ilustrasi seorang perempuan membaca buku (pixabay.com/StockSnap)
Ebi mengaku, sejak memiliki anak kedua, fokus dan perhatian ke anak pertamanya terbagi. Dia terkadang bingung dan kesulitan harus prioritas anak yang mana dahulu. Sebab, ia mengurus buah hatinya tanpa bantuan suami. Bukan karena pasangannya tak peduli, melainkan jarak yang memisahkan. Ebi dan suami menjalani hubungan long distance married, karena sang suami harus bekerja di luar Palembang untuk menafkahi mereka.
Karena merasa AF, anak pertamanya sudah mengetahui huruf, dia yakin sang anak akan dengan mudah membaca kelak. Dirinya pun mulai abai untuk konsisten belajar bersama anak. Dia lebih memilih memberikan anaknya gawai agar AF bisa lebih anteng sembari dia mengurus anak keduanya. Aktivitas itu Ebi lakukan sehari-hari. Bahkan sampai ia memiliki tiga anak.
Namun, ketika AF memasuki usia sekolah, dia baru tersadar anaknya sulit konsentrasi untuk belajar. AF lebih tertarik mengutik permainan yang ada di telepon genggamnya, ketimbang melihat buku dengan beragam pembelajaran untuk fase awal sekolah. Bukan tanpa usaha, Ebi pun memasukkan anaknya itu ke Taman Kanak-kanak (TK) di sekitar rumah di usia 4 tahun 8 bulan.
Tujuannya, agar sang anak bisa belajar didampingi tenaga pendidik. Namun hingga usia hampir 6 tahun, anaknya belum pandai mengeja. Kerap kali AF bertanya, huruf apa yang ada di depannya, saat dihadapkan sebuah tulisan.
"Misal Kalo di jalan, kan banyak pamflet ada merek apa gitu, nah dia tau itu huruf M, atau I atau A gitu. Tapi dia gak bisa bacanya. Contoh warung makan tegal ya tulisannya, dia tau semua huruf itu tapi pas baca bingung," kata Ebi.