Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi target membaca. (Dok. Freepik/freepik)

Intinya sih...

  • Ibu rumah tangga di Palembang mengeluhkan anaknya tidak bisa membaca meski sudah hafal huruf sejak usia tiga tahun.

  • Penyebab utama anak sulit fokus belajar adalah ketergantungan pada smartphone, yang membuat anak lebih tertarik bermain game daripada belajar.

  • Data BPS menunjukkan tingginya angka buta huruf di Sumatra Selatan. Wali Kota Palembang Ratu Dewa menyatakan perlunya evaluasi program literasi dan numerasi dalam pembelajaran.

Palembang, IDN Times - "Sudah hafal huruf tapi belum bisa baca. Dia tau alfabet dari nonton di handphone," ucap Ebi, nama samaran saat berbincang dengan IDN Times beberapa waktu lalu. Ebi adalah ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Anak pertamanya, tahun ajaran baru ini masuk Sekolah Dasar (SD). Namun kata Ebi, sang anak belum bisa membaca, bahkan mengeja. Padahal lanjutnya, sejak usia tiga tahun dia sudah tahu jenis huruf.

"Di kamar itu, ditempel karton huruf warna-warni. Dulu dia (anaknya) suka nanya, ini apa itu apa, ya saya kasih tau. Lama-lama dia hafal. Tapi sekarang dia belum bisa baca juga," ungkapnya.

1. Peran orang tua memengaruhi anak bisa membaca atau tidak

ilustrasi seorang perempuan membaca buku (pixabay.com/StockSnap)

Ebi mengaku, sejak memiliki anak kedua, fokus dan perhatian ke anak pertamanya terbagi. Dia terkadang bingung dan kesulitan harus prioritas anak yang mana dahulu. Sebab, ia mengurus buah hatinya tanpa bantuan suami. Bukan karena pasangannya tak peduli, melainkan jarak yang memisahkan. Ebi dan suami menjalani hubungan long distance married, karena sang suami harus bekerja di luar Palembang untuk menafkahi mereka.

Karena merasa AF, anak pertamanya sudah mengetahui huruf, dia yakin sang anak akan dengan mudah membaca kelak. Dirinya pun mulai abai untuk konsisten belajar bersama anak. Dia lebih memilih memberikan anaknya gawai agar AF bisa lebih anteng sembari dia mengurus anak keduanya. Aktivitas itu Ebi lakukan sehari-hari. Bahkan sampai ia memiliki tiga anak.

Namun, ketika AF memasuki usia sekolah, dia baru tersadar anaknya sulit konsentrasi untuk belajar. AF lebih tertarik mengutik permainan yang ada di telepon genggamnya, ketimbang melihat buku dengan beragam pembelajaran untuk fase awal sekolah. Bukan tanpa usaha, Ebi pun memasukkan anaknya itu ke Taman Kanak-kanak (TK) di sekitar rumah di usia 4 tahun 8 bulan.

Tujuannya, agar sang anak bisa belajar didampingi tenaga pendidik. Namun hingga usia hampir 6 tahun, anaknya belum pandai mengeja. Kerap kali AF bertanya, huruf apa yang ada di depannya, saat dihadapkan sebuah tulisan.

"Misal Kalo di jalan, kan banyak pamflet ada merek apa gitu, nah dia tau itu huruf M, atau I atau A gitu. Tapi dia gak bisa bacanya. Contoh warung makan tegal ya tulisannya, dia tau semua huruf itu tapi pas baca bingung," kata Ebi.

2. Tak fokus bisa jadi sebab seseorang tak bisa membaca

ilustrasi me time dengan membaca buku (pexels.com/cottonbro studio)

Butuh waktu panjang Ebi mencari penyebab kenapa sang anak sulit fokus. Hingga akhirnya, ia menemukan jawaban kalau anaknya itu tak bisa lepas dan ketergantungan dengan smartphone atau telepon pintar. Ia tahu masalah tersebut, setelah konsultasi dengan wali kelas AF di waktu TK agar mengajak anaknya, ke psikolog.

