Likuran, Tradisi Warga Palembang di 10 Hari Terakhir Ramadan

Likuran berkaitan dengan Nuzulul Quran dan Lailatul Qadar

Intinya Sih...

  • Masyarakat Palembang memiliki tradisi Likuran pada 10 malam terakhir Ramadan, yang erat kaitannya dengan Nuzulul Quran dan Lailatul Qadar.
  • Tradisi ini melibatkan salat Magrib, Isya, Tarawih, zikir, doa bersama, pemasangan lilin atau lampu kulit kerang, kunjungan ke tetangga, atraksi kebudayaan "Guguk", dan arak-arakan untuk membangunkan sahur.
  • Vebri Al Lintani menyatakan bahwa tradisi ini hampir punah karena pengaruh kemajuan zaman dan perubahan situasi sosial masyarakat Palembang.

Palembang, IDN Times - Masyarakat Sumatra Selatan (Sumsel) khususnya Palembang memiliki tradisi khusus yang dilakukan saat Ramadan, atau tepatnya di 10 hari terakhir puasa.

Tradisi Likuran dilaksanakan pada malam ganjil, yakni malam ke-21, 23, 25, 27, dan malam ke- 29. Setiap malam memiliki makna dan nama berbeda seperti Selikur, terus berlanjut Tigalikur, Limalikur, Tujuhlikur, dan Sembilanlikur.

"Likuran merupakan tradisi menyambut turunnya Al-Qur'an pada malam ganjil di 10 malam terakhir. Tradisi ini erat kaitannya dengan keyakinan akan Nuzulul Quran dan menyambut malam Lailatul Qodar," ungkap budayawan Sumsel, Vebri Al Lintani kepada IDN Times, Sabtu (23/3/2024).

Baca Juga: 6 Cara Jalani Ramadan Secara Positif Ala Anak Kos, Pahala dan Berkah

1. Tahapan tradisi ramadan masyarakat muslim Palembang

Likuran, Tradisi Warga Palembang di 10 Hari Terakhir Ramadanilustrasi membaca al quran (unsplash.com/Masjid MABA)

Tradisi Likuran merupakan perpaduan nilai-nilai agama Islam pada masyarakat Palembang di masa lampau. Tradisi ini dilakukan secara bertahap mulai dari salat Magrib, Isya, kemudian Tarawih berjamaah yang dilanjutkan dengan zikir dan doa bersama mengharapkan kemuliaan Malam Seribu Bulan.

Kedua "Maleman" pemasangan lilin atau lampu yang terbuat dari kulit kerang dengan sumbu dari daun enceng gondok dikeringkan. Selanjutnya, kegiatan saling berkunjung ke rumah tetangga melihat lilin yang terpasang.

Ketiga, penampilan atraksi kebudayaan yang disebut "Guguk", ketika warga kampung akan menyuguhkan atraksi seni, budaya, silat, atau apa saja yang ada di setiap kampung. Lalu acara terakhir ditutup dengan arak-arakan untuk membangunkan sahur.

"Menyalakan lilin pada tradisi Likuran memiliki makna pada pemeluk Islam mengenai datangnya Lailatul Qodar. Penyalaan lilin pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir, memiliki simbol penerangan atau cahaya yang akan datang," jelas dia.

Baca Juga: 3 Takjil Buka Puasa Khas Palembang, Bukan Cuma Pempek, Lho

2. Tradisi ini dimaknai dengan anugerah Allah SWT

Likuran, Tradisi Warga Palembang di 10 Hari Terakhir RamadanIlustrasi nuzulul quran. Pexels/Pok Rie

Masyarakat Palembang di masa lampau memaknai tradisi ini sebagai simbol cahaya dan berharap mereka mendapatkan keistimewaan dari Allah SWT.

"Setiap orang yang saleh atas amal ibadahnya, diyakini akan menerima keistimewaan dari Allah (Lailatul Qodar). Hal ini dimaknai juga sebagai keberkahan dan anugrah lantaran jarang sekali orang mendapatkan itu," jelas dia.

Baca Juga: Fenomena 'Seluang Mudik' di Sungai Musi, Berkah Bagi Warga Muba

3. Tradisi ini masih ramai di era 80-an

Likuran, Tradisi Warga Palembang di 10 Hari Terakhir Ramadanilustrasi sebuah Al Quran (pexels.com/Thirdman)

Vebri menyebut jika tradisi ini sudah sepenuhnya hampir punah. Pasalnya sudah jarang orang melaksanakan tradisi ini di kampung-kampung di Palembang. Situasi ini dinilai persis dengan rata-rata tradisi masyarakat Palembang lainnya yang mulai terkikis zaman.

"Jadi, Wong (orang) Palembang kalau mulai Likuran biasanya masih ramai sekitar tahun 80-an. Lama-lama tradisi ini sudah tak terlihat. Mungkin masih ada di beberapa kampung tapi sudah tidak terlihat banyak seperti dulu," jelas dia.

4. Kemajuan zaman kikis tradisi Likuran

Likuran, Tradisi Warga Palembang di 10 Hari Terakhir Ramadanilustrasi membaca Al-Quran (pexels.com/RDNE Stock project)

Vebri pun tak menampik kemajuan jzman turut memengaruhi tradisi ini. Pada masa itu, lampu penerangan dianggap masih menjadi barang yang mewah dan jarang. Sehingga banyak masyarakat akhirnya tertarik dengan tradisi ini karena kemeriahan cahaya yang ditampilkan dari rumah ke rumah.

Selain itu pemahaman akan agama pun turut berkembang, sehingga masyarakat hanya melakukan pokok ajaran agama.

"Tradisi ini termakan zaman karena situasi  tak mendukung lagi. Dulu saat penerangan masih terbatas, lilin yang dinyalakan menarik untuk dilihat, sehingga banyak orang yang menunggu lilin dinyalakan," jelas dia.

Baca Juga: Ngabuburit di Al-Qur'an Raksasa, Tradisi Warga Palembang Saat Ramadan

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya