beras ditetapkan seluas 2.200 hektare dan Sinar Wajo seluas 5.500 hektare. 

Baca Juga: Tedmond Penyulingan Minyak Terbakar, Pemilik Langsung Diborgol Polisi

1. Dikepung perambah dan aktivitas ilegal logging

suasana perkampungan di Desa Sungai Beras KAbupaten Tanjab Timur, akses jalan hanya bisa ditempuh dengan speed boat melalui sungai mendahara. (Dedy Nurdin/IDN Times)

Sejak SK Perhutanan Sosial diterima, berbagai ancaman untuk melindungi hutan negara terus datang silih berganti. Bukan hanya ancaman kebakaran hutan di musim kemarau. Tapi, aksi perambahan juga menjadi momok.

Beberapa oknum bahkan berani membuka kanal masuk ke dalam kawasan. Dari kanal itu kemudian kayu diangkut menuju tepi jalan. “Masih ada kayunya numpuk mungkin tidak laku makanya belum diambil,” ujar Fauzi.

Para perambah masuk beramai-ramai untuk membuka lahan. Aksi ini pernah beberapa kali dicegah. Tapi tidak berhasil, mereka dihadang para preman dengan senjata parang panjang.

“Dari pada ribut antar warga, kami akhirnya mundur dari pada nanti ada pertumpahan darah,” ujar Yandri warga lainnya ikut menemani melihat lokasi bekas penebangan.

M Dong, Kepala Desa Pematang Rahim mengatakan, persoalan ini menjadi kusut karena belum adanya penetapan batas yang jelas. Desa diberikan konsesi seluas 1.185 hektare, namun tidak tahu batasannya masa saja.

Sehingga ketika terjadi perambahan warga kebingungan apakah kawasan dirambah masuk dalam wilayah desa Pematang Rahim atau desa tetangga. Hal ini kata M Dong sangat penting selain melakukan sosialisasi.

“Kami sudah mengajukan sejak Maret agar Dinas Kehutanan Provinsi menentukan batas, tapi sampai saat ini belum ada tanggapan,” katanya.

Suryani, ketua LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa) Pematang Rahim ketika ditemui di rumahnya bercerita bahwa selama ini pengurus sudah melakukan upaya maksimal. melakukan sosialisasi, melakukan patroli dan melaporkan ketika ada gangguan. “Kewenangan kami terbatas, tidak bisa melakukan penindakan makanya kami hanya membuat laporan,” katanya.

Kondisi serupa juga dialami oleh para penjaga hutan lindung gambut Sungai Buluh di Desa Sungai Beras. Rabu (14/6/2023) siang, dari jarak sekitar satu kilometer dari perbatasan kawasan hutan lindung gambut, deru gergaji terdengar dari dalam kawasan hutan.

“Itu ada yang nebang lagi tuh, mungkin untuk keperluan rumah. sudah dikasi tahu masih juga nanti tanggung sendirilah risikonya,” kata Abdul Hamid, Bendahara LPHD Sungai Beras.

Di kawasan Hutan Lindung Desa Sungai Beras, aktivitas illegal logging jadi ancaman serius. Kasus ini sudah pernah dilaporkan berkali-kali tapi belum ada tanggapan dari pihat berwenang.

Padahal kata Hamid, sudah pernah dilakukan patroli bahkan beberapa orang tertangkap. Tapi hal itu belum juga membuat jera para pelaku. “Kami cuma bisa melaporkan, sudah berkali-kali. Sosialisasi sampai ke rumah-rumah juga sudah kami lakukan karena cuma itu yang bisa kami lakukan,” katanya.

Laporan itu kata Hamid sudah dilayangkan berulangkali ke KPH (Kesatuan Pengelola Hutan) Tanjung Jabung Timur Unit XIV, Polres Hingga ke Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. “Pernah orang dinas datang, tapi cuma melihat dari dalam mobil habis itu pulang,” katanya.

Sementara di Desa Sinar Wajo ancaman dirasakan warga lebih komplit. Selain illegal loging, ancaman kebakaran hutan juga menjadi persoalan.

Tim LPHD Desa Sinar Wajo mengaku tidak bisa berbuat banyak selain melakukan patroli. Terutama disaat memasuki musim kemarau. Patroli juga dilakukan dikawasan menjadi lokasi program pohon asuh.

