Menjaga Wayang Palembang dari Gerusan Zaman  dan Teknologi   

Wayang Palembang bertahan dengan satu dalang tersisa

Palembang, IDN Times - Wayang Palembang kian tergerus zaman. Kesenian Jawa diperkirakan masuk ke Palembang tahun 1.800 tersebut mengalami penyesuaian, dan populer menjadi bagian kesenian Keraton Palembang dimasa lampau.

Kesenian lekat dengan suku Jawa tersebut beradaptasi dengan kultur masyarakat Melayu. Lakon dan cerita wayang tersebut tetap pada pakemnya namun mengalami perubahan bahasa menggunakan bahasa Melayu Palembang.

Seiring perkembangan zaman, Wayang Palembang turut tergerus. Tak banyak generasi muda tahu dan mau belajar mengenai kesenian tersebut.

"Wayang kurang mendapat perhatian anak muda, perlu ada penyesuaian dengan teknologi. Anak muda saat ini lebih senang dengan gadget dan digital yang simple," ungkap Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) M Iqbal Rudianto kepada IDN Times, Sabtu (5/11/2022).

1. Perlu upaya wayang Palembang menerobos zaman

Menjaga Wayang Palembang dari Gerusan Zaman  dan Teknologi   Pagelaran wayang kulit Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Kondisi memperihatinkan Wayang Palembang mulai terjadi dalam dua dekade silam. Hanya tersisa satu dalang Wayang Palembang terus melestarikan kebudayaan tersebut.

Iqbal tak menampik jika Wayang Palembang, tak banyak diminati anak muda. Untuk itu DKP berupaya memberikan sentuhan dan masukan agar kesenian itu juga bisa diterima anak muda.

"Sekarang kita lagi menggarap, pertunjukan wayang dengan berkolaborasi dengan tim digital. Di dalamnya kita akan memadukan antara teater, wayang dan teknologi. Kita harus mencari konsep baru yang lebih segar," jelas dia.

Selama ini, wayang dianggap anak muda sebagai kesenian monoton. Dimasa lampau pertunjukan wayang dapat dilakukan semalam suntuk. Untuk itu DKP merasa perlu ada penyesuaian kesenian seperti yang diinginkan anak muda.

"Karena sejarah pertunjukan wayang berdurasi lama. Perlu upaya untuk melakukan perubahan tanpa merubah pakem wayang tersebut. Seperti wayang berceritakan sejarah dan kisah dewa-dewa itu sudah bagian dari wayang itu sendiri namun, pengemasan atau ada terobosan baru sah-sah saja," jelas dia.

2. Mencari bibit baru jadi tantangan saat ini

Menjaga Wayang Palembang dari Gerusan Zaman  dan Teknologi   Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) Mgs Iqbal Rudianto (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

DKP sebagai wadah para seniman memiliki peran untuk mengembangkan Wayang Palembang. Bersama sang dalang, upaya mencari bibit-bibit baru dalang sudah dilakukan. Bahkan DKP kerap menjemput bola untuk memperkenalkan Wayang Palembang ke sekolah-sekolah, agar generasi muda tak muda melupakan kesenian itu.

"Kita ada program untuk mengembangkan dan mencari bibit baru dalang. Kita berupaya setiap kegiatan seni di Palembang menampilkan wayang, dan bagaimana mereka yang tertarik bisa tampil," jelas dia.

Tercatat ada belasan anak muda yang tergerak untuk memahami Wayang Palembang. Mereka terus dibina mulai dari pengenalan hingga pelatihan.

"Belum terlalu banyak anak muda yang mau belajar. Persoalan berkesenian ini bukan hanya soal SDM saja, kita perlu upaya dukungan untuk melestarikannya baik dari masyarakat maupun pemerintah lewat anggaran," jelas dia.

3. Sulitnya melestarikan wayang Palembang

Menjaga Wayang Palembang dari Gerusan Zaman  dan Teknologi   Kiagus Wirawan Rusdi pedalang wayang kulit Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Sang dalang Kiagus Wirawan Rusdi selama dua dekade terakhir terus berjuang agar Wayang Palembang tidak vakum. Dirinya adalah satu-satunya dalang Wayang Palembang yang masih bertahan dari gempuran kemajuan teknologi dan perkembangan jaman.

Wirawan bahkan turun ke tongkrongan anak muda di Palembang hanya untuk membawakan cerita Wayang Palembang agar kembali dikenal masyarakat. Dirinya bahkan tak canggung jika harus main di cafe.

"Salah satu pelestariannya selain dengan promosi adalah dengan membentuk sanggar. Kami sudah berupaya mengajak anak muda belajar, tapi hasilnya nihil. Mungkin masuk cafe adalah perkenalan yang tepat, seperti ini kali pertama wayang Kulit Palembang masuk tempat nongkrong," ujar Wirawan.

Wirawan menilai, gempuran dunia hiburan lewat platform digital menjadi salah satu membuat wayang tak diminati anak muda. Banyak anak muda di Palembang yang menganggap jika wayang adalah kesenian tua yang kolot.

Hal itu tak bisa disalahkan, sebagaimana dirinya menganggap wayang tak bisa selalu menghidupi dirinya. Wirawan tak hanya bergantung dengan pekerjaan tunggal dalam menekuni profesinya sebagai dalang. Dirinya juga berdagang untuk bisa bertahan hidup.

"Kalau hanya menggantungkan hidup sebagai pedalang tidak bisa. Mungkin ini juga yang dipikirkan anak muda," beber dia.

4. Wayang Palembang dapat diterima lewat penyesuaian kebudayaan

Menjaga Wayang Palembang dari Gerusan Zaman  dan Teknologi   Ilustrasu pagelaran kesenian wayang kulit. (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Menurut Wirawan, Wayang Palembang memiliki perbedaan dengan Wayang Jawa. Sisi perbedaan itu terlihat dari tidak adanya penggunaan sinden atau penyanyi yang mengiringi pertunjukan. Tak sampai di sana, penyesuaian bahasa membuat Wayang Palembang memiliki ciri khas sendiri yakni, memakai bahasa Melayu Palembang.

"Tokoh pewayangan juga mendapat gelar disesuaikan menggunakan nama pewayangan seperti Wak (paman) dan Raden. Kalau dahulu wayang Palembang dibawakan dengan bahasa Palembang halus, sekarang Palembang sehari-hari.

5. Menjadi dalang tak banyak diminati masyarakat

Menjaga Wayang Palembang dari Gerusan Zaman  dan Teknologi   Ilustrasi wayang (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Anak muda Palembang bernama Jhodi Febriansyah (24) mengaku mengetahui adanya kesenian Wayang Palembang. Semasa SMA dirinya sempat menonton wayang yang dibawakan Kiagus Wirawan Rusdi.

Hanya saja dirinya tak tahu sejarah wayang tersebut. Ia berpikir wayang yang dirinya tonton saat itu adalah wayang yang kebanyakan ada di Jawa.

"Pernah sempat menonton karena kegiatan sekolah. Tetapi saya tidak tahu jika wayang itu sudah berakulturasi dengan kebudayaan Palembang," jelas dia.

Untuk belajar Wayang Palembang Jhodi mengaku tak terlalu tertarik. Dirinya menjadi satu dari sebagian anak muda di Palembang yang berpikir kesenian memiliki jalannya sendiri.

"Kalau untuk membantu melestarikan sebagai orang Palembang saya siap. Tetapi untuk terlibat atau belajar dalang rasanya tidak siap," jelas dia.

Baca Juga: Cerita Dalang Muda Lampung Semangat Lestarikan Wayang Meski Diremehkan

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya