Palembang Darurat Cagar Budaya: Kota Tertua Tak Punya Perlindungan

Palembang dengan sejarah besar tak punya Cagar Budaya

Palembang, IDN Times - Sebagai kota tertua di Indonesia yang berumur 1.339 tahun, Palembang memiliki banyak bangunan bersejarah yang tersebar di berbagai tempat. Namun di balik sejarah Palembang dan gedung bernilai sejarah, tak satupun di antara tempat itu ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

Kondisi ini dinilai memprihatinkan. Gedung-gedung bersejarah yang ada justru terbengkalai dan banyak bagian bangunannya justru dijarah orang tidak bertanggung jawab.

"Bisa dikatakan saat ini Palembang darurat cagar budaya. Kita berkesimpulan tidak ada perhatian dari Pemerintah Kota (Pemkot) untuk berupaya menjaga. Jangan jauh-jauh berpikir bangunan cagar budaya ini dirawat, diperhatikan saja tidak. Artinya cagar budaya terancam punah," ungkap Budayawan Palembang, Vebri Al Lintani kepada IDN Times, Kamis (16/2/2023).

Baca Juga: Masuknya Islam dan Asimilasi Kerajaan Maritim Sriwijaya

1. Bangunan bersejarah rawan dihancurkan untuk pembangunan

Palembang Darurat Cagar Budaya: Kota Tertua Tak Punya Perlindungansejarawan dan budayawan Sumsel, Vebri Al Lintani (IDN Times/Dokumen Pribadi)

Dari data Dinas Kebudayaan (Disbud) Palembang pada 2021, ada sekitar 209 bangunan yang didaftarkan sebagai cagar budaya. Sebanyak 164 di antaranya telah diverifikasi, namun hanya satu yang disertifikasi menjadi Cagar Budaya.

Menurut Vebri, secara legal formal dalam aturan Undang-Undang (UU), sebuah bangunan atau objek disebut Cagar Budaya jika sudah disertifikasi. Jika belum disertifikasi maka disebut Objek yang Diduga Cagar Budaya atau disingkat ODCB.

ODCB sudah didaftarkan dan sudah dikaji menjadi bagian dari objek Cagar Budaya. Namun perlu satu langkah lagi upaya pemerintah untuk melakukan sertifikasi.

"Selama ini baru satu bangunan di Palembang yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya yakni Pasar Cinde. Kajian dan verifikasinya ada dan pemerintah mengeluarkan sertifikasi Cagar Budaya. Namun Cagar Budaya ini tidak aman dari pembangunan, sudah satu-satunya Cagar Budaya malah dirusak atas nama pembangunan," ungkap dia.

Pada 2017 silam, Pasar Cinde lewat keputusan Wali Kota (Wako) Palembang nomor 179.a/KPTS/DISBUD/2017 ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Tak berselang lama, rencana revitalisasi Pasar Cinde sebagai pasar modern sekaligus apartemen dilakukan. Status Cagar Budaya yang harusnya dilindungi terkesan tak dipedulikan.

Bangunan penting pasar diruntuhkan oleh pengembang. Beberapa bagian lama pasar disisakan untuk mengakali aturan Cagar Budaya agar terkesan dipertahankan. Namun seiring berjalannya waktu, revitalisasi tersebut tak pernah terjadi. Pembangunannya mangkrak hingga 2023.

"Cuma ada Pasar Cinde, dan itu pun sudah dihancurkan untuk membangun pusat perbelanjaan modern. Artinya hilang sudah Cagar Budaya," jelas dia.

Baca Juga: Menulusuri Peninggalan Belanda di Palembang, Kota Venesia dari Timur

2. Pemkot Palembang punya catatan abai dengan bangunan Cagar Budaya

Palembang Darurat Cagar Budaya: Kota Tertua Tak Punya PerlindunganPotret dahulu dan sekarang Museum SMB II di Palembang (IDN Times/Dok. Feny Maulia Agustin)

Permasalahan Pasar Cinde sebagai bagian nyata, tak ada wujud kepedulian dari pemkot Palembang dan Pemprov Sumsel untuk menjaga bangunan bersejarah yang tersisa. Baru-baru ini, Vebri bersama rekan-rekannya dari Masyarakat Peduli Cagar Budaya (AMPCB) menyegel bangunan bersejarah di Palembang, yakni Balai Pertemuan Palembang atau gedung eks Schow Burg.

Bangunan dengan arsitektur Eropa itu dibangun di kawasan Societeit yang ditujukan untuk fasilitas hiburan orang Belanda pada dekade 1920-an. Sejak masa kemerdekaan, gedung tersebut beralih macam-macam fungsinya, mulai dari gedung kesenian di Palembang hingga kantor Satpol PP.

"Pemerintah minus perhatian terhadap bangunan cagar budaya, makanya kita buat isu darurat cagar budaya. Kita melihat tindakan implementasi UU Cagar Budaya hampir tidak ada dan cenderung terjadi penelantaran," jelas dia.

