Dana Minim, Program Perpustakaan Inklusi Sosial di Sumsel Tak Optimal

Anggaran dari APBN terbatas, sebagian desa tak beri bantuan

Palembang, IDN Times - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel berupaya mengentaskan kemiskinan dengan pengetahuan dan pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) lewat ilmu dan teknologi.

Cara tersebut, diterjemahkan Dinas Perpustakaan Sumsel dengan mengawali pembangunan Perpustakaan Inklusi Sosial pada Kabupaten Musi Banyuasin (MUba), Musi Rawas (Mura) dan Ogan Komering Ilir (OKI).

Kepala Dinas Perpustakaan Sumsel, Mislena menjelaskan, program Perpustakaan Inklusi Sosial merupakan kegiatan pembangunan perpustakaan di kabupaten dan desa.

"Untuk tahap awal pembangunan perpustakaan inklusi, disebar pada 13 desa yang berada di tiga kabupaten. Sebarannya, Muba 5 desa, Mura 6 desa dan OKI 2 desa," jelasnya, pada acara Stake Holder Meeting Tingkat Provinsi dalam Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial di Hotel Beston (Horison Ultima), Selasa (3/9).

1. Perpustakaan Inklusi Sosial meneruskan program Perpustakaan Nasional

Dana Minim, Program Perpustakaan Inklusi Sosial di Sumsel Tak OptimalIDN Times/Feny Maulia Agustin

Mislena mengungkapkan, Perpustakaan Inklusi Sosial ini meneruskan program dari Perpustakaan Nasional, yakni berupa program PerpuSeru yang sebelumnya dikelola oleh swasta.

"Program ini dulunya dari Melinda Gates Foundation, untuk mengembangkan perpustakaan masyarakat berbasis teknologi, informasi dan komunikasi bertujuan memberikan dampak peningkatan kualitas hidup," ungkapnya. 

2. Berjalannya program Perpustakaan Inklusi Sosial butuh sinergi dengan pihak lain

Dana Minim, Program Perpustakaan Inklusi Sosial di Sumsel Tak OptimalIDN Times/Feny Maulia Agustin

Mengapa program ini disebut untuk menekan angka kemiskinan, Mislena menjelaskan, karena program ini dapat menanamkan ilmu hingga ke pelosok. Walaupun, program ini belum seluruhnya berjalan optimal.

"Inklusi sosial ini sebenarnya terkait dalam misi satu desa satu perpustakaan. Tapi sekarang pelaksanaan belum berjalan efektif dan optimal, karena saat ini saja dari target 3.000 desa, sementara baru 400 desa yang memiliki perpustakaan," jelasnya.

Oleh sebab itulah, sambung Mislena, meeting stakeholder diadakan untuk melibatkan siapa saja yang ingin dan bersedia membantu kelancaran program ini. Pihaknya berharap ada BUMN dan BUMD yang mau bersinergi bekerja sama mewujudkan visi misi tersebut. Apalagi, memang anggaran dari program itu masih belum mencukupi.

3. Pembangunan perpustakaan terbatas dana dan ada sebagian desa enggan membantu

Dana Minim, Program Perpustakaan Inklusi Sosial di Sumsel Tak OptimalIDN Times/Feny Maulia Agustin

Mislena memaparkan, bahwa Perpustakaan Inklusi Sosial ini tidak terlepas untuk memfasilitasi sarana dan prasarana, seperti komputer, buku, rak buku maupun pelatihan tenaga perpustakaan. Sementara dengan dana yang diberikan, masih terbatas.

"Ada dana dari APBN ke APBD yakni sebesar Rp70 juta untuk satu desa. Sementara target  untuk 13 desa di tiga kabupaten belum mencukupi. Apalagi 2020 ada keinginan menambah target untuk 5 kabupaten lagi. Solusi bila dana kurang, diharapkan ada bantuan dari dana yang ada di desa," katanya.

Memang sudah ada beberapa desa yang melakukan MoU dan setuju membantu pendanaan pembangunan inklusi sosial. Namun, sambungnya, ada juga beberapa desa lain yang tak ingin anggaran desa terpotong untuk pembangunan perpustakaan. Padahal, semestinya perpustakaan menjadi prioritas program.

Karena permasalahan itu, maka kita melakukan sosialisasi di setiap desa yang bakal ada pembangunan perpustakaan inklusi sosial. Ini alasan perpustakaan tidak dilirik, karena itu tadi, dana setiap tahun selalu di bawah standar dan tidak pernah terpenuhi," sambungnya.

Baca Juga: Utamakan Minat Baca Anak, Fasilitas Perpustakaan Sumsel Belum Memadai

4. Seluruh Indonesia perpustakaan inklusi sosial direalisasikan pada 59 kabupaten

Dana Minim, Program Perpustakaan Inklusi Sosial di Sumsel Tak OptimalIDN Times/Feny Maulia Agustin

Sementara, Widyaiswara Perpustakaan Nasional, Sudarto menuturkan, saat ini Perpustakaan Inklusi Sosial sudah tersebar di 59 kabupaten di Indonesia. Untuk stakeholder meeting inklusi sosial, sudah dilaksanakan di 21 provinsi dan 59 kabupaten yang terlibat dan sudah dilatih di Jakarta.

"Program ini memang belum menyentuh seluruh provinsi, karena sempat dipegang oleh swasta dan mengalami pemberhentian adopsi program. Padahal, sejak 2011 sudah dilakukan planing program. Total roadshow inklusi sosial ini progresnya sudah di 300 titik," tuturnya.

Sudarto melanjutkan, kendala yang dihadapi selama melaksanakan program Perpustakaan Inklusi Sosial ini, karena masyarakat masih belum familiar dan enggan mengetahui mendalam.

"Perpus biasanya hanya pasif, solusinya kami akan menjadi lebih proaktif dengan mengubah fungsi dan membangun inklusi sosial dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dari berbagai umur, mulai dari PAUD hingg manula," tandasnya.

Topik:

  • Sidratul Muntaha

Berita Terkini Lainnya