“Setidaknya kalau ada merek pohon asuh si penebang kayu tak berani karena sudah ada mereknya disitu,” kata Samsu Alam, Ketua LPHD Desa Sinar Wajo.

Ia berharap, ada perhatian pemerintah yang lebih dari sekadar memberikan tanggung jawab, “Kami di desa ini ibarat diberi pistol kosong, dikasih tanggung jawab tapi tidak ada kewenangannya,” katanya.

2. Jatuh bangun berjuang menjaga gambut

kondisi sekat kanal yang dibangun salah satu perusahaan HTI di Desa Pematang Rahim. (Foto Dedy Nurdin/IDN Times)

SK Perhutanan Sosial seluas 5.085 hektare di Desa Sinar Wajo diterima sekitar 2016. Saat itu Samsu Alam ditunjuk sebagai ketua LPHD. Sejak itu pria akrab disapa Aco jatuh bangun berusaha keberadaan hutan lindung gambut di Sungai Buluh.

Pada saat-saat tertentu ia mengajak warga melakukan patroli.mencegah masuknya aktivitas perambahan dan illegal logging.

Termasuk melakukan patroli mengawasi titik api ketika memasuki musim kemarau. “Kalau mau dihitung keuntungan materi, pahit rasanya,”kata Aco.

Apa lagi kondisi MPA (Masyarakat Peduli Api) hanya memiliki peralatan minim. Sementara ketika terjadi kebakaran warga melakukan pemadaman dengan biaya sendiri.

Namun ada hal lebih penting dari itu kata Aco, menjaga kawasan hutan desa agar tidak hilang. Agar keberadaan tutupan vegetasi hutan gambut itu masih bisa dinikmati generasi selanjutnya.

Kawasan hutan desa berbatasan juga dengan Dstrik 2 Konses WKS (Wira Karya Sakti). Aco pernah mengalami konflik pahit dengan perusahaan milik Sinarmas Gorup itu. Lahan perkembunan miliknya secara terpaksa dilepas karena diklaim masuk kawasan perusahaan.

“Cukup lah pengalaman pribadi itu, jangan sampai anak cucu kami di desa ini mengalami hal yang sama,” katanya.

Untuk menjaga kelestarian hutan Warga Desa Sinarwajo mengelola “Pohon Asuh” di dalam kawasan Sungai Buluh. Sekitar 200 pohon telah diadopsi, sementara untuk penjagaan dan perlindungannya dikelola oleh para pemuda Desa Sinar Wajo melalui Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).

3. Membangun potensi ekonomi

Adul Hamid warga desa Sungai Beras menunjukkan getah jelutung Rabu (14/6/2023). (Dedy Nurdin/ IDN Times)

Usaha ini didukung oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi. Sementara untuk upaya meningkatkan kesejahteraan warga, Warsi mendampingi para petani untuk mengembangkan kopi liberika.

Selain memberi pendampingan bagi petani, KKI Warsi juga memberikan bantuan bibit kopi liberika. “Sebetulnya kopi liberika sudah ada sejak lama di sini, hanya saja banyak ditebang diganti sawit, pinang dan kelapa,” kata Helen, Fasilitator KKI Warsi di Desa Sinar Wajo.

Namun belakangan ketika kondisi harga piang anjlok, warga kembali mengembangkan tanaman kopi liberika. Menurut Helen masyarakat sadar pentingnya tanaman jenis kopi yang memilik harga lebih stabil.

Bahkan beberapa warga desa sudah berhasil mengembangkan kopi liberika. Tanaman ini kini ditumpang sarikan disela kebun kelapa dan pinang warga.

Seperti dilakukan Mbah Seno (64). Awalnya ia menanam kopi disela kebun kelapa dan pinang miliknya. Bibit itu diperoleh dari kebun tetangganya.

“Di sini awalnya banyak kopi, tapi karena sawit sama pisang lag rame akhirnya ditebang,” katanya

Tidak disangka kopi liberika tumbuh lebih subur di lahan gambut. Mbah Seno bahkan tidak memberi pupuk apapun. Pada saat panen raya ia bisa panen hingga 600 kilogram.

“Kopi pernah panen selawe (Rp25 juta) itu untuk tabungan. Kalau untuk kebutuhan hari-hari ditutupi dari pinang sama kelapa,” katanya.