"Kata gurunya gak bisa fokus belajar karena dia itu maunya main game terus. Coba konsultasi ke yang ahli soal psikis biar bisa lepas sama HP," jelasnya.

Syukurlah, lambat laun anak laki-laki Ebi itu sudah bisa mengeja, walaupun belum lancar. Ternyata kata Ebi, paling penting agar anak itu dapat membaca adalah pendampingan orang tua dan memang berikan gawai itu di waktu yang tepat. Bukan sebagai jawaban agar sang anak anteng, karena asik bermain smartphone.

"Kadang suka nyesel, kenapa ya terlalu dini kasih HP. Tapi ya sudah yang penting sekarang sudah tau jawabannya. Jangan merasa salah, tapi cari gimana solusinya," kata Ebi.

3. Perempuan mendominasi kasus buta huruf di Sumsel

ilustrasi orang membaca buku (pexels.com/Thought Catalog)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, dikutip IDN Times per 1 Juli 2025 dari pembaruan data pada 8 Mei 2024, Angka buta huruf paling tinggi di Sumsel terdapat di kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), yaitu 3,36 persen dengan rincian 4,26 persen buta huruf dialami laki-laki dan 0,82 persen dialami kaum perempuan dari jumlah penduduk 674.184 jiwa.

Kemudian wilayah buta huruf tertinggi nomor dua di Sumsel adalah Kabupaten Banyuasin, yakni 1,97 dengan rincian 1,55 persen terjadi pada laki-laki dan 2,41 persen perempuan dengan total penduduk sepanjang 2024 berjumlah 885.902 jiwa. Lalu, angka buta huruf tertinggi nomor tiga terjadi di Ogan Komering Ilir (OKI) 1,77, dengan rincian 1,55 persen laki-laki dan 1,99 persen perempuan dari jumlah penduduk 807.085 jiwa. Sedangkan, dari keseluruhan data buta huruf di Sumsel, Palembang menempati angka paling rendah, tercatat hanya 0,55 persen dengan rincian laki-laki 0,27 persen sedangkan perempuan 0,83 persen

Secara akumulasi data BPS, jumlah buta huruf di Sumsel mendominasi dari jenis kelamin perempuan. Tercatat paling banyak selama 3 tahun berturut-turut, BPS mencatat jika persentase laki-laki di bawah 1 persen. Namun yang paling penting perempuan maupun laki-laki yang buta huruf sama-sama memiliki kesempatan sama mendapatkan pengajaran dan pendampingan untuk tahu cara baca.

4. Pemkot Palembang mengaku masalah buta huruf jadi pekerjaan rumah besar

Ilustrasi membaca buku (unsplash.com/Thought Catalog)

Merespons kondisi anak-anak usia sekolah masih mengalami buta huruf dan masih banyak orang yang belum bisa membaca, Wali Kota Palembang Ratu Dewa mengakui, jika dinas pendidikan masih harus evaluasi program literasi dan numerasi sebagai tiang utama dalam pembelajaran.

"Kita juga tahu, beberapa survei mengatakan bahwa anak-anak bahkan ada juga oran gtua yang tidak bisa baca dan informasinya meningkat, dari survei-survei ini, maka dari itu ini menjadi PR kita," jelasnya, Kamis (3/7/2025).

Diketahui, dinas pendidikan memang diberikan tanggung jawab dalam program literasi dan numerasi. Program ini untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi siswa, yang merupakan fondasi penting dalam pembelajaran. Sebelumnya, disdik juga pernah mengadakan program mencegah buta aksara sejak 2016 lalu untuk mengurangi masyarakat tidak bisa membaca dengan membuat kegiatan bersama kelompok belajar, pelatihan belajar membaca dan menulis serta menghadirkan taman pintar yang disebut dikembangkan diseluruh kecamatan tiap wilayah.

Editorial Team