Tak hanya itu saja, makam Pangeran Kramajaya sebagai penguasa terakhir di era Kesultanan Palembang Darussalam juga turut dirusak orang tidak dikenal. Lalu Goa Jepang di kawasan Ario Kemuning yang sempat viral dalam kondisi terbengkalai.

Catatan buruk pengolahan ODCB di Palembang menjadi bukti tidak adanya koordinasi untuk mengamankan aset daerah. Padahal beberapa bangunan Cagar Budaya berada di wilayah lingkungan Pemkot Palembang, karena secara teknis memiliki kewenangan dan SDM untuk mengamankan dan mengeluarkan dana perawatan.

"Perintah UU jelas, dan pemkot mengeluarkan Perda tentang Cagar Budaya tetapi mereka tidak melindungi ODCB yang ada. Artinya ada kelalaian yang disengaja," beber dia.

3. Potensi pariwisata sejarah sangat besar di Palembang

Palembang Darurat Cagar Budaya: Kota Tertua Tak Punya Perlindunganpalembang-tourism.com

Vebri menilai, potensi pariwisata sangat besar jika pemkot Palembang melirik Cagar Budaya sebagai bagian promosi pariwisata. Sebagai daerah yang kaya dengan sejarah sejak peradaban Kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang, banyak hal yang bisa ditawarkan kepada wisatawan.

"Persoalannya Pemkot tidak fokus. Banyak program pariwisata yang justru gagal karena tidak berbasis data dan kajian. Cagar budaya bisa dijadikan basis untuk membuat destinasi wisata," jelas dia.

Dirinya mencontohkan, kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) yang membentang dari Pasar 16 Ilir Palembang hingga kawasan Sekanak harusnya bisa dimanfaatkan Pemkot Palembang untuk memaksimalkan potensi Pariwisata. Gedung-gedung warisan sejarah mulai dari BKB, Kantor Ledeng yang kini menjadi Kantor Wali Kota, dan gedung eks Schow Burg, bisa difungsikan kembali agar tidak terbengkalai.

"BKB bisa dimaksimalkan jika Pemkot mau bekerja sama Kodam, karena BKB saat ini masih jadi bagian dari RS dan kantor militer. Jika difungsikan saja sebagian akan memancing minat masyarakat. Juga gedung pertemuan diaktifkan kembali sebagai gedung kesenian akan sangat bermanfaat," jelas dia.

4. Masyarakat Palembang juga dinilai abai

Palembang Darurat Cagar Budaya: Kota Tertua Tak Punya PerlindunganSultan Mahmud Badaruddin II, pahlawan nasional asal Palembang yang memimpin masa Kesultanan Palembang Darussalam dua periode (Facebook/Budaya Palembang Darussalam)

Salah satu anak muda di kota Palembang, Jhodi Febriansyah (27) mengakui, perubahan bentuk bangunan bersejarah di Palembang sebagai faktor yang membuat ciri khas bangunan tak lagi memiliki daya tarik. Ia mencontohkan kasus Pasar Cinde yang direvitalisasi tak kunjung selesai, mengisyaratkan ada kebijakan asal-asalan yang dikeluarkan pemerintah.

"Banyak bangunan bersejarah yang justru tak jelas. Aturan yang dibuat untuk menjaga keaslian bentuk bangunan justru ditabrak lewat kebijakan pemerintah sendiri," jelas dia.

Sebagai pengagum bangunan-bangunan bersejarah di Indonesia, dirinya menilai Palembang harus mencontoh Semarang, Jakarta, atau Surabaya dalam pengelolaan kota tua.

"Tidak menyalahkan seratus persen pemerintah. Hanya saja harus ada upaya lebih dari pemerintah selaku pengelola. Masyarakat juga perlu lebih perhatian dengan sejarah kotanya, karena saya merasa masyarakat Palembang juga kurang perhatian," jelas dia.

5. Keluhan AMPCB akan disampaikan ke Wali Kota Palembang

Palembang Darurat Cagar Budaya: Kota Tertua Tak Punya PerlindunganPemkot Palembang tinjau lokasi check point di perbatasan (Kominfo Palembang)

Kepala Disbud Palembang, Agus Rizal menjelaskan, akan menampung semua masukan dari AMPCB. Dirinya akan membawa permasalahan Cagar Budaya seperti gedung eks pertemuan ke Wako Palembang untuk dibahas.

"Nanti akan kami diinformasikan kembali ke Wako, mudah-mudahan dengan forum seperti ini bisa segera mendapat respon positif," ungkap dia.

Pihaknya juga turut mengecam aksi pencurian dan perusakan yang daporkan oleh budayawan serta seniman di Palembang. Pihaknya mengupayakan permintaan agar gedung eks pertemuan dialihfungsikan menjadi Taman Budaya.

Baca Juga: 5 Gereja Tertua di Jawa Timur, Berusia Lebih dari Satu Abad!

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya