AJI Palembang Sebut Intimidasi dan Pelarangan Liputan Banyak Terjadi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Palembang, IDN Times - Dua jurnalis media online di Palembang Sumatra Selatan tak menyangka akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pegawai rumah sakit saat peliputan jurnalistik 30 November 2021 lalu.
Saat itu S dan IL berencana mengkonfirmasi kasus salah satu warga yang tidak mampu membayar biaya operasi melahirkan sehingga pihak rumah sakit menahan bayi yang baru saja dilahirkan. Bukannya mendapat penjelasan, kedua jurnalis malah diusir. Salah satu oknum pegawai bahkan harus membanting handphone jurnalis tersebut.
Kejadian ini satu dari sekian kisah pelarangan peliputan yang terjadi bagi awak media. Tak jarang mereka harus mendapat perlakuan tidak mengenakan ketika harus menghadapi situasi atau liputan dengan isu sensitif seperti pelayanan publik yang buruk atau pun korupsi.
"Menurut saya gesekan kawan-kawan wartawan yang melakukan peliputan kerap terjadi. Hanya saja tak banyak yang berani untuk melaporkan baik ke medianya atau pun ke Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk diadvokasi," ungkap Ketua Divisi Hukum dan Advokasi AJI Palembang, Muhammad Moeslim, Kepada IDN Times, Jumat (4/2/2022).
1. Produk jurnalistik kampus pun kerap diintimidasi
Moeslim menerangkan, selama ini, jurnalis mendapat perlakuan tidak mengenakan saat peliputan khusus di wilayah Palembang. Biasanya mereka enggan memperpanjang kasus pelarangan tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan.
"Makanya saat ini dari rentan waktu 2019-2022 untuk di Sumsel khususnya Palembang belum ada laporan kekerasan atau pelarangan yang sampai diadvokasi. Berbeda dengan kasus-kasus terjadi di bawah 2019, banyak kita advokasi termasuk mereka yang mendapat PHK," ungkap dia.
Moeslim mencatat, pihaknya sempat melakukan pendampingan terhadap Lembaga Pers Mahasiswa di salah satu Universitas Negeri di Sumsel yang diintimidasi pihak kampus lewat produk jurnalistiknya 2021 lalu. Menurutnya produk-produk karya jurnalistik baik dari jurnalis hingga ke mahasiswa LPM sekalipun tetap harus dilindungi.
"Kita mengadvokasi mereka jangan sampai, kawan-kawan mahasiswa yang mengkritik lewat produk jurnalistik justru mendapat perlakuan intimidasi, diancam akan di Drop Out (DO) atau semacamnya," jelas dia.
2. Pandemik batasi ruang lingkup peliputan aman bagi jurnalis
Belum lagi, kondisi pandemik membuat ruang peliputan jurnalis di lapangan semakin sempit. Sejak awal pandemik, jurnalis harus berjibaku memberitakan perkembangan COVID-19. Mereka tak jarang harus terjun langsung ke zona merah atau berbahaya untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Hanya saja, banyak ruang-ruang peliputan tidak sesuai standar Prokes.
"COVID-19 ini juga ancaman bagi jurnalis, belum lagi pelecehan secara verbal yang kerap diterima jurnalis perempuan. Kembali lagi banyak tidak melaporkan karena mereka bingung takut laporan tidak ditanggapi. AJI akan terbuka jika itu berkaitan dengan pelanggaran hak jurnalis," jelas dia.
3. Jurnalis dilindungi UU Pers
Selain itu juga, Moeslim menilai banyak intimidasi yang dilakukan pihak-pihak yang tidak terima jika kasusnya diberitakan. Tak jarang mereka menekan jurnalis langsung ke perusahaan medianya untuk menarik pemberitaan. Hal ini dianggap melanggar dan menciderai UU Pers nomor 40 tahun 1999.
Terlebih lagi, setiap perusahaan media di bawah payung hukum UU Pers berhak memberikan hak jawab kepada pihak-pihak yang tidak terima diberitakan. Sehingga, proses penyelesaian produk jurnalistik bukan ke ranah pidana melainkan diselesaikan di dewan pers.
"Kita jurnalis dilindungi produk UU Pers, berita yang dibuat oleh jurnalis harus selesai lewat mekanisme UU Pers tersebut, tidak langsung ke pidana," ujar dia.
Untuk itu dalam mengadvokasi setiap permasalahan jurnalis, AJI selaku organisasi akan membuka diri untuk melakukan pendampingan. Pertama-tama AJI akan membuka laporan dari jurnalis bersangkutan dan meminta jurnalis tersebut untuk membawa rekomendasi perusahaan media untuk dilakukan pendampingan. Kedua, AJI akan melakukan verifikasi dan akan dilanjutkan lewat mediasi.
"Itu jika terkait produk jurnalistik. Namun kalau terjadi kekerasan terhadap jurnalis kita tidak akan melakukan mediasi dan akan menempuh jalur hukum. AJI akan siapkan pengacara untuk mendampingi jurnalis. Seperti kasus yang di Surabaya menimpa Nurhadi, locusnya di Surabaya, tetapi AJI Palembang turut bereaksi mengecam," ujar dia.
4. Dapat intimidasi dari orang kepercayaan pejabat Sumsel
Intimidasi dan pelarangan bukan hal baru, salah seorang jurnalis di Palembang mengakui jika dirinya pernah ditekan oleh salah satu orang kepercayaan pejabat di Sumsel untuk mencabut berita yang telah dibuatnya. Dirinya sempat bingung harus menghadapi orang suruhan yang tak berhenti menghubungi dirinya.
Pengalaman itu disebutnya salah satu cobaan menjadi jurnalis, ketika memberitakan borok orang berpengaruh pasti orang disekitarnya akan bereaksi.
"Pernah sempat dicari, disuruh untuk merubah jalan cerita berita. Untungnya kantor bersedia melindungi karena yakin apa yang saya beritakan adalah fakta, bukan asumsi atau pun opini," tutupnya.
Baca Juga: Catatan Hitam Kebebasan Pers di Lampung, Belum Ada Pelaku Diadili