Kopi yang dhasilkan Mbah Seno dijual dalam bentuk beras, masuk kategori asalan karena tidak dilakukan sortir dan diolah dengan cara tradisional.

Ia pernah menanam sawit seluas tigahektare.  Namun kondisinya mudah tumbang karena lokasi tanah berada dikawasan gambut dalam. Di tahun 2019 kebun itu terbakar. Kini Mbah Seno berbalik menanam kopi liberika.

“Banyak warga yang sudah berhasil selain Mbah Seno, kalau untuk sekarang harga kopi stabil 43 ribu. Dibandingan komoditas lain naik turun,“ ucap Helen menimpali percakapan pada Rabu siang pekan lalu di Rumah Mbah Seno.

Pengembangan ekonomi warga juga dilakukan di Desa Sungai Beras. Warga menanam komoditas jelutung rawa dan beberapa jenis tanaman hutan lainnya.

Bahkan beberapa komoditas jelutung yang ditanam warga sudah menghasilkan getah. Namun harganya belum sebanding dengan usaha pemanenan.

Salah seorang warga Desa Sungai Beras mengatakan, untuk menghasilkan satu kilogram getah jelutung butuh sekitar tiga hingga 5 batang pohon jelutung yang disadap untuk diambil getahnya.

Selanjutnya dikumpulkan kemudian direndam agar mengeras sebelum dijual. “ini baru uji coba saja, beratnya sekitar 1 kilogram. Tapi harganya murah, di Pulau Jawa sekitar 10 ribu per kilogramnya,” kata Hamid, Bendahara LPHD Sungai Beras.

Selain getah dan kopi, warga desa tergabung dalam KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial) di seputaran penyanggah HLG Sungai Buluh juga mengembangkan kerajinan berupa piring dari pelepah pinang. Hanya saja pemasarannya masih terbatas.

“Kita masih mendorong untuk memperluasan pemasaran, untuk saat ini pemasarannya memang masih terbatas,” kata Agus dari KKI Warsi.

4. Butuh dukungan bersama

kondisi tanah gambut di Desa Pematang Rahim yang kering dan retak ketika kemarau karena alih fungsi lahan. (Foto Dedy Nurdin/IDN Times)

Ade Candra Direktur Program KKI Warsi mengatakan, membangun kesejahteraan masyarakat di wilayah hutan gambut harus lebih dahulu didorong. Kondisi perekonomian sulit menjadi salah satu alasan munculnya praktek perusakan hutan.

“Kalau jargonnya Perhutanan Sosial Hutan Terjaga Masyarakat Sejahtera, harusnya dibalik masyarakat sejahtera hutan akan terjaga,” katanya ketika berdiskusi tentang Gambut dengan SIEJ Simpul Jambi di Kantor Warsi, Senin (12/6/2023)

Di Jambi terdapat sekitar 13 KHG (Kesatuan Hidrologi Gambut). Namun kebakaran gambut yang berulang, alih fungsi lahan menjadi perkebunan monokultur, aktifitas ilegal dan pembukaan areal pertambangan menjadi faktor rusaknya lahan gambut.

Namun dari semua KHG yang ada, hanya tersisa Sungai Buluh masih memiliki vegetasi tutupan hutan rapat. Kawasan ini menjadi tumpuan keanekaragaman hayati di lahan gambut yang ada di Jambi. Karena itu, pemerintah menetapkannya sebagai hutan lindung gambut.

Namun persoalan yang terjadi saat ini, upaya pengerusakan dari luar terus terjadi. Meski masyarakat di tiga desa berupaya melindungi namun hal ini tidak cukup kuat jika tidak dibarengi dengan peran serta dari semua pihak.

Apalagi kawasan kubah gambut di Sungai Buluh memiliki kedalam di atas enam meter. Jika mengalami kerusakan akan sangat mudah terbakar pada musim kemarau karena fungsinya sebagai daerah resapan akan berkurang.

Jika itu terjadi maka akan sulit dilakukan pemadaman. Tentu akan berdampak pada perubahan iklim dan berimbas pada masyarakat sekitarnya. “Untuk menjaga agar tetap baik tidak cukup hanya masyarakat saja, tapi semua pihak harus terlibat,” ujarnya.

Baca Juga: Palembang Tertinggi Kasus TPPO Polda Sumsel Beri Pesan ke Warga

Berita Terkini Lainnya