Palembang, IDN Times - Malam makin dingin, lampu-lampu jalan yang berderet di sepanjang Jalan Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pun menandakan langit kota kian gelap. Namun, alih-alih mencekam karena hari larut, situasi di sudut jalan tersebut justru riuh aktivitas masyarakat.
Dari sisi trotoar, banyak wisatawan hilir-mudik, beberapa orang bahkan berhenti sejenak hanya untuk mengabadikan diri dan swafoto di balik latar lampu jalan gemerlap. Kesibukan lain muncul, sejumlah pedagang UMKM pun bergantian merapikan barang jualan mereka agar dilirik pengunjung di sana.
Mulai dari kuliner, batik, sandal kulit, hingga aksesoris kecil yang jadi incaran oleh-oleh. Suara tawar-menawar pun samar-sama terdengar saling sahut, menjadi atmosfer khas malam di Malioboro. Situasinya bukan sekadar ramai, tapi juga hangat dan sangat hidup--sebuah potret bahwa jalur utama Yogyakarta tidak pernah benar-benar tidur.
Sepintas potongan visual itu pun menunjukkan jelas, bahwa malam di ruas jalan bersejarah itu tak pernah kosong dari aktivitas dan transaksi di masyarakat. Kehidupan timbal balik antar wisatawan, warga lokal, dan UMKM berpadu dalam denyut kegiatan tanpa henti.
Sekilas, gambaran Jalan Malioboro mirip kawasan sekitar Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang. Di sana, pengunjung bisa merasakan aroma pempek yang kuat dari pedagang pinggir Sungai Musi yang nyaris sama seperti di Yogyakarta. Yakni, wangi bakpia yang menyeruak dari sisi tenda-tenda kuliner di Jalan Malioboro.
"Yogyakarta ramai, malam tenang tentram. Larut tapi gak ada rasa khawatir dicopet, beda sama Benteng Kuto Besak, malem dikit takut ditodong," kata Ardila, warga Palembang yang sengaja berkunjung ke Malioboro bersama rombongan Wartawan Bank Indonesia Sumatra Selatan (Sumsel) dalam agenda Capacity Building, 25-27 September 2025.
Namun, jika ditelusuri dan ditelaah mendalam, celah agar UMKM Palembang bisa senasib dengan pelaku usaha di Yogyakarta justru terlihat sulit. Padahal bila situasi ini ditarik perbandingannya dengan Malioboro, ada denyut serupa. Malioboro menjadi panggung UMKM di tengah ikon sejarah dan budaya Jawa. Begitu pula BKB, yang menjadikan benteng bersejarah sebagai latar, lalu menghadirkan UMKM lokal wajah modern tradisi Palembang.
Bicara kesamaan dan perbedaan basis budaya serta potensi ekonomi antara Palembang dan Yogyakarta, secara identitas Ngayogyakarta masih menyimpan sejarah dan fisik keberadaan keraton dengan penghidupan aktivitas budaya yang memang dilestarikan. Seperti memamerkan berbagai upacara adat yang melekat pada kehidupan sehari-sehari.