Ini Alasan Aktivis WALHI Sumsel Tolak RUU Pertanahan 

Tak sesuai dengan harapan reforma agraria

Palembang, IDN Times - Dewan Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, M Hairul Sobri mengatakan, para aktivis lingkungan Sumsel menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang akan disahkan DPR RI.

"Karena dinilai sudah mencoreng estimasi amanah dari UU pokok agaria," kata Hairul Sobri, pada konferensi pers di Sekretariat WALHI Sumsel, Selasa (24/9).

Menurut Hairul, RUU Pertanahan tidak sesuai dengan janji Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada tahun 2017, bahwasanya presiden tidak akan membiarkan tanah dimiliki individu atau kelompok besar yang cenderung menimbulkan ketimpangan penguasaan lahan.

"Dengan permasalahan kabut asap dan dampak ketimpangan lahan yang ada, pemerintah justru hendak mengeluarkan RUU Pertanahan. Kami lihat, RUU ini akan mengakomodir kepentingan korporasi, sehingga tidak sejalan dengan janji atau mandat Presiden," ujar dia.

Apalagi, ungkap Sobri, ditambah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Sumsel yang diakibatkan korporasi besar, dan tidak satu pun dicabut. Sehingga reforma agraria tidak berjalan semestinya.

"Belum menyentuh akar-akar masalah, ditambah lagi kebijakan RUU pertanahan yang akan memperkuat korporasi penguasaan tanah. Bukan mementingkan kepentingan rakyat, tapi lebih diperuntukkan bagi investor-investor, luar biasa dinamika politik kita belakangan ini, seluruh kebijakan yang dibuat hanya menghancurkan kepentingan rakyat," ungkap dia.

Sementara, Korwil Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) Sumsel, Untung Saputra melanjutkan, dalam RUU Pertanahan, tidak membunyikan adanya peran negara dalam proses penguatan, pemberdayaan dan pengakuan terhadap entitas dan wilayah masyarakat adat.

"Beberapa hal krusial RUU Pertanahan ini, diantaranya ada gagasan bank tanah yang berisiko besar memperparah ketimpangan, konflik dan memperlancar perampasan tanah atas nama pemgadaan tanah serta meneruskan praktek spekulan tanah," ujar dia.

RUU ini juga, sambung Untung, membuka celah besar kriminalisasi rakyat yang menolak penggusuran (pasal 91), termasuk juga celah kepemilikan asing melalui hak kepemilikan rumah susun.

"RUU ini masih mengandung permasalahan substansi yang jauh dari harapan reforma agraria dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga koalisi kami sepakat untuk menolak RUU Pertanahan," tandasnya.

Topik:

  • Sidratul Muntaha

Berita Terkini Lainnya