Menilik Ritual Cuci Patung Antar Dewa di Kelenteng Tertua Palembang

Pemasangan lampion jadi simbol kemakmuran perayaan Imlek

Intinya Sih...

  • Perayaan Imlek di Kelenteng Tri Dharma Chandra Nadi Palembang
  • Kelenteng sebagai rumah ibadah etnis Tionghoa tertua di Kota Pempek
  • Pemasangan lampion merah sebagai simbol kemakmuran dan pengharapan baru

Palembang, IDN Times - Tradisi dan budaya tak terpisahkan dari pelaksanaan ritual yang dilakukan sesuai keyakinan. Mencuci patung dan mengantar Dewa merupakan kebiasaan rohani yang dilakukan umat Konghucu di Palembang.

Aroma dupa dan gantungan lampion warna merah jadi simbol kemakmuran di halaman parkir Kelenteng Tri Dharma Chandra Nadi atau Soei Goeat Kiong Palembang. Hiasan lentera itu menandakan perayaan Imlek 2575 kian dekat.

Etnis Tionghoa di Bumi Sriwijaya silih berganti berkunjung ke sana, saling bergantian datang untuk berdoa di depan altar dupa. Tradisi tersebut sudah
dilakukan ratusan tahun sejak tempat itu berdiri.

Baca Juga: Pempek Bukti Eksistensi Perantau Etnis Tionghoa di Palembang

1. Kelenteng Tri Dharma Chandra Nadi Palembang sudah berdiri sejak 1773

Kelenteng seluas 7 hektar ini adalah rumah ibadah etnis Tionghoa paling tua di Kota Pempek. Berada di kawasan 9/10 Ulu Palembang, kelenteng berdiri kokoh sejak 1773 pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda.

Sebagai bagian dari lokasi bingen Sumsel, kegiatan cuci patung di Kelenteng Soei Goeat Kiong juga jadi simbol mengantar dewa ke langit sudah dilakukan. Tahun ini, kelenteng yang lebih dikenal dengan nama Dewi Kwan Im menyambut perayaan Imlek Shio Naga Unsur Kayu.

"Kami sembahyang pada malam sebelum pencucian. Setelah Dewa-Dewi diyakini naik ke langit, barulah proses pencucian patung diperbolehkan. Jadi tidak boleh sembarangan, setelah Dewa-Dewi berangkat (ke langit) berarti posisi rupang (patung) itu kosong. Barulah bisa kita bersihkan dan mulai diturunkan dari altar," kata Pengurus Klenteng, Tjik Harun.

Baca Juga: Sejarah Kampung Kapitan Awal Wilayah Kekuasaan Etnis Tionghoa

2. Proses cuci patung atau rupang di Kelenteng Tri Dharma Chandra Nadi Palembang hanya boleh dilakukan setahun selali

Menilik Ritual Cuci Patung Antar Dewa di Kelenteng Tertua PalembangMenilik Ritual Cuci Patung Antar Dewa di Kelenteng Tertua Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Waktu proses cuci rupang atau patung, pakaian patung dewa yang lama wajib diganti baru, apalagi jika baju-baju para dewa dan dewi sudah kotor. Pergantian pakaian itu hanya boleh dilakukan satu tahun sekali menjelang Imlek datang.

Ketika bersih-bersih cuci patung pun tak bisa dilakukan sembarangan. Proses pencucian menggunakan pembersih dan braso, selanjutnya patung-patung tersebut dibilas dengan air tujuh rupa yang sudah dicampur arak putih.

"Tujuannya agar patung kembali bersih dan wangi. Pencucian patung ini selesai sehari, biasanya dilakukan dari pagi sampai sore,” timpalnya.

3. Kelenteng Tri Dharma Chandra Nadi pasang seribu lampion simbol kemakmuran

Menilik Ritual Cuci Patung Antar Dewa di Kelenteng Tertua PalembangMenilik Ritual Cuci Patung Antar Dewa di Kelenteng Tertua Palembang

Tak hanya cuci patung, kemegahan momen Imlek di kelenteng tertua Palembang turut semarak dengan pemasangan lampion yang sering dimaknai dengan pengharapan baru. Merah mencolok menjadi warna dasar lampion sering diartikan sebagai simbol kesejahteraan, ketenaran, dan kemakmuran.

"Tahun ini kita pasang seribu lampion, sekarang baru 500 an (lampion)," kata dia.

Fakta lain tempat ibadah ini adalah, kelenteng tidak menyiapkan tradisi sesajian dari darah babi dan anjing bagi para leluhur. Hal tersebut karena adanya kisah warga Tionghoa yang menikah dengan umat muslim berkaitan dengan sejarah Pulau Kemaro dan Kampung Kapitan.

"Selaras legenda putri Palembang, Siti Fatimah yang merupakan seorang muslim, menjadi istri seorang Pangeran Cina bernama Tan Bon An, sehingga untuk menghormati leluhur mereka yang muslim tidak dibolehkan untuk memakai darah binatang yang diharamkan di Islam," jelasnya.

Baca Juga: Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di Indonesia

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi
  • Mayang Ulfah Narimanda

Berita Terkini Lainnya